Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=2 color=brown>Muhammad Yusuf:</font><br />Kenapa Tak Pakai UU Pencucian Uang?

31 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seiring dengan berakhirnya masa jabatan Yunus Husein di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), estafet kepemimpinan kantor tanpa papan nama di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, itu beralih ke tangan Muhammad Yusuf. Penunjukan itu tak terlalu mengejutkan. Bekas Direktur Hukum dan Regulasi PPATK ini dikenal sebagai salah satu orang kepercayaan Yunus lantaran kecakapan dan integritasnya.

Bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta ini merupakan salah satu penyusun Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang baru. Dia terbiasa menguliti pasal-pasal hukum dan piawai menelusuri aliran dana haram. Dengan bekal itu, Muhammad Yusuf diharapkan dapat menjaga reputasi PPATK sebagai lembaga pengendus uang hasil korupsi yang tepercaya dan independen.

Transaksi keuangan, baik individu maupun perusahaan, memang dapat menjadi pintu masuk untuk menjerat pelaku korupsi. Hal itu terlihat dalam kasus cek pelawat dan korupsi wisma atlet SEA Games, yang melibatkan sejumlah politikus Senayan. Sayangnya, mereka biasanya hanya dijerat dengan pasal korupsi, bukan pasal pencucian uang.

Padahal, menurut Muhammad Yusuf, penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sering kali tidak adil. Hanya penyelenggara negara yang diganjar hukuman, sedangkan orang yang menikmati uang tersebut kalis dari jerat hukum. "Jika menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, semua yang terkait dengan aliran dana bisa dihukum," Yusuf menegaskan.

Rabu pagi pekan lalu, Yusuf menerima Nugroho Dewanto, Yophiandi Kurniawan, Yogita Maher, Martha Ruth, dan fotografer Jacky Rachmansyah dari Tempo di kantornya. Pria berjanggut dengan tubuh ramping itu memperlihatkan penguasaan ilmu hukum dan nalar yang runtut dalam menjawab pertanyaan.

Bagaimana Anda akan memimpin lembaga yang belakangan dikritik sebagian kalangan Dewan Perwakilan Rakyat tidak independen dan hanya melayani kepentingan penguasa?

Perlu saya tegaskan, mereka keliru menilai Pak Yunus (Yunus Husein, Ketua PPATK sebelumnya) tidak netral. Kita lihat produk yang dikirim PPATK. Di situ memuat orang dari berbagai partai politik. Ada Muhammad Nazaruddin dari Partai Demokrat. Dalam kasus cek pelawat, ada politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan lain-lain. Di lingkungan penegak hukum, ada hakim, polisi, dan jaksa yang dilaporkan. Ada pula birokrat. Jadi saya tak melihat satu pun fakta yang mengindikasikan PPATK tidak independen atau memihak satu golongan tertentu.

Lalu kenapa kritik itu muncul?

Mungkin saja, ini persepsi saya, saat Pak Yunus sebagai anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum menangani kasus korupsi Gayus Tambunan, dia melihat ada penanganan yang tidak proper. Tidak diungkap pihak yang diuntungkan dari praktek manipulasi pajak yang dilakukan Gayus. Salah satu temuan Satgas mengarah pada perusahaan yang dimiliki ketua partai tertentu, sehingga diposisikan ini pesanan Partai Demokrat.

DPR juga menuduh PPATK tidak adil dalam menangani pengusutan aliran uang kasus bailout Bank Century?

Dewan Perwakilan Rakyat meminta kami melakukan audit. Tapi, ketika kami akan menyerahkan hasilnya (kepada DPR), undang-undang tak mengizinkan. Menurut undang-undang, kami hanya menyerahkan hasil pemeriksaan kepada kejaksaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan semangat memenuhi keinginan DPR, kami meminta fatwa Mahkamah Agung. DPR hanya meminta hasil audit bailout Rp 6,7 triliun. Sedangkan dalam kasus itu, ada tahap saat merger, pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) pertama, dan pengucuran FPJP kedua.

Bukankah dalam kasus Century ditemukan aliran dana ke salah satu ketua komisi DPR saat itu?

Ya, pernah kami bicarakan dengan Pak Chandra Hamzah dan Pak Tumpak (Tumpak Hatorangan Panggabean, Ketua KPK periode 2009-2010). Tapi saya tidak tahu kelanjutannya. Bola sudah di tangan KPK. Mestinya tak ada lagi hambatan. Kalau prinsipnya equality before the law, semua mestinya diusut.

Bukankah ada pula aliran dana ke salah satu Deputi Gubernur Bank Indonesia?

Aliran dana ke Pak Budi Mulia tidak berkaitan dengan audit PPATK. Bailout dilakukan pada 2009, sementara aliran dana terjadi pada 2008. Jadi beda waktu, kan? Kemudian yang kami audit adalah uang Century sebagai bank. Uang untuk Pak Budi tidak masuk neraca bank. Uang itu dari kantong pribadi Robert Tantular. Tidak serta-merta transaksi itu menjadi sesuatu yang mencurigakan. Perlu dilihat kausalitasnya, hubungan sebab-akibat, dan konteksnya.

Kembali ke soal Century, mengapa audit tak sampai lapisan ketujuh?

Ada kekeliruan pemahaman tentang makna layer. Kalau aliran dana terjadi pada satu bank, it's easy. Tapi, bila dengan bank lain, apalagi bank asing atau bank di luar negeri, pasti memakan waktu. Instrumen teknologi informasi tiap bank tidak sama. Yang kedua, mekanisme penyimpanan arsipnya, ada yang bagus ada yang tidak. Anda bisa bayangkan kalau sampai layer ketujuh, dalam konteks teknologi informasi, profesionalisme, penyimpanan arsip yang tak sama. Padahal DPR dan penyidik dikejar waktu, kan. Makanya kami sederhanakan, sampai dua layer saja, dan yang kami kejar yang Rp 2 miliar ke atas.

Bukankah bank asing punya sumber daya manusia dan teknologi yang bagus?

Belum tentu. Tergantung siapa pengelola banknya.

Atau memang ada kebijakan bank itu untuk tidak transparan?

Bisa jadi seperti itu. Tak bisa dibilang bank asing pasti hebat. Saya tidak sebut nama banknya. Tapi ada satu bank yang sebelumnya saya pikir bagus ternyata banyak ketidakpatuhan di bank tersebut, sehingga menyulitkan kami.

Apakah Undang-Undang Pencucian Uang yang baru lebih memudahkan kerja PPATK?

Masih ada kendala, tapi tidak seberat dulu. Misalnya, di undang-undang ada audit umum dan khusus. Secara sederhana, di Bank X ada rekening dan sertifikat atas nama Tuan Y yang tak dilaporkan kepada kami tertangkap tangan KPK. Jika kami curiga, kami langsung melakukan audit khusus. Tapi ini masih bergantung pada welcome­ atau tidak bank itu. Sebab, membuka data perlu proses, password, dan sebagainya. Kedua, ada perbedaan teknologi informasi bank. Bank swasta, pemerintah, dan asing; bank pembangunan daerah; serta bank perkreditan rakyat kerap tak sama teknologinya.

Tetap sulitkah menelusuri rekening yang menggunakan nama fiktif?

Itu kendala berikutnya. Begitu kami telusuri, ternyata nama pemilik rekening itu fiktif. Kami kehilangan jejak. Karena itu, salah satu rekomendasi Komite Tindak Pidana Pencucian Uang, yang ketua hariannya Ketua PPATK, adalah meminta Kementerian Dalam Negeri segera menerapkan single identity number. Kementerian sekarang sedang melaksanakan proyek KTP elektronik.

Dalam kasus korupsi Nazaruddin, ada-tidaknya perusahaan fiktif kan bisa ditelusuri?

Nah, 49 perusahaan yang terlibat tersebut fiktif atau tidak, itu wewenang penyidik. Kami tak punya otoritas. Tapi, menurut Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang baru, kalau kami analisis, kurang informasi, kami bisa minta. Jika tak diberi, kami bisa datangi alamatnya.

KPK kerap tak menggunakan Undang-Undang Pencucian Uang untuk kasus seperti ini. Apakah sudah ada pembicaraan dengan KPK?

Secara formal belum. Tapi, secara informal, saya sudah berbicara dengan komisionernya, Chandra Hamzah. Saya bilang, di Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, KPK diberi wewenang menyelidiki pencucian uang. Kenapa ini tak dipakai? Sebab, kalau si A melakukan korupsi, lalu uangnya diberikan kepada si B, si B tak bisa dituduh korupsi. Tapi, jika yang digunakan Undang-Undang Pencucian Uang, si penerima uang atau yang menggunakan bisa terkena pidana karena termasuk pencucian uang. Jika hanya menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, ada ketidakadilan. Sering kali hanya para pengelola negara yang dihukum, tapi penerima uang tidak dihukum.

PPATK sudah biasa menelusuri transaksi lewat bank. Bagaimana dengan transaksi secara tunai atau menggunakan emas dan berlian?

Kami sudah mengusulkan saat penyusunan Undang-Undang Pencucian Uang dan Undang-Undang Lalu Lintas Devisa agar transaksi tunai dibatasi Rp 100 juta saja. Kalau mau beli mobil Alphard, boleh tunai Rp 100 juta. Selebihnya harus lewat bank. Tapi usul itu ditolak di DPR. Tentang emas sudah diatur dalam undang-undang baru. Pihak yang melapor ke PPATK tak cuma perbankan, tapi juga penyedia jasa, seperti penjual emas. Aturan ini mulai berlaku pada Oktober 2012 karena perlu sosialisasi supaya pedagang tidak shocked. Kami sedang membangun instrumennya, laporan online atau tidak, bentuk laporannya, dan siapa regulatornya. Sementara perbankan diatur oleh Bank Indonesia dan sekuritas oleh Bapepam, pedagang emas serta berlian diatur oleh PPATK, sehingga emas dan berlian tidak menjadi alat transaksi tak benar.

Single identity number mestinya mencakup rekening bank, pajak, dan lain-lain, tapi sekarang dikerdilkan hanya menjadi KTP elektronik….

Iya, betul. Saya enggak tahu kenapa jadi seperti itu. Tapi minimal ada nomor induk penduduk (NIP) yang bisa diketahui milik satu orang saja, sehingga saat orang membuka rekening, kami bisa minta ke bank. Patokannya NIP. Begitu pula ke pedagang emas, berlian, dan mobil agar, saat orang membeli, mereka tercatat.

Anda berasal dari kejaksaan. Apakah pekerjaan di PPATK lebih berat ketimbang di kejaksaan?

Sebetulnya lebih berat di kejaksaan. Di sana kami bekerja tak kenal waktu. Pulang pukul 10 atau 11 malam itu rutin. Mengapa seperti itu? Karena kami diburu masa penahanan. Berkas mesti selesai. Kalau tidak, tersangka akan lepas. Tapi gaji kecil dan tak ada perlindungan. Tak ada senjata karena sulitnya birokrasi di kepolisian. Di PPATK, gaji kami cukup. Untuk level pimpinan, ada pengawalan dan perlindungan yang cukup.

Apakah pengawasan di PPATK lebih ketat ketimbang di kejaksaan?

Sewaktu saya di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, saya memasukkan uang ke kas negara sampai Rp 2,5 triliun pada 2006-2008. Banyak kasus besar berarti godaan besar, apalagi gaji kami kecil. Banyak orang melobi kami karena sistemnya terbuka. Berbeda dengan di sini. Semua yang mau ketemu saya mesti melalui pengamanan dan pengawasan berlapis. Sebaliknya, di kejaksaan, tahu-tahu bungkusan suap sudah ada di meja saya. Saya tanya kepada sekretaris, "Ini apa?" Sekretaris saya menjawab, "Katanya orang itu sudah menelepon Bapak." Saya marah, "Kurang ajar. Kembalikan!" Tapi orang itu malah datang ke rumah. Untung, istri dan pembantu saya waspada. Saat sidang di pengadilan, pengacara datang dengan mobil bagus. Maka, ketika saya menjadi Asisten Pidana Khusus, saya pegang dana kejaksaan untuk transportasi para jaksa. Saya kasih mereka Rp 200 ribu untuk naik taksi menghadiri sidang.

Besarkah risiko bekerja di PPATK?

Risiko di sini tidak besar. Data yang kami kirim semua bersifat rahasia. Tapi di kejaksaan, ketika saya menetapkan seseorang menjadi tersangka, bisa langsung ada yang datang menggebrak meja sambil mengatakan, "Saya keberatan!" Saat menangani kasus sengketa tanah di Ciracas, saya pernah diancam akan dikeroyok 10 ribu orang dari sebuah ormas. Saya katakan, "Silakan saja!" Makanya banyak jaksa lebih ingin bekerja di KPK atau PPATK. Saya merasa kasih­an kepada Jaksa Agung. Bagaimanapun dia berbuat, kalau aspek kesejahteraan tak diperbaiki, berat.

Bagaimana sistem pengawasan internal di sini? Jika ada pegawai curang, bukankah masih bisa bertemu dengan orang di luar kantor, misalnya di pesta....

Lingkungan di sini sudah tertib. Jadi akan terasa aneh bila ada pegawai yang tidak tertib. Kami punya mekanisme whistle blower. Jika ada satu pegawai yang nakal, berita itu langsung menyebar di e-mail. Kemudian ada laporan tanpa nama ke pimpinan. Di sini juga ada auditor internal, pengawasan internal kami. Saat di mobil, supaya sopir tak tahu, kami berbicara memakai dokumen. Saya menunjuk di dokumen, ini salah. Sopir mendengarnya, tapi kan enggak tahu apa yang salah. Sewaktu saya menjadi Direktur Hukum dan Regulasi, saya enggak bisa masuk ruang analisis. Dan sesama analis tak bisa saling tahu apa yang sedang dianalisis. Bahkan, ketika saya menjadi Direktur Hukum, Pak Yunus cuma memperlihatkan dokumen saat meminta pendapat hukum kepada saya. Kemudian dokumen itu dia ambil lagi. Semula saya berpikir saya tak dipercaya di sini. Tapi lama-lama saya tahu, oh, begini etika kerjanya.

Ketika di kejaksaan, kami mendengar Anda pernah membuka jasa konsultan hukum?

Tidak, bukan begitu. Mana boleh jaksa membuka jasa konsultan hukum. Jadi begini, saya mengajar di berbagai tempat, seperti kursus dan konsultan hukum, karena kurangnya penghasilan sebagai jaksa. Saya juga memberikan nasihat kepada polisi. Ada juga orang asing yang meminta nasihat hukum. Sepanjang tak mengganggu jam kerja dan bertemu di luar jam kerja, saya bersedia. Saya menjual ilmu, bukan profesi atau informasi.

Anda dari kejaksaan, apakah berani menindak jika ada teman dari kejaksaan yang transaksi keuangannya mencurigakan?

Anda bisa bertanya kepada Pak Darmono (Wakil Jaksa Agung) tentang sikap saya sewaktu saya di kejaksaan. Ketika saya sedang menyidik, ada keponakan pejabat kejaksaan yang terlibat kasus itu. Langsung saya sampaikan kepada pejabat itu, "Keponakan Anda tersangkut, dan saya tak ragu untuk memprosesnya." Kalau dulu saja saya tak ambil pusing, kenapa sekarang saya harus pusing?

Muhammad Yusuf
Tempat dan tanggal lahir: Pendopo, Sumatera Selatan, 18 Mei 1962 Pekerjaan: l Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2011 l Direktur Hukum dan Regulasi PPATK, 2008-2011 l Asisten Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, 2008-2011 l Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta, 2007-2008 Pendidikan: l Kandidat doktor hukum Universitas Padjadjaran l Master hukum Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Manajemen, Jakarta l Sarjana hukum Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus