Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEDDY mengetuk-ngetuk papan tulis dengan spidol di depan belasan remaja yang bersila sambil melagukan syair. Para santri di Pondok Al-Matiin, Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang, itu sedang belajar nahwu dan sharaf atau ilmu tata bahasa dan perubahan bentuk kata bahasa Arab, pelajaran yang konon paling ditakuti karena sulit dikuasai.
Anak-anak yang baru lulus sekolah dasar itu tampak santai. Meski tanpa canda tawa, tidak ada ketegangan di wajah mereka. ”Kami sedang belajar bahasa Arab dengan metode Amtsilati,” kata Deddy. Suasana lebih seru berlangsung di Pondok Darul Falah, Sidorejo, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah. Sekitar 750 santri sedang tekun mempelajari bahasa Arab di awal Ramadan, Kamis lalu.
Menurut Deddy, murid-muridnya itu baru belajar sebulan. ”Kira-kira lima bulan lagi mereka sudah lulus,” kata pria yang masih berusia 17 tahun itu. Deddy sendiri baru sebulan ini mengajar setelah mendalami Amtsilati selama enam bulan di Darul Falah.
Metode Amtsilati (Contoh-contohku) memang tengah jadi perbincangan di kalangan pesantren. Cara cepat membaca Arab gundul ini diperkenalkan Taufiqul Hakim, 32 tahun, pada 2002. Pengasuh Pesantren Darul Falah ini mengatakan bahwa metode tersebut ia ciptakan karena prihatin melihat para santrinya sulit menguasai bahasa Arab.
Berbeda dengan huruf Arab dalam Al-Quran yang bertanda baca atau harakat, abjad dalam bahasa Arab sehari-hari tampil polos tanpa huruf vokal. Satu bentuk kata bisa mempunyai berbagai bunyi dan puluhan arti. Ini yang membuat para santri tidak mudah menguasai Arab gundul. Padahal, kitab-kitab di pesantren ditulis dengan Arab gundul. ”Dulu orang memplesetkan belajar nahwu bisa ngelu (pusing), belajar sharaf jadi sarap (edan),” kata Taufiqul.
Sebenarnya, menurut Taufiqul, yang paling berat dalam mempelajari bahasa Arab adalah menghafalkan seribu bait Alfiyah, yaitu syair arab yang mengandung hukum dan aturan dalam ilmu nahwu. Di banyak pesantren, murid bisa menghabiskan dua tahun untuk menguasai seluruh bait itu. ”Padahal, hanya 100–200 bait saja yang sangat penting, selebihnya hanya penyempurna,” kata Taufiqul.
Ia kemudian mengumpulkan 150 bait Alfiyah yang paling banyak digunakan dan diajarkan pada empat kawannya. Metode itu ia ajarkan pula pada anak-anak usia sekolah lanjutan pertama, tapi tidak menunjukkan hasil memuaskan. ”Anak-anak mengeluh karena menghadapi kumpulan rumus,” katanya.
Ia kemudian mengubah cara mengajarnya. Taufiqul mencoba melagukan dan banyak memberikan contoh. Misalnya untuk huruf mim dan nun, jika disatukan akan berbunyi min dalam sejumlah kata. Dalam contoh kata, min ditulis tanpa harakat, sedangkan huruf lainnya masih menggunakan tanda baca.
Jumlah huruf tanpa tanda baca itu kemudian terus ditambah sehingga akhirnya setiap kata muncul tanpa harakat. Cara ini rupanya membuat anak lebih betah. Walhasil, dalam kursus intensif selama 40 hari, mereka mulai bisa membaca tulisan Arab gundul.
Taufiqul mengatakan, setelah mempelajari metode cepat baca Al-Quran Qira’ati yang digagas Dachlan Salim Zarkasy, ia mencetuskan Amtsilati untuk belajar membaca huruf Arab tanpa harakat. Maka, muncullah lima jilid buku yang masing-masing setebal 50-an halaman.
Berbeda dengan metode belajar bahasa Arab yang umumnya diajarkan hanya sebagai salah satu mata pelajaran, murid Amtsilati belajar bahasa Arab sepanjang hari, minimal lima jam. Bahkan, ”Tengah malam santri dibangunkan pembimbingnya dan ditanya tentang pelajaran saat masih setengah sadar,” kata Taufiqul.
Bukan itu saja. Murid harus menambah hafalan tiga bait Alfiyah setiap hari. ”Saya tiap malam baru tidur jam 12 karena harus belajar menghafal,” ujar Abdul Ghofur, 25 tahun, santri asal Batang, Jawa Tengah. Metode ini tidak menargetkan seorang murid harus lulus dalam waktu tertentu. ”Basisnya adalah kompetensi dan kompetisi. Yang pintar bisa cepat, yang bodoh akan matang walau agak lama,” kata Taufiqul.
Metode praktis ini pun mendapat sambutan. ”Ini akan membantu transformasi bagi generasi sekarang untuk memahami kitab-kitab klasik,” kata pengasuh Pesantren Ma’ahid, Kudus, Jawa Tengah, Ali Mahmudi.
Padahal, ketika diperkenalkan pada 2002, banyak kalangan ulama yang skeptis. Bahkan dalam acara bedah buku di Jepara sendiri, metode itu tidak dilirik. Namun, dalam acara yang sama yang digelar di Mojokerto, Jawa Timur, buku Amtsilati laris. Dari sini, metode ini meluas sampai ke segenap pelosok Indonesia. Bahkan satu-dua orang santri asal Malaysia mulai belajar dan mengajarkannya di sana sejak tahun lalu.
Pelatihan di luar Darul Falah biasanya dilakukan oleh guru yang telah lulus Amtsilati di Pesantren Bangsri. Untuk mempercepat penyebaran metode ini, Taufiqul menunjuk sejumlah koordinator di berbagai daerah yang juga sekaligus sebagai distributor buku.
Hanya, cara belajar cepat ini masih diragukan efektivitasnya. ”Kemungkinan masih sebatas bisa membaca,” ujar Ali Mahmudi. Ia masih meragukan para santri bisa memahami apa yang dikehendaki isi dari kitab setelah menyelesaikan Amtsilati. Hal itu diakui oleh Taufiqul. Metode Amtsilati memang dimaksudkan untuk menguasai cara membaca Arab gundul.
Baru setelah itu, kata Taufiqul, para santri diarahkan untuk belajar program lanjutan yang disebut pasca-Amtsilati dengan masa tempuh enam bulan sampai satu tahun. Dalam program ini, murid diajari fiqih, hadis, tafsir Jalalain, tasawuf, dan komunikasi. ”Kalau sudah menempuh itu, ilmu mereka lengkaplah,” kata Sultan Malik Rai, guru di Darul Falah.
Meski begitu, metode ini tetap dianggap fenomenal. Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Citra Didaktika, Cimanggis, Depok, M. Rifai, 34 tahun, menyatakan kekagumannya melihat seorang murid Taufiqul yang baru berumur 13 tahun bisa membaca kitab kuning. ”Saya dulu perlu lima tahun belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri,” katanya.
Cara mengajarkan materi yang sulit dengan melagukannya mendapat pujian Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta, Komarudin Hidayat. Cara belajar yang umum disebut quantum learning ini terbukti efektif karena murid bisa belajar dengan gembira. ”Setidaknya, murid akan mengenal bahasa Arab dasar dulu; yang penting untuk ibadah,” katanya.
Metode cepat menguasai bahasa Arab sebenarnya juga diterapkan di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Namun, di pondok itu pelajaran diarahkan agar santri bisa berkomunikasi dalam bahasa Arab setelah enam bulan. ”Santri dipaksa untuk berbahasa Arab dalam percakapan sehari-hari,” kata alumni Gontor, Abu Hasan Mubarok. Santri biasanya baru bisa mendalami teks bahasa Arab pada tahun ketiga atau keempat.
Bisa jadi, itulah yang membuat Amtsilati menyebar dengan cepat. Bukunya laris manis dan kini sudah dicetak sampai lima juta eksemplar. Taufiqul juga banyak diundang ke berbagai daerah untuk memperkenalkan metodenya. Pekan lalu, misalnya, ia muncul di Cibinong, Bogor, dalam acara seminar sehari belajar Amtsilati, yang dihadiri seratusan peserta. Pada bulan sebelumnya, ia muncul dalam wisuda Amtsilati di Ciputat, Tangerang, Banten.
Kini, Taufiqul sudah memiliki percetakan sendiri. Darul Falah, pesantren yang didirikannya dari hanya sebuah ruangan, dalam lima tahun sudah berkembang menjadi pondok yang dibangun di atas tanah lima hektare. Semuanya berkat Amtsilati.
Yudono, Bandelan Amarudin (Jepara)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo