Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=verdana size=1>Emil Salim:</font><br />Ke Mekah, Bukan ke Hollywood

BINCANG pada medio September lalu itu berlangsung ribuan meter di atas permukaan laut. Seorang ”pendekar beralis perak” berbicara menggebu tentang dampak perubahan iklim dan Protokol Kyoto—yang bakal berakhir pada 2012. Suaranya jernih, dengan nalar runut. Ujarannya kaya data. ”Kita akan menderita jika terjadi kerusakan akibat pemanasan bumi,” katanya.

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di dalam pesawat Airbus AA-330 yang ditumpangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, suasana jadi hangat. Topik wicara itu relevan dengan kondisi perubahan cuaca di seantero Nusantara. Bencana alam—gempa bumi, tanah terban, banjir, dan kekeringan—terjadi di mana-mana. Kebetulan tema itu juga akan dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pacific Economic Cooperation 2007 yang mereka hadiri di Sydney, Australia.

Emil Salim, ”pendekar beralis perak” itu, memang veteran di bidang ekologi. Ia pernah menjadi menteri lingkungan hidup, dan sejak Juli lalu ditunjuk menjadi ketua tim Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim (United Nations Climate Change) di Nusa Dua, Bali, pekan ini. Pertemuan itu diharapkan melahirkan kesepakatan baru tentang cara menyelamatkan bumi dari bala destruksi.

Kesibukan menjelang konferensi membuat kakek satu cucu ini hampir tak pernah rehat. Pada usia 77, ia masih terbang maraton dari satu negara ke negara lain. Ia berpindah dari satu meja perundingan ke meja perundingan yang lain, memufakatkan cara penyelamatan bumi dari kehancuran.

Di tengah jadwal padat, tiga pekan lalu, ia masih menyempatkan diri bertandang ke kantor Tempo untuk menjelaskan peta kerusakan lingkungan. Dengan piawai ia menyulap bilik rapat majalah ini bak ruang kuliahnya di program pascasarjana Universitas Indonesia. ”Kuliah lingkungan” itu berlangsung 13 menit, selanjutnya ia menggelar diskusi yang sesekali diselingi gelak tawa.

Apa urgensi Konferensi Perubahan Iklim di Bali?

Protokol Kyoto akan berakhir pada 2012. Karena itu, perlu pembahasan garis baru. Diharapkan, hasil Conference of the Parties to the Convention (COP) itu memberikan arah untuk pertemuan berikutnya pada 2008 di Polandia, dan 2009 di Denmark. Pertemuan Denmark merupakan tahun sasaran merampungkan protokol baru pasca-2012. Jadi, pertemuan di Bali itu, ibaratnya, kita menentukan arah perjalanan: mau ke Mekah atau ke Hollywood.

Mengapa Bali yang dipilih sebagai tempat pembahasan?

Pembahasan garis baru itu perlu dilakukan di negara berkembang, karena merekalah yang paling menderita jika terjadi kerusakan. Indonesia merepresentasikan kepentingan negara kelompok 77. Ada lagi tiga aspek: Indonesia negara kepulauan yang terancam tenggelam, negara berhutan besar (forestry country), dan negara anggota OPEC.

Apa saja yang akan dibicarakan?

Akan ada lima pertemuan. Selain pertemuan peserta konvensi (COP), juga pertemuan peserta Protokol Kyoto, artinya minus Amerika dan Australia. Lalu pertemuan para pakar soal bagaimana mengurangi gas emisi. Kemudian forum pembahasan rekomendasi implementasi konvensi dan ad hoc working group. Semuanya dilakukan serentak, 2-11 Desember.

Apa target tiap pertemuan?

Macam-macam. Di antaranya soal peranan Amerika dan Australia setelah 2012. Tak semuanya disebut di atas meja, karena pada November ini ada pergantian pemerintahan dua negara itu. Semoga pemimpin baru dua negara itu lebih ramah lingkungan.

Apa target Indonesia sebagai tuan rumah?

Setidaknya lahir kesepakatan tentang peta alur jalan. Kita ini mau ke Mekah, bukan ke Hollywood. Artinya, harus ada langkah serius dan konkret soal pengendalian karbon. Sekarang, ibaratnya kita memasuki kamar kotor, dan harus membangun di kamar kotor itu. Karena itu perlu kerja sama antara negara maju dan berkembang untuk sama-sama membersihkan. Mulai dari pemberantasan kemiskinan sampai mengendalikan perubahan iklim, dengan porsi yang berbeda-beda.

Seberapa jauh dampak pemanasan global bagi Indonesia?

Lho, Bung, naiknya suhu bumi berdampak pada mencairnya gunung es dan mengakibatkan air laut naik rata-rata 15 sentimeter setiap tahun. Jika seperti ini terus, pada 2100 bisa jadi 90 sentimeter. Akibatnya, banyak negara kepulauan seperti Indonesia terancam tenggelam. Padahal, dua pertiga penduduk kita tinggal di pesisir. Selain itu, kita bergantung pada keteraturan iklim. Petani bakal kacau mengatur jadwal tanam, nelayan terganggu karena naiknya permukaan air laut.

Sebenarnya, bagaimana peta pembahasan terakhir?

Dalam Protokol Kyoto, negara maju diwajibkan menurunkan emisi 5,2 persen dari tingkat emisi tahun 1990. Ini karena mereka sudah melakukan pencemaran lingkungan sejak revolusi industri. Implementasinya bisa macam-macam. Sesuai protokol, dikembangkan Clean Development Mechanism (CDM), Joint Implementation, dan bantuan negara maju bagi negara berkembang melalui Global Environment Facility (GEF). Mekanisme inilah yang akan kita sempurnakan di Bali. Eh, kau punya CDM kok ruwet? Kau punya afforestation kok ongkosnya mahal? Kita berharap apa yang bisa disepakati pada 2008 bisa dikerjakan langsung, tak usah menunggu 2012. Kerusakan global tak bisa menunggu.

Menurut Anda, seberapa jauh tingkat keberhasilan Protokol Kyoto?

Prediksinya masih di atas rata-rata. Jerman dan Inggris berada di bawah batas, tapi marginal. Kanada, Jepang, Australia, dan Amerika masih berada di atas jatah yang diberikan. Penentunya panel IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change).

Tampakya protokol itu tak dijalankan secara berdisiplin?

Yang paling bersemangat Uni Eropa. Mereka paling berdisiplin dan menjadi kekuatan penekan. Bekas Perdana Menteri Inggris Tony Blair malah menaruh Achim Steiner, sekarang Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB, di belakang kebijakannya, sehingga dia berani mengatakan, ”We must act now.” Soalnya, semakin ditunda, masalah lingkungan akan memakan 4 persen dari GDP (gross domestic product).

Bagaimana kalau mereka tetap membandel?

Ada obligasi. Pada 2012, mereka harus bisa menurunkan emisinya dengan besaran di bawah besaran 1990. Ini inti dari konvensi. Jika tidak, mereka kena penalti tambahan ambang batas pada tahun berikutnya. Yang mengejutkan, orang sekarang sudah concern pada climate change. Misalnya ada kebakaran hutan di California, atau badai Katrina, ini tidak semata fenomena satu negara, tapi sudah semua.

Kampanye mantan Wakil Presiden Amerika Al Gore dengan filmnya ikut menyumbang meningkatnya keprihatinan itu?

Tidaklah. Yang paling repot urusan begitu justru IPCC. Memang awalnya cukup sulit, karena semula berkembang pendapat manusia tak menyebabkan perubahan iklim. Salah satunya, ya, Presiden George W. Bush. Karena itu Amerika tak mau meratifikasi. Tapi belakangan, bencana alam terus-menerus dan ilmuwan IPCC secara ilmiah berhasil membuktikan, manusialah yang menyebabkan perubahan iklim.

Meski kesadaran bertambah, banyak negara belum juga mematuhi ketentuan menurunkan emisi di bawah 5,2 persen.

Ya, tapi Uni Eropa sudah mulai melakukannya dengan mengambil potongan 30 persen dari 1990, untuk dicapai pada 2050. Yang ditakuti semua orang sekarang, kalau suhu naik sampai 2 derajat Celsius, Greenland bisa mencair dan permukaan air laut di Eropa naik sekitar 7 meter. Bayangkan dampaknya di Belanda!

Apa sudah ada antisipasi teknologi untuk itu?

Beberapa sudah. Tapi itu juga masalah karena ongkos menurunkan suhu itu mahal. Bagaimana dengan negara berkembang? Dari mana duitnya? Mengandalkan bantuan saja tidak cukup. Karena itulah dikembangkan mekanisme pasar. Lahirlah carbon trading, CDM, juga REDD (Reduce Emissions from Deforestation and Degradation) yang akan kita ajukan di Bali nanti.

Apa sih REDD sebenarnya?

REDD itu arti sebenarnya adalah upaya menurunkan emisi gas rumah kaca melalui pencegahan deforestasi dan kerusakan hutan. Kira-kira gambarannya begini. Atas kebutuhan pembangunan, kita tebang hutan. Akibatnya, emisi karbon bertambah karena hutan penyerap karbon dibabat. Itu pun tergantung bagaimana menebangnya. Kalau tebang habis, tanah bisa dipakai, tapi pendapatannya sedikit karena kemudian hanya ditanami sawit. Tapi, kalau tebang pilih, karbon tetap diserap lebih banyak, revenue-nya setelah itu ada: kita dapat kompensasi penyerapan karbon dari negara maju.

Siapa yang harus melakukan itu, perusahaan atau pemerintah?

Tanah dan hutan itu kan sudah ada yang memiliki haknya? Karena itu, mereka yang mendapatkan klaim bisa menjual ke pasar. Namanya carbon market. Soal besaran karbonnya, jangan khawatir, banyak ahli hutan yang tahu.

Apa keuntungan pembeli karbon?

Lho, ini kan one world? Ada negara yang harus menurunkan CO2 pada 2012. Mereka harus menurunkan dan sedang mencari cara menurunkan itu.

Tapi sekarang yang muncul justru nominalisasi isu hijau? Australia, misalnya, tidak mengurangi emisinya, tapi membeli sertifikat karbon dari hutan Aceh. Bukankah praktek seperti ini memungkinkan munculnya broker?

Memang. Apa pun sekarang ini, karbon jadi bernilai.

Kesannya, negara maju enak-enakan, negara berkembang seperti kita jadi satpam hutan.…

Jangan salah, kita pun berkepentingan karena menderita akibat perubahan iklim di negara kita. Saya mungkin tak akan mengalami, tapi bagaimana anak dan cucu saya.…

Sejak kapan konsep ini dibahas?

REDD baru akan dibahas di Bali. Ide pokoknya dari negara berhutan besar seperti Papua Nugini, Kosta Rika, Brasil, dan Indonesia. Tapi belum terjawab mekanisme dan soal harga. Kita juga mengupayakan hutan dihitung biodiversity-nya, bukan sekadar karbon. Negara maju tidak mau paham bahwa hutan menjadi habitat bagi kita. Tak sekadar menyerap karbon, tapi juga menahan air. Inilah yang sekarang mau kami bawa ke konvensi.

Kenapa kita mengajukan REDD? Apakah CDM tidak efektif?

Harus diakui, CDM sulit diterapkan. Dalam kenyataannya, pengurangan emisi di tingkat negara maju tersendat-sendat. Karena itu kita ingin sederhanakan dengan REDD.

Berapa potensi yang akan diperoleh Indonesia dari perdagangan karbon?

Saat ini, harga karbon kita dipatok US$ 2 miliar atau Rp 18 triliun. Angkanya bisa naik bila kita tidak melepas karbon.

Mungkinkah program REDD dilakukan, padahal pembalakan liar marak di Indonesia?

That’s government issues. Akhirnya memang masuk wilayah penegakan hukum, polisi, DPR, dan macam-macamlah.… Ini tantangannya. Meski isu ini diikat perjanjian internasional selama 30 tahun, kalau tak punya komitmen, ya, enggak bisa.

Apakah realistis menawarkan REDD sementara penegakan hukum lingkungan kita masih sangat lemah?

Ya…, tapi apakah kita akan membiarkan begitu saja tanpa memperbaiki penegakan hukum? Development kan berarti hukum tidak rusak, dan bajingan tidak menjadi malaikat?

Di mana titik lemah penegakan hukum lingkungan?

Governance, yaitu pemerintah, termasuk politikus dan DPR. Siapa mereka? Mereka yang dipilih selama lima tahun. Karena itu, mari kita pilih yang bisa membangun lingkungan kita. Soalnya, merekalah yang nanti memberikan izin sekian ribu hektare yang kini babak-belur. Bukan pihak kehutanan, tapi elected people.

Pemerintah masih menganggap remeh isu lingkungan?

Celakanya, urusan lingkungan dianggap selesai di atas meja. Prakteknya, bum…, DKI pengen jalur hijau, tapi tiba-tiba di kawasan hijau malah ada Senayan City. Ujung-ujungnya adalah the correct cost calculate. Lihat banjir 2007 di Jakarta, sekian triliun rupiah dihitung sebagai ongkos lingkungan. Celakanya, ongkos itu cuma disadari setelah ada banjir. Habis itu? Tak ingat lagi.…

Anda yakin konsep REDD akan diterima di Bali?

Kami masih harus berupaya. Yang jelas, akan ada debat di sana.

Kira-kira di mana titik kritis perundingan?

Finansial dan teknologi. Negara maju harus bayar kedua hal ini. Pakta yang dikembangkan negara berkembang adalah tanggung jawab bersama, tapi dengan porsi berbeda. Repotnya, dalam konvensi seperti ini kemunafikan itu tinggi. Dan itu biasanya terjadi dalam diplomasi. Misalnya, dulu pernah disebutkan 0,07 GDP di negara maju disumbangkan ke negara berkembang. Tapi itu tak terjadi. Yang ada, 20 persen negara maju menguasai 80 persen resources penduduk negara berkembang. Padahal dalam pidato-pidatonya, alaaa… (Emil mengibaskan tangan). Masalahnya memang, politik di dunia ini lebih mementingkan diri sendiri.

Seberapa berhasil konvensi di Bali, tanpa kehadiran Amerika?

Kita harus berani katakan with or without you, we’ll move on. Kita tidak terikat. Ini kan demokrasi? Seperti halnya Amerika, meski tak ikut Protokol Kyoto, tapi California, negara bagiannya, ikut. Arnold Schwarzenegger, gubernurnya, ikut meneken Protokol Kyoto karena merasa menderita dengan perubahan iklim.

Kenapa Anda masih turun gunung mengurusi masalah lingkungan. Bukankah ada yang muda-muda?

(Tertawa). Saya enggak tahu. Tanyakan pada Presiden, jangan pada saya. Saya sendiri sudah capek, pengen jalan-jalan dan nonton bioskop.…

Emil Salim

Tempat tanggal lahir

  • Lahat, Sumatera Selatan, 8 Juni 1930

Pendidikan

  • Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1958
  • Master, Economics, University of California, Berkeley, Amerika Serikat, 1961
  • Doctor in philosophy, Economics, University of California, Berkeley, Amerika Serikat, 1964

Pekerjaan

  • Dosen, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1964-1974
  • Guru besar, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1975-1993
  • Guru besar, pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
  • Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1978-1993
  • Ketua Earth Council, 1995
  • Eminent Person Extractive Industry Review, 2002
  • Anggota World Committee on Tourism Ethics, 2003
  • Ketua Delegasi Indonesia untuk UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) di Bali, 2007

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus