Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH banjir lumpur panas Lapindo, kini giliran banjir protes pengguna jalan tol yang melanda Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto. Ihwal protes berpangkal pada keputusan pemerintah menaikkan biaya tol rata-rata 20 persen. Tarif untuk ruas Jakarta Outer Ring Road (JORR) yang tadinya menggunakan sistem tertutup (pengguna membayar di loket terakhir, biaya disesuaikan dengan jarak tempuh) kini menjadi sistem terbuka (pengguna membayar di muka dengan tarif sama untuk jauh-dekat sama—seperti tol dalam kota).
Keputusan yang ditetapkan pada awal September lalu, menurut Koalisi Rakyat Menggugat Jasa Marga—organisasi yang mengklaim mewakili para pengguna jalan tol—hanya membela kepentingan investor. Mereka meminta kenaikan tarif ditunda. Rabu pekan lalu, mereka bahkan melangkah lebih jauh dengan mengajukan gugatan class action terhadap pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Toh, Djoko mengaku tidak gentar. Gugatan yang tertuju kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Badan Pengatur Jalan Tol itu diterimanya dengan tenang. ”Itu sudah risiko pekerjaan saya,” ujarnya kepada Tempo.
Apa yang membuat pemerintah berkukuh dengan keputusannya? Kamis pekan lalu, didampingi Direktur Jenderal Penataan Ruang Hermanto Dardak, Djoko memberikan wawancara khusus kepada Nugroho Dewanto dan Widiarsi Agustina dari Tempo. Perbincangan berlangsung di rumah dinasnya di Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, pada hari pertama Ramadan, selepas dia berbuka puasa bersama para pegawai Departemen Pekerjaan Umum. Berikut ini petikannya:
Mengapa pemerintah berkukuh menaikkan tarif tol kendati menuai gugatan dari masyarakat?
Jalan tol sifatnya alternatif. Nggak lewat situ juga nggak masalah. Ketika swasta membuat jalan tol dengan pemerintah, itu ada kontraknya. Intinya: kamu boleh bikin jalan tol, bisa tarik sekian besar selama 30 tahun. Setelah itu diberikan kepada pemerintah. Selanjutnya tergantung pemerintah. Mau digratiskan? Bisa. Mau ditolkan lagi lalu uangnya dipakai membangun jalan lainnya, juga boleh.
Repotnya, dalam soal tarif tidak ada kejelasan. Hal itu membuat pembangunan jalan tol di Indonesia tertinggal dibanding negara lain. Saat ini, Indonesia baru punya 600 kilometer. Bandingkan dengan Malaysia yang belajar dari negeri kita 30 tahun lalu dan sudah memiliki ribuan kilometer. Cina sudah punya 90 ribu kilometer.
Kenapa kita tertinggal sejauh itu?
Karena investor kurang tertarik. Bila disuruh invest jalan tol di Indonesia, rata-rata mengatakan, ”Maaf, nanti dululah.” Mereka menganggap risiko investasi jalan tol di Indonesia terlalu tinggi. Maklum, investasinya tinggi, sekitar Rp 3–5 triliunan dan jangka waktu usaha lama, kurang-lebih 35 tahun. Wajar jika para pemodal itu butuh kepastian. Apakah kondisi Indonesia sampai 35 tahun mendatang akan stabil?
Apa hubungannya dengan kenaikan tarif?
Dulu, di era Soeharto, jalan tol dibikin dulu, tarif kemudian. Dulu investor seperti Tutut tak menganggap masalah karena Soeharto adalah ayahnya. Tapi sekarang investor asing tak mau. Lalu, ada soal dengan Jasa Marga. Dulu kami memberi kuasa kepada Jasa Marga sebagai operator sekaligus regulator. Akibatnya, jika swasta mau masuk, ketika tender mereka harus berhadapan dengan Jasa Marga. Mereka kalah terus karena kalau mau menang, mau tidak mau, harus main dengan Jasa Marga. Akhirnya tidak ada orang lain menang tanpa Jasa Marga ikut di situ, karena dia mengatur semaunya. Sekarang ini Jasa Marga sebagai operator saja. Regulatornya ditarik ke PU dengan membentuk Badan Pelaksana Jalan Tol.
Itu sebabnya, demi kepastian hukum pemerintah dan DPR membuat UU Jalan dan Peraturan Pemerintah tentang Jalan tol.
Intinya apa saja?
Di situ disebut penyesuaian tarif tiap dua tahun sekali mengikuti inflasi. Jadi, kalau investor ikut tender, yang ditender adalah tarif itu. Saat kontrak konsesi diteken, investor sudah tahu berapa tarif yang akan disesuaikan tiap dua tahun sekali.
Bila menyesuaikan terhadap inflasi, kenaikan tarif rata-rata 20 persen apa tidak terlalu besar?
Lho, inflasi karena kenaikan harga bahan bakar minyak 100 persen pada Oktober 2005 dalam sebulan 7–8 persen. Jadi, kalau Anda bilang dua tahun seharusnya hanya naik 14 persen, itu benar. Tapi ditambah 8 persen kan jadi 22 persen.
Soal persentase ini kami tidak mengarang. Besaran kenaikan sesuai inflasi disesuaikan data inflasi dari Badan Pusat Statistik di setiap daerah. Kalaupun ada perbedaan di ruas tol di luar Jakarta, tidak akan jauh dari kisaran itu. Kami menambah klasifikasi golongan tarif. Jika sebelumnya tiga golongan menjadi lima golongan. Mobil berat seperti trailer akan masuk ke golongan V karena tingkat merusaknya jauh lebih besar daripada kendaraan lain. Tapi angkutan umum rakyat seperti bus dan metro mini masuk kategori I agar tarifnya murah.
Ada pendapat, kenaikan tarif tol menjelang Lebaran bakal memicu inflasi lebih tinggi.
Kami tak pernah menyesali keputusan. Kami mengikuti kontrak dengan investor. Kalau kami tidak menaikkan tarif, kami bisa dituntut. Saya tak mau ingkar janji dan melanggar undang-undang.
Tapi, akibatnya, Anda harus menghadapi class action dari masyarakat.…
Itu risiko. Selasa kemarin para aktivis Lembaga Bantuan Hukum datang ke kantor saya. Mereka mengajukan macam-macam pertanyaan yang intinya, mereka tak akan mengajukan class action kalau saya mau mencabut keputusan itu atau paling tidak menunda.
Apa jawaban Anda?
Saya tak bisa menunda apalagi mencabut karena tak ada alasan bagi kami untuk tidak menaikkan tarif. Mereka bilang, kalau begitu, kami akan memberi kado kepada Bapak di bulan puasa berupa class action. Saya bilang, kado saya terima. Saya mempersilakan mereka mengajukan gugatan karena dijamin undang-undang. Terus terang, saya memikirkan orang yang jauh lebih banyak daripada sekelompok orang yang mengajukan class action. Mereka itu membela siapa?
Ya, para pengguna jalan tol….
Pengguna jalan tol yang mana? Saya merasa tidak diwakili mereka.
Tentu tidak semua….
Lalu siapa? Pasti kecil persentasenya.
Bagaimana jika nanti pengadilan memenangkan mereka?
Kemampuan kami hanya menunggu. Jadi, saya tidak bisa menjawab pertanyaan tentang langkah apa yang akan dipersiapkan Departemen PU untuk menghadapi gugatan class action.
Sosialisasi kenaikan tarif tol dinilai kurang, bahkan Presiden SBY pun meminta penjelasan. Apa komentar Anda?
Sosialisasi kenaikan tarif tol sudah berlangsung sejak enam bulan lalu. Pembahasan dilakukan terbuka di DPR. Koran-koran berkali-kali memaparkan sejumlah pertimbangan. Hanya waktu itu memang belum diputuskan akan naik. Anggota DPR juga tidak berkomentar.
Anggota DPR tak ada yang komentar karena mendapat voucher haha.…
Soal itu saya tidak tahu. Itu urusan operator jalan tol. Saya tak pernah mengeluarkan instruksi untuk memberi voucher. Wong saya, para dirjen semuanya, juga bayar tol, kok.
Mengapa sistem tarif tertutup diubah menjadi terbuka?
Sistem terbuka bisa mengurangi tingkat kemacetan yang dikeluhkan pengguna jalan. Dengan sistem itu orang hanya antre bayar waktu masuk tol. Saat keluar tak perlu lagi.
Kenaikan tarif tol dinilai tak sepadan dengan pelayanan operator….
Pelayanan tentu perlu ditingkatkan. Kami terus mengeluarkan imbauan kepada operator agar pelayanan menjadi hal utama. Bagi operator yang tak mematuhi hal itu akan ada teguran hingga sanksi, tergantung kesalahannya.
Pemerintah dinilai diskriminatif terhadap investor jalan tol. Misalnya terhadap Bukaka di ruas tol Cikampek-Palimanan?
Memangnya Bukaka punya berapa persen saham di situ?
Bukankah seharusnya ruas itu ditender ulang, sesuai aturan?
Nggak. Boleh kok. Ruas itu sudah ada pemiliknya. Kalau Anda mau masuk ke situ, silakan. Hanya harus bekerja sama dengan pemilik. Jadi sah, tidak berdosa kalau mereka masuk bekerja sama dengan pihak yang memenangkan tender pada 1997.
Apa itu tidak mengulang praktek menjual lisensi seperti di masa lalu?
Itu tidak menjual lisensi. Ini agar orang luar bisa ikut masuk membiayai.
Bukannya lebih murah bagi investor jika ditender ulang saja?
Kalau ditender ulang, Anda tahu prosesnya berapa tahun? Kalau saya menunda proyek dua tahun, berapa ruginya? Dua kali lipat.
Bagaimana dengan kasus Setdco?
Dia tidak bisa financial close. Syaratnya, kalau dia sudah teken kontrak, diberi waktu sekian bulan untuk mendapatkan financial close dari bank. Ternyata dia tidak bisa. Waktunya habis. Saya sempat perpanjang 3–6 bulan. Akhirnya dia menyerah dan meminta maaf karena tak ada bank yang mau membantu. Itu artinya dia tidak bonafid. Ya, kita putus.
Begini. Isu diskriminasi ini dikaitkan dengan terlibatnya keluarga anggota kabinet dalam investasi di jalan tol, misalnya Bakrie, Bosowa, dan Bukaka?
Apa urusan saya? Mau namanya Djoko Kirmanto, Bakrie atau Anda sekalipun, saya tak ada urusan. Kalau Anda punya duit banyak, mau investasi, silakan. Buat saya, makin banyak yang investasi makin baik. Saya nggak ada urusan dengan Bakrie dan Kalla.
Wapres Jusuf Kalla bukannya atasan Anda. Aburizal Bakrie kolega Anda di kabinet?
Tapi dalam perusahaan itu dia jadi apa? Buat saya, apa pun dia, siapa pun dia, selama dia mengikuti aturan dan kriteria kelayakan, dia pasti dapat. Meskipun urusan mereka benar semua, tapi kalau proyeknya macet tak sesuai kontrak, ya, diputus. Kami tinggal lihat kontraknya. Kalau menyimpang dari kontrak, ya, kami putus. Dulu waktu Setdco kami juga nggak langsung memutus. Tapi setelah diberi waktu dan nggak bisa beres juga terpaksa kami putuskan dengan berat hati.
Kapan seluruh jalur tol Trans Java ditargetkan selesai?
Sekarang sebagian sedang ditender, bahkan beberapa bank sudah ingin membiayai. Artinya sudah ada financial close. Kami menargetkan semua selesai tahun 2010. Mau kami sih, segera mengejar sekian ribu kilometer. Tapi dalam pelaksanaannya kan harus obyektif-realistis.
Seluruh proyek itu ada berapa ruas?
Ada 15 ruas. Dua lagi diproses tender dan dievaluasi. Di antaranya Solo-Ngawi, dan Ngawi-Kertosono. Repotnya, investor dari luar sedang ragu-ragu karena gonjang-ganjing tarif. Apalagi kalau saya mundur, ya bubar. Mereka juga akan mundur.
Apa yang Anda lakukan untuk meyakinkan mereka?
Seperti sekarang ini, tetap menaikkan tarif tol. Tapi malah digugat class action. Ya sudahlah.
Bagaimana dengan jalan non-tol?
Kami juga tetap memacu jalan non-tol. Dua-duanya kami upayakan secara paralel.
Djoko Kirmanto
Lahir: Pengging, Boyolali, Jawa Tengah, 5 Juli 1943
Pendidikan:
- Pascasarjana Land and Water Development, IHE-Delft, Netherland, 1977
- Sarjana Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1969
Pekerjaan:
- Inspektorat Wilayah, Departemen Pekerjaan Umum, 1992–1993
- Direktur Bina Program, Departemen Pekerjaan Umum 1993–1994
- Direktur Bina Program, Direktorat Cipta Karya Pekerjaan Umum 1994–1997
- Asisten I Bidang Pengembangan Pembangunan Perumahan Negara 1997–1999
- Direktur Jenderal Pengembangan Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2001–2004
- Menteri Pekerjaan Umum 2004–sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo