Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Kerja Sunyi Sang Peniup Seruling

Ia merintis jalan bagi studi astronomi teoretis di Indonesia. Terus meneliti kendati sudah pensiun.

17 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA berkarya di jalur sunyi: kebanyakan orang tak memahami pekerjaannya. Namanya baru dikenal ketika ia dinobatkan menjadi penerima Achmad Bakrie Award pada pertengahan Agustus lalu. Jorga Ibrahim, 71 tahun, dinilai berjasa membuka jalan bagi studi astronomi teoretis di Indonesia. Sebelumnya ilmuwan di bidang ini hanya berkutat di bidang astronomi pengamatan.

Bagi orang awam, astronomi teoretis dan matematika murni yang ditekuni Jorga adalah sesuatu yang abstrak. Sulit menjelaskan apa kaitan disiplin ilmu itu dengan kehidupan sehari-hari. Apalagi menagih manfaatnya secara langsung untuk kehidupan zaman sekarang. Apa gunanya ilmu perbintangan bagi orang kebanyakan yang perutnya masih kempis karena lapar?

Tak mengherankan bila ilmuwan seperti Jorga masih kurang dihargai. ”Saya masuk lingkungan yang tidak terlalu spektakuler di negara ini,” ujar Jorga. Di luar itu, pria kelahiran Pangkalpinang, Pulau Bangka, 10 Maret 1936 itu memang tak suka membuka diri. Dia sangat jarang bersedia diwawancarai.

”Saya antipublikasi. Beberapa wartawan sudah saya tolak,” katanya tatkala Tempo menemuinya di ruang kerjanya yang disesaki buku di Gedung Laboratorium Teknologi V Jurusan Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB), dua pekan silam. Ia baru mau membuka mulut setelah berkonsultasi dengan salah seorang panitia Achmad Bakrie Award melalui telepon.

Jorga membuka percakapan dengan mengatakan bahwa kebebasan dan ilmu pengetahuan seyogianya menjadi bagian dari kebudayaan. ”Kalau ilmu pengetahuan masih dilihat dari sesuatu yang teknikal, skill, dan bagaimana memecahkan persoalan teknis, dia belum jadi bagian dari kebudayaan,” katanya.

Ilmu pengetahuan seperti matematika, fisika, dan astronomi, menurut dia, tak bisa dilihat semata dari kegunaan praktisnya. Mungkin saat ini ilmu itu tidak ada manfaatnya sama sekali dan baru akan ketahuan gunanya 100 sampai 150 tahun lagi. ”Bila terus begini,” ujarnya, ”kita akan tetap tersendat-sendat mengikuti perkembangan dunia.”

Kebiasaan mengaitkan ilmu pengetahuan dengan hasil nyata, kata Jorga, perlu ditinjau lagi karena biasanya pengetahuan seperti itu terusannya sudah baku. ”Jadi, tidak terlalu kuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan selanjutnya yang lebih tinggi,” katanya.

Ia mengambil contoh Jerman. Di sana ilmu pengetahuan berkembang pesat sebelum Nazi Hitler berkuasa. Ketika itu ilmuwan terkemuka seperti Albert Einstein dan David Hilbert diusir dan pindah ke Amerika. Akibatnya, kebudayaan Jerman jadi rusak.

Tak mengherankan bila sampai akhir Perang Dunia II Jerman sangat sulit mengembangkan ilmu pengetahuan. Baru pada 1945-1950 mereka bisa bangkit lagi. ”Bagaimanapun hancurnya kebudayaan ilmu pengetahuan di Jerman, tapi akarnya sudah tertanam,” tutur Jorga. Di Indonesia, katanya, ilmu pengetahuan bahkan belum menjadi akar dari kebudayaan sama sekali.

l l l

KULIAH di ITB pada pertengahan 1950-an dan lulus pada 1963, Jorga termasuk generasi pertama ahli astronomi Indonesia. Namanya bergema di dunia akademis. Sebagai dosen, Jorga disegani mahasiswanya di Jurusan Astronomi ITB—satu-satunya di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Ia pernah pula menjadi Rektor Institut Teknologi Indonesia (ITI) di Serpong, Banten. Di dunia internasional, ia tercatat sebagai pengajar tamu di Universitas Kyoto dan Universitas Hiroshima, Jepang.

Ketertarikan Jorga pada astronomi terbit sejak belia. Ia tergolong mahasiswa yang serius—ia terpesona pada bintang-gemintang bukan karena sedang dimabuk asmara. ”Saya tertarik alam semesta bukan seperti orang romantik,” ujarnya.

Di ITB, ia memilih afdeling B yang mempelajari matematika dan astronomi pokok. Di bawah bimbingan Prof The Pek Sin, ia mengutak-atik persamaan Newton dan Einstein dan berusaha memecahkan pergerakan planet tanpa teropong. ”Cuma persamaan-persamaan,” katanya merendah.

Jorga membuktikan, ketertarikan kepada alam semesta bisa muncul hanya melalui teori semata. Ia memberikan perbandingan permainan catur tanpa papan yang digemarinya semasa SMA. Tak ada langkah-langkah bidak catur secara nyata, tapi pemain dapat merasakan.

Empat tahun setelah tamat dari ITB, Jorga mendapat beasiswa pascasarjana di Universitas Kentucky di Lexington, Amerika. Di sana rencananya ia masuk jurusan astronomi karena ingin mendalami kosmologi alias ilmu tentang alam semesta. Tapi dua tahun menunggu, jurusan itu tak kunjung terbentuk. Akhirnya Jorga memilih matematika murni. Ia menyadari astronomi tanpa matematika murni cuma observasi belaka.

Pada 1970, Jorga melanjutkan program doktor di Prancis. Pembimbingnya adalah matematikawan ternama Andre Lichnerowicz dan Yvonne Choquet-Bruhat. Yvonne adalah ilmuwan wanita jagoan fisika partikel. Dia juga Ketua Asosiasi Relativitas Umum dan Gravitasi Dunia. ”Dia tokoh dunia di bidang fisika teori,” ujarnya.

Spesialisasi matematika murni yang diambil Jorga di Universite Pierre et Marie Curie yang juga dikenal sebagai Universite Paris VI adalah geometri diferensial. Ia menyelesaikan program yang terkenal sulit dan rumit itu dalam tempo kurang dari empat tahun. Disertasinya berjudul Tenseurs holomorphes sur une variete kahlerienne compacte menjadi rujukan beberapa matematikawan Prancis dalam publikasi mereka di jurnal matematika internasional.

Lantaran sumbangsih dan kecerdasannya, ia terpilih menjadi peneliti di College de France—lembaga elite yang cuma bisa dimasuki anggota Academie des Sciences Paris. Ia tetap tercatat sebagai peneliti di sana sampai 1984, kendati sebelum itu harus pulang ke Indonesia dan mengajar di almamaternya.

Di tanah air, Jorga merintis kuliah kosmologi modern di Jurusan Astronomi ITB. Ia memperkenalkan geometri diferensial kepada mahasiswa yang ingin mengenal struktur alam semesta. ”Ilmunya terlalu tinggi levelnya untuk Indonesia,” kata Dhani Herdiwijaya, Ketua Jurusan Astronomi ITB. Ilmu yang dimiliki Jorga, kata Dhani, baru bisa digunakan untuk mahasiswa S2 dan S3. Padahal pendidikan S2 astronomi di ITB baru ada lima tahun lalu dan S3 tiga tahun lalu.

Pada 1975 , ia diangkat menjadi staf ahli rektor dan pembantu rektor bidang akademis. Ia juga terpilih sebagai ketua tim seleksi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyaring mahasiswa dan sarjana Indonesia yang akan belajar di Prancis.

Pada masa itu (1979-1983), ia mengirim ratusan mahasiswa dan dosen dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia untuk belajar di negeri Eiffel. ”Itu salah satu sumbangsih terbesar Pak Jorga,” kata Karlina Supelli, salah satu mahasiswa yang pernah dibimbingnya untuk membuat skripsi tentang kosmologi.

Mahasiswa lain yang pernah dibimbing oleh Jorga adalah fisikawan Hans Jacobus Wospakrik. ”Dia brilian, sayang meninggal di usia muda,” kata Jorga. Padahal dia melihat Hans memiliki kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan karena cara berpikirnya yang genuine.

Bagi Dhani, yang pernah menjadi mahasiswanya, Jorga adalah dosen yang sangat serius, keras tapi humoris. Pribadinya sangat menyenangkan, gampang diajak ngobrol atau berdiskusi. Dari sisi keilmuan, ia sangat independen. ”Meski kurang dihargai, ia tak pernah berkecil hati. Ia selalu mengembangkan ilmunya,” ujarnya.

l l l

ALUNAN Variations WoW 45 karya Beethoven terdengar dari sudut ruang kerja Jorga. Di usia yang sudah 71 tahun, tak terlihat kerentaan pada ilmuwan berdarah Sunda ini. Tubuh penggemar joging di kebun teh ini masih sehat dan energetik.

Selain astronomi, mendengar musik klasik merupakan kesenangan Jorga. Apakah keduanya berkaitan? ”Menyukai suatu bidang dalam ilmu pengetahuan itu sebetulnya ada paralelismenya,” katanya. Jorga hafal komposer kenamaan dan karya mereka, mulai dari Bach, Handle, Hayden, Mozart, sampai Beethoven. ”Saya menyukai Variations WoW 45 secara intuitif,” ujarnya.

Untuk selingan dari mendengar musik klasik, sesekali ia meniup seruling bambu. Kalau diaransemen dengan baik, menurut dia, suara seruling enak didengar. Semasa kuliah di Amerika ia juga pernah memimpin kelompok musik paduan suara dengan iringan angklung.

Kendati sudah pensiun enam tahun lalu, Jorga masih menempati ruang kerjanya. Pimpinan ITB memintanya terus meneliti. ”Sekarang saya sedang menggarap program kumputasi kuantum.” Pada 2020 informatika komputasi konvensional akan berubah—sistem komputasi yang lama tidak mungkin lagi bisa dipakai.

Ia memperkenalkan dan menjelaskan kepada mahasiswa ITB, unsur apa saja yang nanti akan menuju ke teknologi kuantum, terutama untuk komputasi kuantum. Penelitian seperti itu sudah berjalan di Kanada. Alat-alatnya sudah mulai dibuat di Jepang. ”Algoritma akan sangat canggih sekali, yang disebut algoritma kuantum,” ujarnya. Dalam penelitian ini ia dibantu Ketua Program Studi Informatika Dr Sukisno Mardiyanto dan Prof Adang Suwandi.

Bersama koleganya di ITB, Jorga ingin terus berkarya. Ia tak kecil hati kendati sampai pensiun tak menerima gelar profesor. ”Saya tidak peduli dengan hal-hal semacam itu,” katanya. ”Di luar negeri saya sudah dipanggil profesor.”

Nugroho Dewanto, Rinny Srihartini (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus