Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Eman Suparman, Ketua Komisi Yudisial:</font><br />Hakim Narkoba Ketar-ketir

25 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Skandal hukum itu memboyakkan wajah institusi peradilan kita telak-telak. Hakim agung Achmad Yamanie memalsukan putusan peninjauan kembali terpidana mati gembong narkoba Hanky Gunawan. Caranya? Yamanie membuat laporan bertulisan tangan yang menyatakan vonis mati itu diubah menjadi 12 tahun penjara. Padahal sidang memutus 15 tahun. Mahkamah Agung meminta Yamanie mengundurkan diri.

Putusan 15 tahun tersebut ramai mengundang wasangka. Hakim agung Imron Anwari, yang memimpin sidang, dianggap lembek menghadapi bandar narkoba. Imron berdalih, hukuman mati melanggar hak asasi manusia. Ditangkap enam tahun lalu, Hanky divonis 15 tahun oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Di tingkat banding, hukumannya menanjak ke 18 tahun. Di tingkat kasasi, dia malah divonis mati.

Daya tembus narkoba telah mencapai sejumlah hakim. Ada yang bahkan menyedot barang laknat ini sebelum memimpin persidangan. Pertengahan Oktober lalu, hakim Pengadilan Negeri Bekasi, Puji Wijayanto, tertangkap saat berpesta narkoba bersama teman-temannya. Komisi Yudisial juga sudah mengantongi sejumlah nama lain dengan kasus serupa. ”Kami sudah meminta Badan Narkotika Nasional melakukan tes urine,” kata Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman.

Narkoba hanya satu dari sederet keburukan yang kian ketat melilit para pemegang palu hukum: memeras terdakwa, menerima suap, menjadi makelar perkara korupsi, dan berselingkuh—sekadar menyebut contoh. Komisi Yudisial, yang dibentuk untuk mengawasi perilaku hakim, dibanjiri pengaduan masyarakat—meskipun banyak aduan tanpa disertai bukti memadai.

Di tengah deraan aneka skandal tersebut, optimisme Eman tidak surut. ”Jumlah hakim terlalu banyak, jadi perubahannya belum signifikan terlihat,” ujarnya.

Selasa dua pekan lalu, Eman menerima Adek Media Roza, Purwani Diyah Prabandari, dan Mitra Tarigan untuk satu wawancara khusus. Perbincangan berlangsung di kantor Komisi Yudisial, Jalan Kramat Raya 57, Jakarta Pusat. Sepekan sesudahnya, Tempo meneruskan perbincangan via telepon dengan Eman untuk sejumlah pertanyaan tambahan, termasuk ihwal hakim agung Achmad Yamanie.

Apa tindakan Komisi Yudisial terhadap hakim agung Achmad Yamanie?

Jelas akan kami periksa. Mahkamah Agung sudah mempersilakannya. Saya telah mengirim surat ke Presiden agar tidak mengabulkan pengunduran diri Achmad Yamanie karena kami tidak mau kehilangan momentum memeriksa dia.

Maksudnya?

Kalau keburu mengundurkan diri, dia bukan lagi hakim dan tidak bisa kami periksa atau kami ajukan ke sidang Majelis Kehormatan Hakim untuk dipecat. Karena itu, saya melakukan pencegahan dengan mengirim surat ke Presiden.

Kapan pemanggilan dilakukan?

Secepatnya. Beberapa hari ini kami sibuk menuntaskan proses seleksi calon hakim agung untuk diserahkan dan diuji kelayakannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Menurut Anda, Yamanie bermain sendiri?

Itu akan kami cari tahu. Bisa jadi melibatkan orang lain, entah pegawai entah siapa pun.

Bagaimana dengan hakim agung lain yang bersama Achmad memutus peninjauan kembali tersebut?

Kalau indikasinya kuat, akan kami periksa karena ini jadi dosa bersama. Yang pasti, kami melakukan pemeriksaan satu per satu.

Terhadap hakim yang kedapatan memakai barang haram itu—seperti hakim Puji—apa langkah Komisi Yudisial?

Saya akan meminta MA memecat hakim Puji. Dia sudah lima kali dilaporkan ke KY, tapi laporan sebelumnya tidak terbukti.

Apakah lima laporan itu terkait dengan narkoba?

Ada laporan dia main perempuan, ada kasus dia membebaskan terdakwa narkoba. Banyaklah. Perilakunya macam-macam dan aneh. Tingkah lakunya jelek. Puji itu sudah dipindahkan ke mana-mana oleh MA: Sabang, Papua, Yogyakarta, Bekasi, dan rencananya ke Ternate.

Boleh kami tahu nama-nama hakim lain pemakai narkoba—yang sudah ada di kantong Komisi Yudisial?

Perihal siapa orangnya, tentu yang lebih tahu adalah yang memeriksa Puji, yaitu Pak Imam (Imam Anshori Saleh, Wakil Ketua KY) dan Pak Parman (Suparman Marzuki, komisioner).

Kan, wakil Anda mengatakan nama-nama itu sudah di kantong….

Kalau Pak Imam mengatakan begitu, saya percaya karena Pak Imam tahu.

Bagaimana nasib mereka?

Pada 31 Oktober lalu, kami bersepakat dengan Badan Narkotika Nasional untuk penanganan hakim pemakai narkoba. Jika ada dugaan kasus, BNN yang menanganinya. Komisi juga bisa meminta BNN memeriksa urine semua hakim di Indonesia, termasuk di kantor saya. Jadi (hakim) pengguna narkoba sekarang ketar-ketir.

Apa sanksi bagi yang terjaring?

Kalau BNN mengatakan pidana, itu menjadi urusan penegak hukum. Tapi, kalau bukan pidana, misalnya sebatas pengguna, akan dimasukkan ke panti rehabilitasi. Nah, KY akan meminta hakim itu dipecat, karena hakim tidak boleh melakukan tindakan tercela.

Bagaimana Anda melihat kondisi peradilan dan para hakim saat ini—dengan berbagai skandal itu?

Secara umum, kondisi peradilan kita sudah lebih baik. Setidaknya saya melihat dari rasa hormat para hakim ke Komisi Yudisial—sebagai lembaga eksternal yang mengawasi perilaku mereka. Dulu hakim membenci KY.

Benci bagaimana?

Jika ada hakim dipanggil untuk dimintai klarifikasi, mereka bertanya ke atasannya, ke MA atau ketua pengadilan tinggi, ”Apakah saya datang atau tidak ke KY?” Sering atasan mereka bilang enggak usah datang.

Kenapa para hakim membenci Komisi Yudisial?

Menurut mereka, dulu KY ini seolah-olah polisinya para hakim.

Bukankah Komisi Yudisial memang dibentuk untuk mengawasi para hakim?

Ada kesan KY menakut-nakuti dan mencari kesalahan para hakim. Tugas saya bersama teman-teman komisioner memulihkan kondisi tersebut. Setidaknya para hakim tidak menolak bila diundang memberi klarifikasi.

Apa dasar memanggil dan memeriksa hakim?

Harus ada bukti dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku. Banyak laporan yang masuk ke KY pada 2011—seribu lebih laporan—tapi tidak dilengkapi data dan bukti yang kuat.

Apa yang paling banyak mereka keluhkan?

Pelapor umumnya orang yang enggak puas terhadap putusan hakim. Ada laporan hakim selingkuh atau berhubungan dengan suami orang, ada hakim memainkan perkara. Ada yang melapor dimintai uang oleh hakim, walaupun tak menyertakan buktinya.

Apa Komisi Yudisial tidak bisa menelusuri dan menemukan bukti sendiri?

KY hanya punya 20 investigator untuk menangani semua laporan yang masuk. Jadi, laporan yang ditindak­lanjuti itu yang disertai bukti atau mengandung informasi berharga.

Bukti seperti apa yang diperlukan?

Misalnya bukti menerima suap yang diperoleh dari percakapan di telepon, seperti kasus hakim Dwi Januarto di Pengadilan Negeri Yogyakarta tahun lalu. Ada bukti tanda tangan dia menerima duit untuk membeli tiket pesawat dari Kupang ke Yogya (karena terbukti menjadi makelar perkara korupsi, Dwi dipecat). Kami punya wewenang menelusuri bukti-bukti dan dapat meminta bantuan penegak hukum membuat penyadapan atau rekaman pembicaraan.

Apa saja bentuk kerja sama lain dengan penegak hukum?

KY memberi informasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi tentang hakim yang diduga menerima suap. Contohnya hakim Kartini Marpaung dan Heru Kisbandono, yang tertangkap tangan oleh KPK saat menerima suap.

Seberapa besar wewenang Komisi Yudisial dalam menghukum hakim?

Kalau ada yang bertanya apakah KY bisa memberi efek jera, jawabannya tidak bisa. Pertama, KY tidak bisa menindak hakim. Yang bisa dilakukan adalah mengajukan rekomendasi sanksi ke MA. Kedua, KY tidak bisa memecat hakim tanpa sidang Majelis Kehormatan Hakim. KY hanya bisa menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis dan lisan.

Ada kebiasaan di Mahkamah Agung menghukum hakim dengan mutasi ke daerah. Padahal daerah kan memerlukan hakim bagus, terutama untuk memutus kasus-kasus lingkungan dan tambang?

Itu wewenang MA yang tidak bisa kami campuri. Tapi saya memang mendapat keluhan dari daerah. Misalnya, dari Sulawesi Utara, mereka minta hakim bermasalah tidak dipindahkan ke daerah mereka. Dari Ternate juga ada keluhan tatkala ada rencana pemindahan hakim Puji sebelum tertangkap. Dugaan kami, ada tradisi di MA bahwa sanksi itu dipindahkan dari Jawa, seolah-olah di Jawa itu enak. Dan memang banyak hakim yang meminta ditempatkan di Jawa.

Selain mengawasi para hakim, Komisi Yudisial mengusulkan calon hakim agung yang akan dipilih Dewan Perwakilan Rakyat. Agustus lalu, Komisi Hukum DPR tidak memproses nama yang diajukan dengan alasan tak sesuai dengan jumlah yang diinginkan. Anda sudah mendapat tambahan nama?

Waktu itu kami diminta mengisi kekosongan lima hakim agung yang pensiun. Artinya, KY harus mencari 15 nama untuk diserahkan ke DPR. Tapi KY tak bisa memaksakan orang yang tak berkualitas menjadi hakim agung. Jadi, hanya 12 nama yang diperoleh.

Bukankah dulu DPR pernah memprosesnya walau jumlah yang diserahkan tidak cukup?

Ya, pada seleksi hakim agung tahap pertama 2011, saya menyerahkan 15 dari seharusnya 18 calon untuk mendapatkan enam hakim agung. Ketika itu diproses dan terpilih lima hakim agung. Salah satu yang terpilih adalah Gayus Lumbuun (waktu itu masih anggota DPR). Apa alasannya dulu diproses dan sekarang tidak? Enggak jelas juga.

Padahal sudah ada lagi hakim agung yang akan pensiun dan harus diganti….

Betul, MA sangat butuh hakim agung dan sudah meminta pengganti untuk empat yang akan pensiun. Jadi, harus cari sembilan. Dengan 12 calon yang sudah ada, kami harus mencari 15 lagi. Saat ini kami sedang melakukan seleksi. Mudah-mudahan dapat. Kami cari yang hebat, jujur, pintar, dan berintegritas. Dengan demikian, diharapkan hakim agung bisa menghasilkan putusan yang adil.

Kalau jumlahnya masih kurang juga, bagaimana?

Ini yang repot. Tidak mudah mencari orang yang diperlukan, karena sumbernya itu-itu juga. Dari sumber yang sama, dengan rekam jejak yang ada. Tapi saya berdoa semoga kami mendapatkannya.

Eman Suparman

Tempat dan tanggal lahir:
Kuningan, Jawa Barat, 23 April 1959

Pendidikan:

  • Sarjana Hukum Universitas Padjadjaran, 1982
  • Magister Hukum Universitas Gadjah Mada, 1988
  • Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2004

    Karier:

  • Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, mulai 1983
  • Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, mulai 2009
  • Ketua Komisi Yudisial, 2010-2015
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus