Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Otoritas Bahasa: Perlukah?

20 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Joss Wibisono

  • Jurnalis

    PUSAT Bahasa, satu-satunya otoritas bahasa kita, terjerembap dalam kontroversi karena tuduhan menjiplak Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko. Tulisan ini mengajak pembaca mempertimbangkan perlu tidaknya lembaga ini.

    Adalah Benedict Anderson yang mengajak kita untuk juga mereformasi bahasa Indonesia, setelah gegap-gempita reformasi politik dan ekonomi. Indonesianis senior ini datang dengan usul tersebut lewat sebuah kolom yang ditulisnya dalam ejaan Suwandi (berlaku 1947-1972) dan diumumkan majalah ini pada edisi terakhir 2001.

    Anderson mengajak kita membebaskan bahasa Indonesia dari warisan Orde Baru yang ”membosankennja bukan kepalang, kaku, tanpa mutu apalagi bersipat dusta en pura2”. Dengan begitu akan muncul bahasa Indonesia yang ”hidup kembali bukan sebagai bahasa milik penguwasa tetapi milik ra’jat Indonesia dengan segala variatienja, selain pembebasan pers perlu pula pembebasan bahasa dan edjaan”.

    Dengan jitu Benedict Anderson membidik jantung kekuasaan yang di zaman Orde Baru juga begitu ketat mengendalikan aktivitas berbahasa kita. Salah satu ciri kekuasaan sewenang-wenang adalah tekadnya untuk juga mengendalikan bahasa. Kita berpikir dalam bahasa sehingga begitu bahasa terkuasai, maka pikiran kita pasti juga akan dikuasai.

    Tengok saja Benito Mussolini yang melaksanakan perombakan terhadap bahasa Italia secara besar-besaran. Semua ungkapan keindahan ditanggalkannya, supaya, konon, bahasa lebih lugas (baca: lebih fasis). Contoh terkenal adalah kata voi (Anda) yang diganti dengan lei (aslinya dia laki-laki).

    Tapi membebaskan bahasa dan ejaan dari cengkeraman kekuasaan sewenang-wenang bukanlah perkara gampang. Malah mungkin tidak ”semudah” membebaskan politik dan ekonomi. Apalagi kalau pikiran telanjur dikuasai, sehingga kita tidak tahu bahwa sebenarnya ada bahasa dan ejaan yang lebih bebas dari yang selama ini kita gunakan.

    Tidaklah mengherankan kalau masih ada saja kalangan yang berpendapat otoritas bahasa tetap dibutuhkan. Bagi mereka, tanpa otoritas, bahasa akan amburadul. Jelas kekhawatiran tidak riil, dan kalangan ini juga menutup mata dari kenyataan bahwa justru otoritas itulah yang memandulkan bahasa. Selain itu, jika memang masih dibutuhkan, haruskah otoritas bahasa itu seketat zaman Orde Baru yang dengan mengontrol bahasa juga ingin mengendalikan pikiran orang?

    Otoritas bahasa bisa saja dipertahankan, tetapi sejalan dengan arus demokratisasi, sebaiknya jangan sampai ada monopoli kekuasaan lagi, artinya harus ada lebih dari satu otoritas. Selain otoritas tandingan, sebaiknya otoritas yang sudah ada tidak diberi wewenang seperti zaman Orde Baru dulu.

    Sekadar contoh, berikut sekelumit pengalaman Belanda. Di negeri bekas penjajah itu terdapat satu otoritas bahasa (Taalunie) yang mencakup Vlaanderen (wilayah Belgia yang berbahasa Belanda) dan Suriname yang juga berbahasa nasional bahasa Belanda. Bahkan Belanda memiliki Spellingwet (undang-undang ejaan). Undang-undang ini terwujud dalam apa yang disebut het Groene Boekje (buku hijau), pedoman mengeja kata-kata bahasa Belanda. Tapi jangan dikira Taalunie mahakuasa atau semua orang Belanda wajib mematuhi buku hijaunya.

    Pertama, Spellingwet hanya diarahkan pada tiga sasaran, tidak untuk khalayak umum. Ketiganya adalah semua lembaga negara, lembaga pendidikan yang dibiayai negara dan semua bentuk ujian yang diatur berdasarkan hukum (misalnya ujian sekolah, ujian universitas tapi juga ujian menjadi warga pendatang).

    Kedua, sebagai perlawanan terhadap het Groene Boekje, dunia jurnalistik Belanda menerbitkan het Witte Boekje (buku putih) untuk menolak banyak ejaannya. Ejaan resmi dianggap terlalu ketat, kurang luwes, dan mengabaikan kebiasaan lama begitu saja, karena dianggap salah.

    Misalnya kata pannekoek (kue dadar) yang, menurut het Groene Boekje, harus dieja pannenkoek, dengan tiga n. Hari paskah kedua dieja dengan huruf kecil semua, padahal orang Belanda sudah terbiasa mengejanya dengan Tweede Paasdag. Memang, ejaan het Witte Boekje tidak ketat dan lebih mudah karena lebih menghargai tradisi.

    Bisa dimengerti kalau perlawanan ini bangkit dari kalangan jurnalis. Tiga harian, empat mingguan, dan satu lembaga penyiaran publik merupakan penggerak het Witte Boekje. Jurnalis, yang hidup dan bernapas dengan bahasa, jelas merasa terancam kalau harus mengikuti peraturan kebahasaan pemerintah. Bayangkan saja para wartawan dan sastrawan Indonesia kini diwajibkan menggunakan bahasa, ungkapan, atau ejaan pemerintah, pasti mereka tidak akan bisa bernapas bebas. Dari mereka pasti tidak akan lahir karya-karya yang kreatif ,apalagi sarat pembaruan bahasa.

    Perlawanan ini jelas mendesakkan kemajemukan berbahasa. Kemajemukan bermasyarakat yang sekarang begitu didambakan sebaiknya juga diwujudkan dalam bidang bahasa. Dan itu mungkin bisa dimulai dengan sikap EGP (baca: tak peduli) Pusat Bahasa. Bukankah lembaga ini sekarang sudah tercela karena tuduhan plagiat?

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus