Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Sampah hingga Homoseksual

Gelar Koreografi Kota yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta sampai September. Masih belum terasa unik.

17 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMUA penari laki-laki itu bertelanjang dada. Perut mereka rata, six pack. Mereka semua mengenakan rok balet yang disebut tu-tu, berwarna merah, biru, dan ungu.

Lalu mereka saling mengusap dagu, pipi, berbopongan, memeluk. Itulah Let it be Me karya Yudhistira Syuman di Goethe Haus Jakarta—yang menggambarkan kehidupan dunia gay Jakarta. Lagu Bon Jovi It’s My Life menyeruak ketika adegan mereka seolah memberontak, ketika dianggap najis oleh para penari perempuan. Tapi, tatkala lagu jazzy But Beautiful yang dinyanyikan Shirley Horn mengalun, sepasang penari laki-laki saling lembut berangkulan.

Jakarta tak lekang dari isu tentang homoseksual. Yudhistira berusaha mengangkat sebuah tema yang unik: tentang seorang gay yang tak mampu ereksi. Entah itu didapatkannya dari sebuah riset atau bukan. Tapi simbolisasi adegan yang mengutarakan persoalan itu sedikit, hanya seorang penari laki-laki mengibaskan rok birunya, seraya berkata, ”Aku hanya untuk dinikmati tapi tak bisa menikmati.”

Karya Yudhistira Syuman merupakan penutup dari rangkaian Gelar Koreografi Kota yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta sepanjang pertengahan Agustus sampai awal September ini. Acara ini diikhtiarkan untuk menampilkan koreografi yang khusus berbicara tentang kota. Mereka menginginkan akan ada karya yang bertolak dari permasalahan kota, bukan hanya dari gagasan kemanusiaan umum atau melihat paradoks kehidupan kota dari sudut pandang tradisi seperti selama ini terjadi. Bila itu yang diharapkan, keinginan itu belum sepenuhnya berhasil.

Semua penari kita berasal dari Institut Kesenian Jakarta, kecuali Fitri Setyaningsih (Solo) dan Ery Mefri (Padang). Jecko Siompo menyuguhkan serba-serbi kehidupan anak muda yang tinggal di sebuah kos campuran. Set berupa sebuah sisi muka dinding yang memiliki pintu dan lubang jendela. Para penari pria, dengan teknik hip-hop, bergelantungan di atas, sampai muncul, meloncat dari lubang.

Penonton lalu menyaksikan interaksi, dialog gerak cepat antara kelompok penari wanita dan pria. Ada kalanya mereka bersama-sama berjajar di dinding, ada kalanya melongok bersama-sama dari jendela. Gagasannya menarik tapi terlalu banyak ide yang ingin ditumpahkan Jecko, sehingga tak jelas fokusnya. Apabila Jecko setia mengeksplorasi satu motif—misalnya variasi komposisi—bagian belakang dan depan dinding itu, tentu karyanya akan lebih menonjol.

Ery Mefri, yang menyajikan Krakatau Madang di Ulu, malah sama sekali bertolak dari tradisi. Sedari awal para penarinya banyak mendendangkan ratapan perih dari tradisi randai. Bagian inti koreografi adalah ketika para penarinya menggunakan elemen kursi. Namun terasa kursi-kursi itu hanya berfungsi sebagai simbol, bukan mewakili realitas konkret sehari-hari. Klimaksnya adalah para penari memukul bagian bawah kostum mereka sehingga menimbulkan bunyi keras dan kemudian memukul-mukul nampan.

Dalam karya Ery jelas tubuh yang disodorkan bukan sebuah tubuh yang terlibat problem urban kekinian, melainkan sebuah tubuh yang membayangkan masa lalu. Adapun dalam karya Yudhistira Syuman, yang tertangkap adalah sebuah cara pandang klise. Ia menampilkan tubuh gay dengan stereotip seorang banci yang kerap kita lihat di televisi. Tak ada perenungan yang membuat perspektif baru atas dunia gay. ”Kaum gay suka sekali membanyol. Yang saya tampilkan adalah mirip kehidupan mereka sehari-hari yang suka bercanda,” kata Yudhistira.

Yang mungkin benar-benar agak mendekati persoalan adalah karya Fitri. Meski karyanya lebih cenderung sebagai happening art, bukan sebuah koreografi, ia mengangkat tema yang menjadi persoalan publik sehari-hari: sampah. Fitri dan para penarinya membenamkan diri di sungai depan Pasar Baru yang penuh kotoran, daun, comberan, dan mungkin tahi. Pemilihan lokasi sendiri mengejutkan, karena sehari-hari kita kerap lewat di situ tapi sama sekali tak terpikir lokasi itu bisa menjadi sebuah tempat pertunjukan.

Karya Fitri seperti sebuah provokasi. Penonton yang hadir bukan dari kalangan tari saja, melainkan tukang ojek, pengunjung Pasar Baru, penumpang busway. Di sungai terlihat ada barisan kursi lipat merah rapi berjejer di atas rakit bambu. Kursi-kursi itu menghadap sebuah panggung gethek bambu yang kosong. Tak jelas kursi kosong itu untuk sebuah tempat duduk penonton atau sebuah instalasi. Tapi itu justru menambah keingintahuan kita.

Lalu tiba-tiba suara saksofon dan trompet terdengar dari berbagai penjuru. Dari halte busway terlihat sesosok ”makhluk” yang membungkus dirinya dengan botol-botol air mineral bekas. Roncean botol itu sampai panjang membentuk ekor. Di sudut lain, ternyata muncul ”makhluk” sejenis dari sungai, berenang ke arah panggung.

Selanjutnya, semua ”makhluk” ini masuk ke sungai merespons suara-suara saks dan trompet yang kini musisinya terlihat berdasi—dan berdiri bersama-sama—di pipa-pipa besi yang melintang di atas sungai. Para penari menghanyutkan sampah-sampah plastik itu di sungai. Mereka membentuk gelombang-gelombangan. Lalu mereka berkumpul, naik ke panggung terapung itu. Seluruh plastik di tubuh mereka lepas. Bagian paling menarik adalah tatkala mereka kemudian seperti tertimbun plastik. Dan kemudian mengambangkan dirinya di sungai seolah tubuh mereka yang bebas dari plastik adalah sampah sendiri.

Karya Fitri, meski sekadar permainan, justru bisa memberikan inspirasi. Telah lama tidak ada pertunjukan outdoor dengan konsep yang matang. Mungkin, Gelar Koreografi Kota selanjutnya bisa banyak memberikan ruang untuk eksperimen di tempat publik lain.

Seno Joko Suyono dan Sita Planasari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus