Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberatan Pertamina
KAMI ingin memberikan tanggapan atas berita Tempo edisi 6-12 Oktober 2008, halaman 96-97, berjudul ”Tergelincir Minyak Zatapi”.
1. Saya mendampingi Direktur Utama PT Pertamina Ari Soemarno sebagai saksi dalam memenuhi undangan Panitia Angket Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak di Dewan Perwakilan Rakyat. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri jalannya sidang dan diskusi rapat itu.
2. Rapat berlangsung tertutup. Yang berada dalam ruangan hanya pemimpin dan anggota panitia hak angket, staf ahli, dan tim sekretariat panitia, serta saya sendiri. Wartawan dengan demikian tak ada di sana.
3. Sidang berlangsung konstruktif. Hampir semua pertanyaan anggota panitia berisi permintaan dan penjelasan, termasuk hal-hal elementer, soal prosedur pengadaan bahan bakar dan minyak mentah. Memang ada beberapa anggota yang bertanya tentang pengadaan minyak Zatapi, tapi pertanyaan tersebut tidak dominan.
4. Secara keseluruhan, pertanyaan anggota panitia dijawab dengan baik oleh Direktur Utama, bahkan mereka menyatakan secara terbuka apresiasinya atas penjelasan yang lugas dan informatif. Dengan demikian, sama sekali tidak benar jika, ”Ari, seperti pesakitan, harus menghadapi cercaan pertanyaan anggota Panitia Khusus sehubungan dengan sejumlah kebijakan Pertamina dalam impor minyak,” sebagaimana ditulis Tempo di alinea kedua halaman 96.
5. Jalannya sidang dicatat dan direkam oleh tim sekretariat panitia, sehingga konfirmasi atas hal-hal itu dapat dilakukan.
6. Saya menyesalkan majalah dengan reputasi seperti Tempo memberikan gambaran menyesatkan. Saya pastikan tak ada satu pun wartawan di ruangan itu. Jadi bagaimana mungkin wartawan Tempo bisa menulis seolah-olah menyaksikan langsung sidang itu? Ke depan, mohon Tempo tak tendensius.
WHISNU BAHRIANSYAH
Kepala Biro Direksi
Terima kasih atas tanggapan Anda. Tempo mewawancarai sejumlah anggota Panitia untuk merekonstruksi jalannya rapat. Semua memberikan gambaran seperti tertulis pada alinea itu–Redaksi
Koreksi Haidar Bagir
Mungkin karena terburu-buru, atau mulai ceroboh karena menua, ada beberapa kesalahan di artikel saya, ”Di Tengah Kota Mencari Ketenangan Jiwa” (Tempo edisi 25 September-5 Oktober 2008). Meski tidak mengganggu substansi, setidaknya beberapa informasi yang saya berikan menjadi tidak akurat.
Saya tulis bahwa judul buku Morris Berman adalah The Reenchantment of the Universe. Yang benar adalah The Reenchantment of the World. Kemudian judul yang benar dari buku karya Marylin Ferguson adalah The Aquarian Conspiracy, bukan The Aquarian Frontier. Terakhir, nama syekh salah satu tarekat di Amerika Serikat adalah Syekh Hisham Kabbani, bukan Syekh Nizham Kabbani. Mohon maaf sebesar-besarnya.
Haidar Bagir
Jakarta
Tanggapan atas Opini Tempo
OPINI Tempo edisi 25 September-5 Oktober 2008 berjudul ”Sekadar Berganti Jubah” sungguh mengerikan karena mengutip Rancangan Undang-Undang Pornografi hanya sepotong-sepotong. Pasal dipenggal di ”materi seksual… yang dapat membangkitkan hasrat seksual.” Seharusnya berlanjut dengan ”dan/atau melanggar kesusilaan masyarakat.” Pasal 4 hanya disebut sepenggal, padahal larangannya dalam memproduksi dan memperjualbelikan, mengedarkan, dan seterusnya.
”Materi pornografi yang berisi persanggamaan, termasuk yang menyimpang, onani, kekerasan seksual, larangan mengiklankan seks” diangkat Tempo hanya ”ketelanjangan dan/atau yang mengesankan ketelanjangan.” Mengada-ada jika ini dianggap multitafsir. Dalam bahasa Indonesia, ketelanjangan berarti tanpa sehelai pun busana. Jadi film dengan adegan memakai baju renang ataupun Ade Rai atau Chris John telanjang dada mestinya tidak dilarang. Masih pakai baju, kan? Jika pasal 1 dibaca dengan pasal 4, tak multitafsir. Membaca undang-undang mestinya komprehensif.
Contoh lain, pasal 14 mengecualikan materi seksualitas dalam seni, budaya, ritual, agama. Jadi rancangan ini membiarkan koteka atau patung, lukisan, ukiran telanjang, atau yang menggambarkan aktivitas seksual lainnya karena ia karya seni/budaya/ritual agama. Dengan pasal 14, karya seniman justru tidak dibatasi, bahkan sangat bebas. Semoga saja seniman kita membatasi diri untuk tidak mesum dan cabul.
Pasal 21 berisi peran masyarakat. Pasal ini mesti dibaca dengan pasal 22 agar jelas peran masyarakat dibatasi oleh a. Pelaporan; b. Mengajukan tuntutan ke pengadilan; c. Melakukan sosialisasi peraturan, dan; d. Melakukan pembinaan tentang bahaya pornografi. Jelas perilaku main hakim sendiri adalah kriminal. Di Cina, peran masyarakat berhasil menutup 40 ribu situs porno pada 2007. Tempo juga lalai membaca empat pasal selain bab III soal perlindungan anak.
Tempo bertanya apakah rancangan ini dibuat karena menganggap orang Indonesia begitu obsesif terhadap kegiatan seksual. Kita simak Top Ten Review Internet Statistics. Indonesia di urutan ke-7 yang paling banyak mengklik data ”sex”. Di penjara anak, 80 persen pelanggaran seksual terjadi setelah menonton video porno. Penelitian Komisi Perlindungan Anak terhadap 2.000 anak sekolah dasar se-Jabotabek menunjukkan 100 persen mengenal pornografi.
Jadi kerusakan itu sudah di depan mata. Jangan lagi kita berandai-andai soal pecahnya kebinekaan, terkekangnya seniman, dan terkungkungnya perempuan, karena semua itu belum terjadi. Sudah saatnya Indonesia memiliki undang-undang ini.
INKE MARIS
Sekretaris Jenderal Aliansi Selamatkan Anak Indonesia
Pilihlah Pemimpin Berjiwa Besar
SEBENTAR lagi pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden. Mari kita pilih pemimpin yang berjiwa besar, bukan pemimpin yang omong besar. Untuk mengukur pemimpin berjiwa besar mudah saja: lihat latar belakang para calon nanti.
Pemimpin yang berjiwa besar selalu menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya. Dia tetap memelihara silaturahmi dengan pemimpin lain kendati berbeda pandangan politik. Pengaruh ke bawah akan terlihat. Kalau pemimpinnya gontok-gontokan, pendukungnya juga cenderung anarkistis dan ganas.
Kita harus sadar, selama ini, kita hanya mengutak-atik masalah politik-ekonomi dan lupa sosial-budaya, sehingga kita mengalami disintegrasi sosial dan pudarnya budaya yang mengancam bangsa bineka berdasarkan Pancasila ini. Indonesia adalah negara besar. Hanya pemimpin berjiwa besar yang dapat menciptakan kerukunan, stabilitas, dan kesejahteraan.
SULWAN S. ASTRADININGRAT
Cilandak, Jakarta Selatan
Papua Oh Papua
Ledakan bom di Mile 34 dan Mile 50 dan gardu listrik di Timika serta kawasan Bandara Moses Kilangin mengesankan bahwa selama ini pemberian otonomi khusus kepada Papua belum dapat menjawab permasalahan yang ada di wilayah tersebut. Terlepas dari kelompok mana yang melakukan pengeboman, memang dari waktu ke waktu mereka akan terus menjadi duri bagi pemerintah.
Kalau kita berpikir jernih bahwa selama ini pemerintah pusat telah memberikan wewenang penuh untuk daerah penyandang status otonomi khusus seperti Papua, dari segi keuangan, yang dikucurkan pemerintah pusat pun tidak tergolong kecil, mencapai Rp 20 triliun lebih. Hal ini berbeda sekali dengan wilayah lain yang tidak menyandang gelar otonomi khusus. Perbedaan pun sangat jauh terhadap kewenangan keuangan yang diberikan oleh pemerintah pusat ke wilayah tersebut.
Konstelasi politik Papua mengalami pasang-surut karena memang pejuang-pejuang kemerdekaan Papua masih terus berupaya melakukan penggalangan opini melalui forum internasional. Kelompok prokemerdekaan merupakan sandungan bagi pemerintah daerah Papua sendiri untuk melakukan otonomi khusus yang telah diberikan. Sebab, kelompok tersebut akan terus melakukan perlawanan sepanjang niat memperjuangkan kemerdekaan Papua belum tercapai, sedangkan wilayah Papua sudah menjadi wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak 39 tahun lalu melalui Penentuan Pendapat Rakyat.
Masalah lain adalah pendatang dari wilayah luar Papua. Para penduduk pribumi merasa terasingkan dengan banyaknya penduduk baru yang secara ekonomi lebih mapan daripada penduduk asli. Secara tidak langsung, pendatang yang membawa keberagaman budaya dan keyakinan membaur menjadi bagian dari penduduk Papua. Gesekan-gesekan pun tidak dapat dihindarkan. Masih ingat apa yang terjadi pascapemilihan Gubernur Irian Jaya Barat (Papua barat)?
Riris Herawati
Kampung Utan, Tangerang
Surat Korban Lumpur Lapindo
Atas iklan di Jawa Pos pada Jumat, 5 September 2008, halaman 11, saya bermaksud mengurus lahan yang terkena lumpur panas. Pada 8 September, saya datang ke kantor eks BTPN dan diterima anggota staf Minarak Lapindo Jaya. Ia menjelaskan pemilik nonsertifikat tak bisa diproses sehingga harus mengikuti solusi Minarak: cash & resettlement, karena mereka sedang berkonsentrasi menyelesaikan pembayaran yang 80 persen. Dia bilang itu solusi terbaik karena yang lain juga menempuh cara itu. Saya ingin marah, tapi ingat sedang puasa.
Kami telah bulat dengan penyelesaian secara cash and carry karena cara itu lebih menguntungkan dan aman lantaran diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2008. Kami menolak solusi Minarak karena:
1. Tanah tersebut dibeli dari uang kami sendiri, dengan cara jual-beli, sehingga status kami jadi kabur jika mengikuti solusi Minarak. Bahkan harga tanah tidak transparan, lokasinya pun tidak diberi penjelasan. Notaris pun ditunjuk Lapindo dan klausulnya sangat merugikan kami.
2. Rumah yang dibeli di Kahuripan tidak jelas: izin mendirikan bangunan tidak diselesaikan, status tanah tak jelas, rumah belum jadi, sertifikat baru diberikan satu tahun.
Di akhir pembicaraan, anggota staf itu mengatakan, ”Kenapa Bapak tak mengikuti cara kami seperti GKLL? Risiko Bapak sendiri nanti ya jika tak selesai.” Saya pulang dengan dongkol. Ya, Allah, kenapa korban selalu jadi korban lagi? Semoga saudaraku diampuni dan disadarkan.
Marsono Bin Muklisin
Tanggulangin, Sidoarjo
Waspada Makanan
Akibat lolosnya susu bermelamin, ada 53 ribu anak yang jatuh sakit di Cina. Pemerintah Cina juga menyebut ada empat korban meninggal dan hampir 1.900 anak harus dirawat di rumah sakit akibat gangguan ginjal—104 di antaranya serius. Melamin adalah bahan kimia yang biasanya digunakan dalam pembuatan plastik. Namun kali ini melamin ditambahkan dalam susu untuk menimbulkan kesan adanya kandungan protein lebih tinggi. Akibatnya sangat berbahaya, melamin bisa menyebabkan terjadinya batu ginjal, lalu gagal ginjal.
Insiden susu muncul setelah terjadi insiden lain yang telah mencoreng reputasi manufaktur Cina. Cina juga pernah diguncang skandal produk berbahaya dari makanan hingga obat-obatan dan mainan. Dari pengalaman itu, kita harus selalu berusaha mengamankan produk-produk makanan kita. Jauhkan proses produksi dari keteledoran dan niat buruk.
JENIFER WOWORUNTU
Lenteng Agung, Jakarta Selatan
Pertahankan Babakan Siliwangi
TULISAN rubrik Lingkungan Tempo edisi 6-12 Oktober 2008 tentang ”Berebut Jantung Bandung” semestinya menggugah kepedulian Pemerintah Kota Bandung khususnya Wali Kota Dada Rosada untuk bersama-sama warga menjasa aset lingkungan Babakan Siliwangi dengan sebaik-baiknya.
Kota Bandung sudah sangat sesak dengan pemukiman dan gedung bertingkat, tidak seharusnya ditambah bebannya dengan mengubah ruang terbuka hijau menjadi—lagi-lagi—mal, restoran dan kondominium. Babakan Siliwangi adalah ’sekeping’ hutan kota yang tersisa yang saat ini berfungsi sebagai daerah tangkapan air dan pensuplai udara segar bagi lingkungan Kota Bandung.
Sungguh kesalahan yang teramat fatal jika Pemerintah Kota Bandung tetap mengizinkan pengembang membangun kawasan bisnis di Babakan Siliwangi. Uang memang bisa membutakan akal sehat. Satu keputusan yang salah, dampaknya akan panjang terasa bagi warga.
HARMAWAN
Setiabudi, Bandung
Atribut Partai di Pohon
SAAT ini partai politik sudah mulai berkampanye. Salah satunya dengan memasang poster di pohon-pohon di pinggir jalan. Cara kampanye dengan memasang atau menempel poster di pohon ini bisa merusak kelestarian pohon.
Sebagai warga, saya menyesalkan hal ini. Semua ini menunjukkan partai tak memiliki itikad menjaga keindahan dan kelestarian lingkungan. Padahal partai, sebagai penyalur aspirasi rakyat, seharusnya menunjukkan keteladanan dari hal-hal yang terlihat remeh semacam ini. Kalau soal memasang poster saja tidak disiplin bagaimana dengan penyusunan kebijakan yang lainnya?
Sudah seharusnya pihak Pemerintah DKI Jakarta lewat Dinas Pertamanan menindak tegas perilaku ini. Begitu pula dengan warga Jakarta. Tidak perlu takut mencopot atribut partai apa pun yang ditempel atau dipaku di pohon-pohon. Seharusnya pimpinan partai yang langsung bersentuhan dengan pendukungnya, memerintahkan agar tidak menempel/ memaku atribut partai mereka di pohon.
K. Bintoro
Pondok Gede, Bekasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo