Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Halima, seorang janda dengan sembilan anak yatim, berdiri telanjang kaki di tengah hujan. Nama lengkapnya Halima al-Hadhalin. Ia perempuan Palestina yang tinggal di wilayah sangat melarat di Umm al-Kheir yang berdekatan dengan Carmel, tempat pemukiman Yahudi di bukit-bukit Hebron selatan. Nasib perempuan itu tak menentu lagi. Beberapa bulan sebelumnya pemerintah sipil Israel mengirim buldoser, yang dikawal tentara, untuk menghancurkan gubuknya. Alasan: teratak itu dibangun tanpa izin.
Mungkin benar. Tapi akankah Halima diberi izin andai prosedur itu ditempuh? Hampir pasti tidak.
David Shulman, wartawan Israel yang menemui Halima hari itu—dan mengisahkan nasibnya dalam sebuah tulisan yang tajam di The New York Review of Books 7 Juni yang lalu—menyimpulkan bahwa "apa yang terjadi di wilayah [pendudukan] itu bukan pelanggaran sewaktu-waktu saja terhadap hak asasi, sesuatu yang dapat dikoreksi dengan langkah ad hoc dan kecil-kecilan…". Apa yang dialami Halima adalah indikasi bahwa pendudukan Israel, dalam kata-kata Shulman, bersifat "sistematik" dalam segala arti. Logika yang mendasarinya gamblang: untuk "melindungi permukiman [Yahudi] dan mengambil alih tanah".
Dengan itu, pemerintah Israel menggertak dan menggerogoti penduduk Palestina di tanah mereka sendiri—agar mereka mau hengkang.
Shulman pun bercerita tentang sebuah proyek pelistrikan dan pembangunan prasarana energi yang mempertautkan sekitar 16 khirbeh Palestina juga di Hebron. Para penggembala dan petani gurem di wilayah ini hidup dalam gua, tenda, dan dangau. Keadaan hidup mereka tak selayaknya hidup manusia. Menyaksikan itu, sejumlah aktivis perdamaian Israel seperti Noam Dotan dan El'ad Orian dari organisasi yang dikenal dengan nama Comet-Me membangun turbin dan infrastruktur listrik buat desa-desa berpenduduk 1.500 itu.
Tapi usaha yang dikerjakan dengan susah payah ini tak dibiarkan berkembang. Proyek Comet-Me beberapa saat memang berhasil memperbaiki hidup orang Palestina yang tersudut itu. Namun segera ia dihabisi pemerintah Israel. Prasarana itu dirusak dan dihancurkan. Untung pemerintah Jerman, yang ikut mendanai proyek itu, memprotes. Destruksi buat sementara dihentikan. Tapi sampai kapan?
Tulisan Shulman muram. Di satu saat ia menganjurkan bergeraknya makin banyak relawan untuk melindungi warga sipil Palestina dari pemukim [Yahudi] yang berdatangan untuk merebut tanah dengan dukungan tentara. Biarpun hanya beberapa ratus orang yang berani melawan para pemukim itu, menurut Shulman, perubahan yang berarti bisa terjadi. Tapi segera dalam kalimat berikutnya ia menulis: "Namun mungkin itu sudah terlambat."
Ia melihat Israel sedang bergerak ke arah sebuah bangunan yang keji: sebuah "etnokrasi", sebuah kekuasaan yang didirikan satu golongan etnis untuk menguasai golongan etnis lain. Shulman melihat analoginya dengan sistem yang dulu berlaku di Afrika Selatan, ketika sebuah rezim kulit putih menindas orang-orang yang warna kulitnya berbeda dan tiap perlawanan dibekuk; kita ingat bagaimana Mandela dipenjarakan bertahun-tahun.
Bahwa Shulman, seorang Yahudi, menyebut dengan jelas kecenderungan ini—yang dulu pernah dianggap tak benar oleh para pembela Israel—menunjukkan bahwa keadaan memang makin merisaukan. Merisaukan, apabila kita, sebagaimana Shulman, masih setia kepada apa yang pada mulanya menggerakkan politik.
Politik bermula ketika manusia menemukan dirinya berada bersama orang lain. Hubungan sosial tak bisa dielakkan. Ada yang mengatakan hubungan itu bercirikan antagonisme; ada yang sebaliknya mengatakan bahwa cirinya adalah solidaritas. Tapi sebenarnya tak ada sifat yang pasti dan permanen. Yang bisa dikatakan, pada akhirnya politik akan gagal jika arahnya untuk meniadakan liyan—sebab pada liyan, yang di luarku, yang berbeda dariku, ada sesuatu yang bisa kuajak dan mengajakku. Itu sebabnya perdamaian bukan hal yang mustahil. Itu pula sebabnya empati bisa terjadi—dan dalam hujan di bukit Hebron itu, Shulman tersentuh Halima.
Dan ia risau. Dan kita risau. Karena ada yang dilupakan. Penyair Palestina Mahmoud Darwish menulis sebuah sajak, mungkin buat seorang prajurit Israel, untuk mengingatkan:
Jika pernah kau renungkan wajah korban itu,
dan telah kau pikir sepenuhnya, kau akan ingat ibumu
di kamar gas, dan kau akan dibebaskan dari alasan
untuk bersenjata
Kamar gas Hitler membunuh ribuan orang tak berdaya dari generasi sebelum kelahiran negara dan tentara Israel; kita ingat bagaimana, untuk menegakkan "etnokrasi", Nazi Jerman menghabisi nyawa gadis remaja Anne Frank. Halima memang tak seperti warga Yahudi Belanda yang terkurung sebelum dimatikan. Tapi hidupnya juga terkepung dalam perjalanan ke kematian pelan-pelan—bersama sembilan anak yatim yang terancam lapar, sakit, dan bukan mustahil juga bom.
Sesuatu yang menggerakkan politik menggerakkan kita untuk ingat ibu di kamar gas itu dan Halima di Umm al-Kheir—ya, siapa pun yang tertindas, dari mana pun asalnya, apa pun imannya. Sesuatu yang menggerakkan politik sanggup memanggil, seperti sajak lain Mahmoud Darwish ini:
Kau yang berdiri di ambang, masuklah.
Minumlah kopi Arab ini bersama kami.
Dan kau akan rasakan bahwa kau juga manusia
seperti kami.
Tapi di Palestina, di Israel, politik akhirnya terenggut dari apa yang semula menggerakkan dirinya. Seperti banyak hal dalam riwayat manusia, politik sibuk memisah-misahkan—bahkan memberi orang alasan untuk bersenjata.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo