Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Jihad di Tanah Runtuh

17 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurnia JR *) Redaktur Bahasa Tempo

SUDAH banyak contoh mengerikan akibat makna jihad dan syahid yang diselewengkan.

Dalam edisi 12 Februari 2007, Tempo memuat wawancara yang mendirikan bulu roma dengan Mohammad Basri, pelaku pembantaian di Tanah Runtuh, Poso. Entah apa yang ada di benak para pelaku mutilasi tiga siswi SMP ini bila mengingat tubuh para remaja yang dicincang. Yang jelas, mereka mengaku berbuat demikian karena instruksi para ”ustad” dari Jawa.

Dari sudut pandang mereka, konflik Poso adalah perang agama, penuh aksi balas-membalas kekejaman melawan orang Kristen. Begitu juga bagi para teroris bom di berbagai kota.

Di mana-mana, ”perang agama” selalu dihiasi slogan jihad dan syahid. Setelah lebih dari 14 abad sejak masa hidup sang Rasul, kaum muslimin tampak kian samar menangkap makna yang sesungguhnya dari kedua kata tersebut.

Mungkin banyak dari kita yang menangkap makna jihad dan syahid dalam citraan perang, bom bunuh diri, darah, dan nyawa. Makna dua kosakata itu terasa membawa suasana Perang Salib hingga ke abad ini.

Penerapan ”perda syariah” di beberapa provinsi pun menimbulkan tanda tanya tentang makna jihad yang hidup di benak para pembuat kebijakan: jihad terhadap apa? Pada banyak kasus, acap kali makna leksikal di kamus kalah populer dengan makna yang hidup di masyarakat. Memang, definisi leksikal dalam kamus kadang-kadang keliru atau dangkal sehingga tak menyodorkan makna hakiki. Apalagi kata mudah dipolitisasi.

Mari kita buka dua kamus. Pertama, Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002): ”ji.had n Isl 1 usaha dng segala daya upaya untuk mencapai kebaikan; 2 usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dng mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga; 3 perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam; — akbar perang besar; perang melawan hawa nafsu (yg jahat); — fi sabilillah jihad pd jalan Allah, (untuk kemajuan agama Islam atau untuk mempertahankan kebenaran).”

Kedua, Kamus Dewan (Kuala Lumpur, 1991): ”jihad 1. perang suci melawan orang-orang kafir kerana mempertahankan agama Islam, perang Sabil; 2. ki penentangan (perlawanan) terhadap anasir-anasir yg hendak merosakkan negara dll (spt hawa nafsu, diktator dll).”

Pada kedua kamus lebih tampak bayangan perang menyelimuti kata jihad ketimbang makna kerohaniannya, meski dibubuhi dalih ”membela agama”. Tak ada salahnya jika tim penyusun kedua kamus mengevaluasi makna leksikal kata itu agar mencerminkan kedalaman yang dituntut konsep asalnya.

Dalam novel Jihad, Isser Harel menulis: ”’Jihad’ lebih daripada konsep dunia Islam. Mereka melihat orang Australia yang ditangkap dan membakar Masjid Al-Aqsa, dunia Islam meneriakkan ’jihad’ dengan penuh kebencian pada Israel dan orang Yahudi.” Kesan inilah yang cenderung muncul jika kita mendengar jihad: amarah, sikap reaktif yang retoris ketimbang reflektif.

Yang menarik adalah rumusan novelis Kanada Camilla Gibb, sosok kosmopolitan buah asuhan ahli sufi di Maroko. Setelah menempuh perjalanan spiritual, ”Dia pun mengeksplorasi temuannya bahwa makna jihad justru lebih banyak diterjemahkan sebagai perjuangan setiap pribadi muslim untuk melakukan kebaikan dan melawan setan dalam diri masing-masing” (Koran Tempo, 1 April 2007).

Bagaimana dengan syahid? Menurut KBBI, syahid adalah ”1 saksi (dl usaha menegakkan atau mempertahankan kebenaran agama); 2 orang yg mati krn membela agama: mati —.” Dalam Kamus Dewan: ”1. saksi (yg menegakkan atau mempertahankan kebenaran agama Islam), orang yg mati kerana agama Islam, mati dl perang sabil; 2. mati berdarah (terbunuh).” Nah, makna leksikal syahid pun dirundung suasana perang dan darah; namun bagaimanakah esensinya?

Pada 2003, Barbara Victor menerbitkan buku yang mengejutkan, Army of Roses: Inside the World of Palestinian Women Suicide Bombers (edisi Indonesia: Army of Roses: Kisah Nyata Para Perempuan Palestina Pelaku Bom Syahid, 2005). Ia menemukan fakta tragis bahwa para perempuan yang nekat meledakkan diri di kawasan Israel itu ternyata menjalani kehidupan depresif dalam rundungan diskriminasi gender dan tekanan domestik lantaran adat dan dalih agama. Meski memproklamasikan tekad untuk gugur sebagai syuhada, mereka cenderung sebagai korban yang diperalat organisasi militan.

Seorang mursyid Thoriqotush-Shufiyah Samaniyah al-Qodiri al-Khalawati wa Naqsyabandiyah al-Kholidiyah menjelaskan kepada saya: ”Mati syahid adalah matinya orang yang menyaksikan.” Saat roh terlepas, tersingkaplah hijab sehingga tersaksikan ”wajah Ilahi”—tiada jarak, tiada keragu-raguan. Untuk kehormatan itu, sang hamba sudah mencapai hakikat syahadat, kesaksian akan Tuhan dan Rasul-Nya, yang diperkuat pemahaman yang lurus tentang nilai kemanusiaan—pemuliaan manusia—dan memperjuangkannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus