Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Orang sekarang memperlakukan para pelawak dengan serius dan menganggap politikus mereka lelucon."
Dulu seorang bintang film cabul. Kini seorang pelawak. Dulu Cicciolina. Kini Beppe Grillo.
Semua itu terjadi di Italia, tapi bisa jadi ia hanya bentuk lain dari yang terjadi di mana saja, juga di Indonesia. Politik adalah pergulatan yang serius, dengan akibat yang serius karena ketidakseriusannya. Dan orang bisa secara serius pula mencemoohnya sebagai soal yang tak serius.
Pada 1987 orang Italia ramai-ramai mendukung Cicciolina jadi anggota Parlemen. Dunia pun kaget dan geli. Tapi sejak itu orang mempertanyakan kembali apa arti politik dan politikus.
Perempuan ini, waktu itu berusia 37 tahun, terkenal bukan karena ia tokoh masyarakat yangseperti para senator Romawi kuno dan politikus Italia abad ke-20¡±terhormat¡±. Cicciolina seorang bintang film porno.
Ia dengan gembira menegaskan itu: ia biasa berpidato politik dengan buah dada yang sebelah terbuka. Setelah ia duduk di Parlemen ia tetap muncul telanjang dalam majalah Playboy di mana-mana. Idenya tentang penyelesaian konflik internasional radikal, sederhana, dan bercanda: ia menyatakan bersedia bermain seks dengan Saddam Hussein dan Usamah bin Ladin asal mereka menyetujui perdamaian.
Kata-kata terkenalnya: "Buah dadaku tak melukai siapa pun, sementara peperangan Bin Ladin mengakibatkan ribuan orang jadi korban."
Tapi ia tak cuma itu. Ia, yang dicalonkan oleh Lista del Sole, partai "hijau" pertama di Italia, dan kemudian berpindah ke Partito Radicale, sebagai anggota Parlemen menyuarakan oposisi terhadap keanggotaan Italia dalam NATO. Ia juga penganjur hak-hak asasi manusia. Ia berhasil dipilih kembali pada 1991. Ketika kemudian ia mendirikan Partai Demokrasi, Alam & Cinta, ia menyerukan dihapuskannya harta para anggota "kasta" politik yang kaya-raya.
Nonsens atau tidak, ia menampar politikus lama. Ucapan seorang jenderal Prancis yang kemudian jadi presiden, De Gaulle, ia buktikan dengan caranya sendiri: politik itu bukan urusan main-main, maka tak boleh dibiarkan hanya jadi urusan para politikus.
Dan Cicciolina, seperti De Gaulle, adalah sosok yang tak membiarkan itu. Bedanya: bintang film cabul ini menandai ditelanjanginya sebuah tradisi politik yang ternyata hanya bangunan yang setengah palsu. Konstruksi itu tak pernah punya fondasi. Ia hanya berdiri di atas lambang-lambang yang dipamerkan terus-menerus, tapi menutupi apa yang tak tampak.
Agaknya itu juga yang kini diungkapkan Beppe Grillo. Tokoh komedi berusia 64 tahun yang berambut awut-awutan ini sejak empat tahun yang lalu berkeliling Italia seperti nabi yang jengkel. Ia tunjukkan apa yang disebutnya sebagai epidemia, wabah hilangnya harapan rakyat ketika ekonomi terus-menerus merosot, sementara politikus yang mengurus negara tak henti-hentinya bobrok atau goblok.
Grillo, yang dulu ditertawai karena leluconnya, kini didengarkan karena protesnya. Orang Italia makin tak percaya terhadap politik sebagai mesin yang bekerja buat kebersamaan. Maka mereka pun masuk ke politik sebagai gerakan bersama yang setengah mengejek—seraya menirukan.
Dengan kata lain, Grillo bukanlah, seperti yang disebut The Economist, seorang badut. Tawa yang menyambutnya adalah tawa yang mengguncang keadaan.
Gerakan yang terbangun dari tulisan-tulisannya sebagai blogger ia sebut Movimento 5 Stelle (Gerakan Lima Bintang), disingkat "MLS". Dengan cepat MLS menjulang dan mengempas. Telah terjadi "tsunami Grillo", kata para analis politik: gemuruh suara antimediasi dalam proses politik. Rakyat mau berbicara sendiri, langsung. Separuh isi manifestonya menyerukan agar kekuasaan dan privilese anggota Parlemen dikurangi, bahkan ditiadakan.
Tapi "tsunami" ini bukan revolusi. Seraya bersuara menolak politik yang lama, MLS ikut dalam pemilihan umum—dan memperoleh dukungan sekitar 25 persen suara di Senat dan di Dewan Perwakilan Rakyat.
Grillo sendiri menolak duduk di lembaga-lembaga itu. Partainya tak duduk dalam kabinet yang dengan alot dibentuk. Seluruh sikapnya seakan-akan menegaskan bahwa gerakannya adalah protes yang mencemooh.
Jika terasa cemooh itu ambivalen, mungkin karena belum terjawab pertanyaan: bisakah politik berjalan, juga sebagai pergerakan orang ramai, tanpa politikus?
Bukan kebetulan jika di Italia itulah pertanyaan yang terus-menerus bergema. Berada di tengah Colosseum yang dibangun di Roma 2.000 tahun yang lalu, kita diingatkan tentang para penguasa dan senator yang mengambil hati rakyat dengan menyajikan "roti dan sirkus", panem et circenses. Tontonan yang paling populer pun diacarakan: di arenanya, gladiator saling bunuh, puluhan hewan buas diadu dengan musuh Romawi yang kalah, para pengkhianat dibantai.
Darah muncrat dan sorak-sorai terdengar dan campur-baur terjadi: antara niat melayani nafsu dan mengukuhkan kuasa, antara membujuk dan meneror. Semua menunjukkan bahwa hubungan antara politikus dan rakyat sebenarnya genting—dan dicoba dijalin dengan tawar-menawar, gertak, dan manipulasi.
Parlemen, partai, kabinet, presiden, konsul, kaisar bekerja dalam proses itu. Untuk menstabilkan diri, kekuasaan pun menjelma dalam simbol yang disepakati dan ditaati.
Colosseum itu monumennya: ia tegak—dan mengingkari apa yang tak tampak. Di antara pertunjukan meriah di arena dan kekedapan tembok-temboknya, ada kebuasan, syahwat, nafsu kemenangan. Zaman kita memang tak memperlihatkan itu. Tapi yang tak tampak dalam politik tetap dicoba disembunyikan, meskipun gagal. Cicciolina adalah hiperbolanya. Grillo adalah parodinya.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo