Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=verdana size=1>Rita Subowo:</font><br />Olahraga Kita di Lampu Merah

24 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terpuruk di tempat keempat dalam ajang olahraga se-Asia Tenggara jelas bukan prestasi yang membanggakan bagi Indonesia. Posisi ini memang sedikit lebih baik daripada dua tahun lalu, yaitu di posisi kelima, tapi tetap bukan dalih yang bisa dimaklumi. Apalagi target merebut 60 medali emas tidak tercapai. Kita hanya mampu menyabet 56 keping emas.

Padahal, dari jumlah penduduk, kita yang terbesar di Asia Tenggara. Dari jumlah penduduk, mestinya tersedia segudang bibit atlet yang bisa diasah dan diandalkan untuk mendulang medali. Kenyataannya, di sejumlah cabang, kaderisasi atlet sepertinya mandek. Muka-muka lama masih mendominasi. Banyak atlet veteran dipaksakan tetap bertanding dan akhirnya tak juga menuai hasil seperti yang diharapkan.

Toh, di tengah awan kelabu yang menaungi dunia olahraga kita, Rita Subowo masih menyimpan optimisme. Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) sekaligus Komite Olimpiade Indonesia (KOI) ini menunjuk sejumlah atlet muda yang di luar dugaan berhasil meraih emas. ”Prestasi mereka patut dihargai,” ujarnya. Ia yakin olahraga Indonesia bisa bangkit kembali seperti di masa lalu.

Terjun menjadi pembina olahraga sejak 20 tahun lalu, Rita ibarat Srikandi di tengah dominasi laki-laki di dunia ini. Februari lalu, ia mencatat rekor sebagai wanita pertama yang terpilih memimpin KONI sekaligus KOI. Kiprah ibu tiga anak ini di bidang olahraga tak cuma sebatas di Tanah Air. Di level Asia dan dunia, ia juga tercatat menjadi pengurus beberapa cabang olahraga.

Kamis pekan lalu, di tengah kesibukan merayakan Idul Adha di rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Rita membeberkan berbagai masalah olahraga Indonesia kepada Widiarsi Agustina, Ami Fitriani, dan juru foto Nur Haryanto dari Tempo. Berikut ini petikannya.

Prestasi Indonesia di SEA Games lalu dinilai mengecewakan. Apa komentar Anda?

Prestasi di SEA Games kali ini adalah awal yang baik meski secara kuantitas perolehan medali emas tak seperti prediksi kami, yaitu 60-70 keping. Namun, secara kualitas, harus diapresiasi, pencapaian ini sungguh luar biasa. Banyak atlet kita berhasil memecahkan rekor yang sudah tahunan tak terjadi lagi pada event ini. Dalam evaluasi, kami perhatikan mana saja cabang yang tak memenuhi target, mana yang mendapat emas sesuai dengan target, dan dari mana saja datangnya medali emas yang tidak ditargetkan. Lalu cabang mana saja yang sama sekali tak mendapat emas.

Mengapa atlet yang sudah berumur, seperti perenang Richard Sambera, dipaksakan bertanding?

Mereka itu adalah yang terbaik yang kami punya. Dulu SEA Games disebut sasaran antara, bukan tujuan. Sekarang event ini juga dianggap pertaruhan prestisius di kawasan regional. Masalahnya, sekarang pembibitan tidak jalan. Pembatasan umur juga tidak jalan dalam setiap seleksi. Karena itu, saya sering bicara ke pemerintah, kita harus berani menghilangkan satu periode dan tidak memberikan target. Kalau kita konsisten, kondisinya mungkin jauh lebih baik. Tapi nyatanya atlet muda yang tampil di SEA Games Vietnam 2003 tak boleh maju lagi di SEA Games Filipina 2005 karena kurang berprestasi.

Apakah tak ada bibit atlet muda yang bagus?

Pembibitan atlet kurang berjalan. Kami mau ambil dari mana kalau PB-PB (pengurus besar—Red.) cuma punya itu?

Mungkin ada yang salah dalam mekanisme penjaringan atlet….

Sejak awal memang tak ada mekanisme pencarian atlet untuk digembleng menjadi juara. Atlet dikumpulkan setelah menang dalam sebuah kejuaraan, bukan lantaran prestasi sejak di sekolah dasar. Padahal mentalitas atlet, seperti sportif, jujur, menghargai aturan main, juga pentingnya jiwa dan badan sehat, harus diberikan sejak dini.

Bukankah selama ini ada pekan olahraga tingkat pelajar dan mahasiswa?

Memang ada, tapi jalan sendiri-sendiri dan tidak dimonitor PB-PB. Ini yang kami bicarakan dengan Menteri Pendidikan dan Menteri Olahraga. Kita punya Pusat Pembinaan dan Latihan Pelajar (PPLP) dan Pusat Pembinaan dan Latihan Mahasiswa (PPLM) di bawah Direktur Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional, yang sekarang dipindah ke Menteri Pemuda dan Olahraga. Karena dipindah, koordinasi guru jadinya enggak terkontrol. Bisa dibayangkan, dari 800 atlet asal PPLP/PPLM dan klub-klub yang dipanggil oleh satuan tugas untuk pelatnas, hanya 92 orang yang lolos. Selain itu, antara PPLP dan PPLM tidak ada kesinambungannya. Ketika pelajar berprestasi, ya, sudah, sewaktu mahasiswa enggak dibimbing lagi.

Apa yang akan dilakukan dalam situasi tersebut?

Setelah duduk bersama, kami berharap situasinya menjadi lebih baik. Kompetisi setahun sekali itu akan dievaluasi. Ada sistem apresiasi. Misalnya, peringkat terbaik dijadikan anak negara, mendapat beasiswa atau apa. Selain itu, kami minta PB punya komitmen turun ke lapangan. Jangan hanya melihat dari jauh.

Mengapa pengurus besar cabang-cabang olahraga melempem? Apakah karena terjadi politisasi jabatan?

Tidak semua. Memang ada yang karena pengurusnya sibuk, kurang turun ke lapangan. Akan kami dekati PB seperti itu. Kami berharap pengurus bisa memisahkan antara komitmen dan konflik kepentingan. Lagi pula, mencari orang untuk memimpin induk organisasi olahraga dalam situasi sekarang susah, lo. Kalau menang, tak ada apresiasi; kalah dapat caci-maki.

Bukankah beberapa ketua induk organisasi olahraga tersandung kasus hukum?

Sekali lagi, tidak semua. Seperti anggar, karena situasi Pak Neloe, mereka akan menggelar munaslub (musyawarah nasional luar biasa). PSSI juga sudah berusaha sedemikian keras. Menteri Pemuda dan Olahraga dapat mempertegas ini dengan UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Di situ kan sudah jelas aturannya. Juga ketentuan dari FIFA. Saya bukannya mau campur tangan, hanya mencoba mendudukkan masalah. Bagaimanapun, secara fisik pengurus harus ada di tempat.

Apa komentar teman Anda di luar negeri tentang kondisi olahraga kita?

Mereka semua prihatin dan menanyakan mengapa Indonesia, yang punya sejarah olahraga bagus, bisa kehilangan banyak medali. Pada SEA Games kemarin, misalnya, ada newsletter yang tiap hari menyajikan tulisan, ”What Happened with Indonesia?” Ini menyedihkan. Sebenarnya mereka mau membantu. Hanya kadang sesak juga mendengar mereka mengatakan, ”Rita, kami mau membantu menarik gerbong olahraga kamu karena gerbong kalian belum on the track.”

Apakah semua cabang memang tidak on the right track?

Saya kira 30 persen sudah on the right track, meski terkendala masalah dana. Untuk SEA Games kemarin, misalnya, mereka hanya punya bujet Rp 1 miliar. Terpaksa kami bantu biayai. Terus terang ini menyedihkan. Banyak cabang juga tak punya tempat latihan. Coba bayangkan, atlet cabang skateboard dari Bandung, kalau latihan, harus kucing-kucingan dengan polisi karena tak punya tempat latihan. Toh, mereka mendapat emas juga.

Lalu apa yang akan Anda lakukan?

Saya berharap pemerintah segera membangun sport center. Ini kepentingan masa datang. Menteri Pemuda dan Olahraga mengatakan, ide ini terlalu cepat. Tapi sampai kapan kami harus menunggu? Apa menunggu atletnya hilang? Kondisi atlet dan olahraga kita sudah di lampu merah. Lagi pula, apa artinya Rp 1 triliun dibanding investasi mental? Hasilnya juga luar biasa. Berapa banyak orang muda berprestasi yang bisa dihasilkan di sana?

Apa urgensinya membangun pusat olahraga?

Sebentar lagi ada beragam kompetisi. Pada 2010 ada Asian Games di Guangzhou dan pada 2009 ada SEA Games di Laos. Kita juga akan menjadi tuan rumah SEA Games pada 2011. Ada 49 cabang olahraga dipertandingkan di sana. Artinya, sekarang sudah saatnya musim kompetisi dan kita harus punya tempat. Bayangkan, untuk kejuaraan Asia Volley saja, kami harus membayar Rp 1,6 miliar untuk menyewa dua hall. PSSI harus membayar Rp 1,8 miliar untuk Piala Asia.

Kenapa tidak memperbaiki tempat latihan yang ada?

Kondisinya sudah tak kondusif. Begitu pula dengan Senayan. Anda seperti tidak tahu saja. Di situ rawan dengan hal-hal… ya, Anda tahulah (mengangkat tangan). Malaysia punya tiga pusat olahraga dan semuanya dibangun karena melihat Ragunan. Di sana tersedia tempat latihan, sekolah sport, dan psikolognya. Di Asia Tenggara, kita sekarang yang ketinggalan. Pada 2011, Indonesia menjadi tuan rumah SEA Games. Jika tidak punya tempat latihan, kita mau ke mana? Jangan bicara banyak medali kalau fondasinya saja lemah.

Bukankah itu tugas pemerintah?

Memang iya, kami hanya mencarikan jalan. Ada tanah 1.000 hektare lebih di kawasan Ciawi. Pemiliknya siap membantu. Kami sudah survei ke sana, bahkan bikin posko. Sekarang kami sedang menunggu peraturan presiden. Drafnya sedang direvisi Menteri Pemuda dan Olahraga, dan ada 18 departemen terkait yang membantu. Begitu peraturan presiden keluar, jadilah itu.

Mengapa kita tidak berfokus membina cabang olahraga tertentu yang bisa berprestasi gemilang?

Terus terang, memang perlu perbaikan manajemen olahraga. Belum lagi aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebenarnya banyak peluang meminta bantuan dari negara lain. Termasuk dalam metode konsentrasi ke nomor tertentu. Australia bisa menjadi contoh, bagaimana mereka mengejar Olimpiade Sydney dengan fokus 8 cabang saja, tapi konsisten. Ternyata mereka berhasil.

Rita Sri Wahyusih Subowo

Tempat dan Tanggal Lahir

  • Yogyakarta, 27 Juli 1948

Pendidikan:

  • Sarjana dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1965-1970)

Karier:

  • 2000-2004, Ketua Umum PP PBVSI
  • 2004-2005, Ketua Umum PP PBVSI
  • 2005-2007, Presiden of World Volleyball Vision for Asia
  • 2005-2007, Wakil Ketua Umum KONI Pusat
  • 2002-2006, Wakil Presiden Eksekutif Federasi Voli Dunia
  • 2002-2007, Presiden Asia Beach Volley Council
  • 2005-2008, Wakil Presiden Olympic Council of Asia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus