Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Penjaga Rimba dari Papua

Gubernur Barnabas Suebu mengelola hutan berkelanjutan demi rakyat miskin. Majalah Time menganugerahinya gelar Pahlawan Lingkungan 2007.

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUTAN adalah mama. Ibu yang memelihara. Kearifan lokal ini melekat kuat di benak Barnabas Suebu. Sejak terpilih menjadi gubernur pada Juli 2006, ia memutuskan membalas kasih sang ”mama”. Pria yang akrab dipanggil Bas ini melarang keras ekspor kayu gelondongan. Pengusaha hak pengusahaan hutan yang melanggar diancam akan ditindak. Raungan gergaji mesin pun kini jarang terdengar dari tengah rimba Papua.

Untuk mengelola hutan secara berkelanjutan, Barnabas membuat kebijakan baru yang ia beri nama ”From Forest for Death to Forest for Life”, yang berarti menutup celah sekecil mungkin bagi terjadinya pembalakan liar dan perdagangan kayu haram. Dia ingin hutan bisa bermanfaat bagi rakyat miskin. ”Di negara lain bisa dilakukan,” ujar mantan Duta Besar Meksiko, Honduras, dan Panama ini. Kepada masyarakat, tak henti-hentinya ia menyatakan ”No Tree, No Life”.

Hasilnya memang belum terlalu kelihatan. Tapi pengakuan sudah datang dari dunia internasional. Oktober lalu, majalah Time menobatkannya sebagai salah satu Heroes of the Environment 2007. Namanya disandingkan dengan sederet tokoh dunia: Putra Mahkota Kerajaan Inggris Pangeran Charles, peraih Nobel Perdamaian Dunia 2007 Al Gore, mantan Presiden Uni Soviet Michael Gorbachev, dan Perdana Menteri Jerman Angela Merkel.

Pengakuan bagi Barnabas, 61 tahun, ini menjadi kabar baik di tengah deraan berita buruk yang kerap menerpa Indonesia dalam soal pengelolaan hutan. ”Saya kaget dan terharu,” kata ayah enam anak ini tentang anugerah yang diterimanya. ”Penghormatan yang besar ini saya kembalikan kepada rakyat.” Mereka, menurut dia, adalah pemilik sejati hutan Papua, yang sekarang cuma tersisa 31 juta hektare.

Penghargaan itu, menurut Barnabas, membuat tanggung jawabnya menjadi lebih besar. Ia memikul segunung beban di pundak akibat kesalahan di masa lalu: hutan menciut, rakyat miskin, dan bencana datang bertubi-tubi. Kesalahan seperti itu tidak boleh terulang lagi. ”Kita harus bertindak melindungi hutan sebelum terlambat, dan minta maaf kepada hutan,” katanya.

Wakil Gubernur Alex Hasegem tegas menyokong kebijakan mitranya itu. ”Kebijakan itu sangat masuk akal,” ujarnya. Soalnya, ada kekhawatiran, kerusakan lingkungan suatu waktu akan membuat lapisan ozon di dunia makin tipis. Kondisi itu tentu membahayakan manusia yang tinggal di bumi.

l l l

DI SEBUAH restoran hotel bintang lima di Jakarta, Sabtu dua pekan lalu, Barnabas mengenang kejadian tiga tahun silam. Ketika itu, ia sengaja mengikuti aliran penyelundupan kayu gelondongan dari pedalaman Papua. Dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan satu juta meter kubik kayu merbau berkualitas tinggi melenggang mulus sampai ke Shanghai, Cina. Padahal ada larangan pemerintah, yang mengatur bahwa penjualan kayu hanya boleh dilakukan antarpulau.

Kenyataan pahit lain mengguncang hatinya. Kayu haram itu dijual di Papua dengan harga receh, cuma US$ 10 atau Rp 90 ribu per meter kubik. Padahal, sesampai di daratan Cina dan diolah dalam industri rumahan, harga kayu itu melambung jadi US$ 1.500 atau Rp 13,5 juta per meter kubik. Dari kegiatan terlarang itu, para penyelundup mengantongi untung US$ 200-300 atau Rp 1,8-2,7 juta per meter kubik.

”Di antara proses ini terjadi penipuan, pembodohan, dan pemiskinan,” kata Barnabas. Suaranya terdengar meninggi dan terasa ada nada geram. Rakyat Papua, menurut dia, mestinya juga bisa melakukan pengolahan semacam itu. Toh, di Cina, kayu gelondongan itu pun tidak diolah dalam industri besar.

Maka, pada tahun pertama kepemimpinannya, Barnabas menerbitkan buku berjudul Kami Menanam, Kami Menyiram, Tuhanlah yang Menumbuhkan. Di dalamnya, dengan lugas ia menulis paradoks di Papua: ada pemasukan miliaran dolar setiap tahun dari pengelolaan hutan, tapi rakyatnya tetap miskin karena pemerintah belum bersih dan baik.

Untuk membentengi kebijakan melindungi hutan, Barnabas menggunakan perisai hukum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Di tingkat lokal, ia juga menggodok peraturan daerah yang akan disahkan dalam rapat dewan perwakilan rakyat daerah Januari mendatang.

Belum cukup, Pemerintah Provinsi Papua kini sedang melatih 1.500 calon polisi yang paham tentang hutan dan pengetahuan umum. Biaya latihan Rp 30 miliar sudah digelontorkan. Barnabas berharap 90 persen dari 1.500 calon itu putra daerah. Lewat mereka, akan didorong penegakan hukum yang jelas dan tegas di tingkat peradilan dan kejaksaan.

Dalam urusan penegakan hukum, Barnabas ingin meniru Singapura. ”Pemaksaan hukum perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat,” ujarnya. Selama ini, begitu banyak pelanggaran terjadi di Papua tanpa ada penegakan hukum. Padahal penyelewengan itu tak hanya berdampak pada manusia, tapi juga menggerus budaya. Untuk menciutkan pelanggaran, ia merencanakan pemeriksaan terhadap para pengelola hutan. ”Perlu audit menyeluruh, termasuk analisis dampak lingkungan,” kata Gubernur Irian Jaya periode 1988-1993 ini.

Jauh sebelum menerima penghargaan Heroes of the Environment dari majalah Time, Barnabas sudah menyiapkan lokakarya mengenai keanekaragaman hayati hutan Papua. Kegiatan itu disokong oleh Conservation International, bekerja sama dengan negeri tetangga, Papua Nugini, yang berada dalam satu pulau. Semula workshop bakal digelar November ini, tapi karena ada konferensi PBB tentang perubahan iklim di Bali, acara itu diundurkan menjadi awal tahun depan.

Sejumlah ahli lingkungan rencananya akan hadir dalam workshop di daerah yang 50 persen hutannya merupakan hutan konservasi dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia itu. Lokakarya itu bertujuan melindungi hutan hujan tropis Papua dan spesies di dalamnya serta memanfaatkannya untuk ekoturisme. Barnabas mengagumi Kosta Rika dalam soal ekoturisme karena negara itu tidak cuma tak memiliki tentara, tapi juga tak punya menteri kehutanan. Toh, hutan di sana bisa dilindungi. Bahkan, di sana, penerapan clean development mechanism dan perdagangan karbon sudah berjalan lebih awal.

Kini Papua bekerja sama dengan Australia, yang memberikan dana pendampingan untuk pengembalian kelestarian kawasan cagar alam Cycloop. Barnabas juga mulai melirik skema keuangan baru untuk perdagangan karbon. ”Mengapa kita harus menebang pohon jika orang mau membayar kita untuk menjaganya?” ujarnya.

Sejumlah perusahaan besar ingin mengembangkan biofuel dari tanaman kelapa sawit, sagu, dan jarak di sana. Kerja sama mulai dijajaki dengan sejumlah perusahaan, seperti Medco Group, Sinar Mas Group, dan Rajawali Group, yang berkongsi dengan Verda dari Malaysia. Ketiganya diharapkan mampu menanamkan modal lebih dari US$ 500 juta atau Rp 4,5 triliun.

Barnabas pun makin mantap melangkah di jalur baru ”pembangunan hijau”. Ia menyatakan akan berjuang sampai titik darah penghabisan di jalur ini karena pilihannya keselamatan atau kehancuran semua. Dan rakyat miskin Papua menjadi taruhannya.

l l l

Dilahirkan di Desa Ifale, Kecamatan Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, 26 April 1946, sejak kecil Barnabas dekat dengan hutan dan sungai. ”Saya anak desa, lahir di danau,” ujarnya. Ikan menjadi santapan kegemaran anak ketiga dari empat bersaudara putra pasangan Bonifasius Suebu dan Salomi Monim ini.

Secara alami, kepekaan terhadap lingkungan tertanam dalam dirinya. ”Saya pernah tidak bisa tidur melihat penebangan bakau,” katanya lirih. Setelah dewasa, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih. Namun pengetahuan tentang lingkungan tetap terbangun berkat kesukaannya berdiskusi.

Teman berbagi pendapatnya antara lain mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim. ”Dia guru saya,” kata anggota Dewan Penasihat Partai Golongan Karya ini. Barnabas juga menggali ilmu dari teman yang lain. ”Saya sering menelepon teman untuk bertanya.”

Sang guru, Emil Salim, menyandingkan Barnabas dengan Bupati Sragen Untung Wiyono, yang sama-sama dipilih rakyat berkat visi yang dibangun dari bawah. ”Dia melaksanakan visinya dengan komitmen dan punya keyakinan dari bawah ke atas,” katanya.

Namun tak semua pihak memuji sang Gubernur. Direktur Institute for Civil Strengthening Papua, Budi Setyanto, menilai konsep pembangunan hijau Barnabas belum menghasilkan sesuatu yang konkret. Karena itu, Budi menganggap penghargaan yang diberikan Time masih terlalu dini. ”Seharusnya hasil dari kebijakan itu dirasakan oleh masyarakat terlebih dahulu,” katanya.

Perjuangan Barnabas untuk mengangkat nasib rakyatnya yang miskin di tengah alam Papua yang kaya, menurut Emil, memang masih cukup panjang. ”Tantangannya adalah bagaimana menjadikan rakyatnya kaya,” kata Ketua Delegasi Indonesia untuk Konferensi Perubahan Iklim di Bali ini.

ND/Martha Warta Silaban, Cunding Levy (Jayapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus