Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya selalu merasa menjadi kecil ketika membaca esai atau puisi Goenawan Mohamad. Kecil karena keluasan jelajah yang dirangkumnya (kekayaan kutipannya itu, lho!). Juga oleh kedalaman kemusykilan-kemusykilan eksistensial yang hendak diterokanya. Tuhan, kematian, pengalaman religius, iman, hakikat ruang dan waktu, dan bergumpal-gumpal urusan yang memenuhi—tak jarang juga, mengosongkan—hidup kita. Tentu, meminjam Wittgenstein, dengan suatu ”permainan bahasa” yang khas GM.
GM has done it again! Kali ini dengan Tuhan & Hal-hal yang tak Selesai. Sebuah buku yang wadagnya kecil, tapi—seperti segera tampak dari judulnya—bukan alang-kepalang jembar khazanahnya. Ada 99 bagian semuanya.
Betapapun ada benang merah, dalam buku ini GM menawarkan berbagai genre. Ada semacam esai—yang khas membingkai serial Catatan-Pinggir-nya, yang di sini sebagian di antaranya menjadi sumber GM untuk menjadikannya ”versi lain”—ada puisi, ada juga proesi. GM lebih senang menyebutnya ”percikan”, seraya merujuk kepada Percikan Permenungan-nya Roestam Effendi. ”Kata seperti ’percikan’ atau ’tatal’ bisa dipakai di sini, sebab ini bukanlah suatu risalah yang utuh.… Ke-99 ’percikan’ ini terkadang bisa dibaca sebagai bagian yang saling mendukung atau saling membantah, terkadang bisa dibaca sebagai tulisan yang berdiri sendiri-sendiri.” (h. 7) Memang, sebagaimana setiap upaya yang berusaha menggapai wacana luhur, ia tak jarang justru mencuatkan paradoks.
Saya langsung diingatkan kepada Stray Reflections-nya Iqbal, tapi juga tambang renungan Gibran. GM boleh jadi tak dikenal sebagai penganut syariat yang saleh, tapi yang dipercikkannya kepada para pembaca pasti tak kurang dari pengalaman religius. Ilmu ladunni. Tak mesti seperti yang dimiliki si orang bijak yang ditunjuk Tuhan menjadi mursyid Nabi Musa, tapi pasti berbagi dengan yang dialami para saga semisal Gibran atau Iqbal.
Memulai dengan tamsil ”tatal” (serpihan kayu), yang konon dipakai Wali Songo membangun masjid Demak, GM membuka dengan menunjuk betapa perenungan akan Tuhan tak mesti ingar-bingar dan penuh kemegahan. Ia kemudian beringsut kepada kealitan manusia di depan kesemestaan, dan terus menyelam ke dalam misteri kematian. Lalu, melewati ketakjuban pada kedahsyatan dan ketaktepermanaian realitas, sampailah buku kecil ini pada tafakur-tafakur tentang Tuhan dan pengalaman religius—yang sejatinya tak tepermanai, dan tak dibatasi waktu dan ruang sehari-hari. Setelah itu, kesemua perihal eksistensial itu masih terus datang berulang di tengah berbagai sketsa tentang keindahan, keadilan, kekuasaan, dan konflik yang menyertainya, tentang bahasa, serta berbagai persoalan kemanusiaan—yang gemerlap maupun ”sekadar” yang keseharian. Namun, betapapun sepintas tampak terlepas-lepas, tak pernah absen semangat pencarian misteri ketuhanan. Mysterium Tremendum dan Misterium Fascinans. Sungguh tepat jadinya penjudulan buku ini: Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai.
Kalau hendak diringkaskan, melalui karyanya yang satu ini, GM seolah hendak melantunkan kembali dendang Tagore dalam Gitanjali:
... aku pergi dan mencari kekasihku di setiap sudut kamarku; dia tak kutemukan. Rumahku alit dan apa saja yang telah keluar dari dalamnya takkan pernah ditemukan. Tapi, amat akbar mansiunmu, Tuanku. Dalam pencariannya aku pun sampai ke pintumu. Kuberdiri di bawah kanopi keemasan lelangit-malammu, dan mengangkat pandangan-harapku ke wajahmu. Kutelah sampai ke tepian keabadian yang darinya tak ada yang bisa hilang—tak harapan, tak kebahagiaan, tak visiun, tak juga sebentuk wajah yang terlihat di sela-sela air mata. Wahai, benamkan hidupku yang telah kosong ke dalam samudera itu, ceburkan ia ke kepenuhan terdalam itu. Biarkan untuk sekali saja kurasakan sentuhan-manis yang hilang itu dalam ke-seluruh-an alam semesta.
Kesamaan Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai dan Gitanjali tak hanya berhenti pada kemiripan genre, atau kedalaman pengalaman eksistensial yang hendak ditembusinya, tapi juga pada sifatnya yang tetap memelihara kerendahhatian. Kerendahhatian untuk tak berpretensi mampu menjawab, mengupas, dan memilah-milah persoalan ultim yang dipaparkannya. Juga untuk tak ragu memilih berada dalam keragu-raguan yang waras (healthy skepticism). Umpama pelukis, GM memilih untuk menjadi seorang pelukis surealis ketimbang realis, yang tak lelah menyapu-nyapukan kuas ke kanvas meski yang dilukisnya hanyalah oseran-oseran yang tak punya bentuk konkret. (Saya jadi ingat Hegel. Yang konkret adalah yang abstrak, katanya). Bisa bertanya, bagi GM, sudah membawa kita hampir ke tujuan, betapapun tujuan itu selalu tentatif. Karena, banyak orang terkadang tak tahu apa yang harus ditanyakan. Mereka telanjur hanyut dalam karut-marut suasana hidup yang ”mahakuasa”, atau terlalu superfisial untuk menampak hamparan hidup tanpa batas di balik yang kasat-indera. Kaum eksistensialis, yang saya kira banyak mempengaruhi GM atau setidaknya ia bagi keprihatinannya, menyebut modus hidup seperti ini sebagai tidak otentik.
Tapi, Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai yang menghimpun ”percikan-percikan” ini memang bukan Gitanjali. Apalagi Musyawarah Burung-nya Ath-thar. Gitanjali tak pelak adalah sebuah pencarian religius yang masih berifat teleologis, ter-”struktur”, ter-”sistematis”—betapapun pasti bukan sistematika logis yang mengerangkeng. Demikian pula karya Ath-thar. Musyawarah Burung ditutup dengan jawaban, betapapun mistis, ketika si burung Hud-hud bersama sisa-sisa dari 40 kafilahnya (simurgh) bersimpuh di hadapan Sang Raja (Simurgh), dilingkupi kepenuhan yang mereka dambakan.
Namun sangat mungkin ini adalah bentuk kesadaran, bukan keterbatasan pribadi seorang GM, setidaknya sejauh perjalanan hidup telah membawanya. Tulisnya: ”Perjalanan yang didikte oleh peta didahului dengan kekerasan kepada ruang. Di sana selalu ada perbatasan, garis-garis yang menunggu dan menampik.… Di setiap tepi selalu ada sesuatu yang lain yang menyentuh ... (h. 160). Bahkan juga suatu penerokaan. Kata ”kedalaman” juga tak adil. Kenyataan, kemusykilan-kemusykilan eksistensial ini, tak seterkendali itu. Bak guntur, GM mengutip Holderlin, ia (memang) datang dari ”kedalaman waktu”. Tapi, ”kita sebenarnya tak dapat memakai kata ’kedalaman’ di sini, sebab kata itu bagian dari bahasa ruang”. Ada Heidegger yang, setelah kecewa dengan filsafat dan metafisika, memujikan puisi sebagai bejana ”ada”. Bagi GM, ”... konklusi itu berkabung. Sajak itu mendambakan yang lain. Ia mencari janji. Dan Tuhan pun disebut: sebuah nama sementara dari yang-tak-sementara.” (h. 20). Ya, bahkan pun dalam puisi. Meski dalam puisi ”enigma mendapatkan suaka... pengalaman religius, perasaan akan kehadiran Tuhan, terasa luput dari alfabet.” (h. 40)
Tapi mungkin pertanyaan GM, senandung Tagore, dan perjalanan-sampai Ath-thar sebenarnya setali tiga uang. Kepenuhan sebenarnya adalah ketiadaan. Kepenuhan mutlak adalah ketiadaan mutlak. Sekali diisi sesuatu, kepenuhan menjadi terbatas. Untuk mutlak penuh, ia harus mutlak tiada. Sunyata, suwung, laysa ka mitslihi syai’ (tak ada sesuatu yang semisal-Nya). Subhana-Hu wa Ta’ala (Maha Suci—dari penisbahannya dengan apa pun—dan Maha Tinggi Dia—melampaui secara tak berhingga apa saja yang maujud). Jika sudah begini, kepenuhan sama dengan pertanyaan terbuka seterbuka-bukanya.
Iman, bagi GM, memang harus terbuka seterbuka-terbukanya. Ia pasti bukan pemahaman yang literal. Iman yang tergantung pada alfabet ”akan jadi kepercayaan yang tampak kuat, teratur, tapi seperti tentara berseragam, sebuah mesin pertahanan dan agresi”. Iman juga bukan semata akidah (yang rigid dan tak pernah dipersoalkan—HB). ”Akidah adalah sebilah garis yang dingin, sebuah oposisi terhadap krisis. Kita berlindung di bawah bayang-bayang kedatarannya” (h. 36). ”Yang menyangka ada jalan pintas dalam iman akan menemukan jalan buntu dalam sejarah... iman tak pernah jera justru ketika Tuhan tak jadi bagian benda-benda yang terang.” (h. 47)
Akhirnya, sebagai kumpulan ”percikan”, tak pelak kita memang merasakan ada lompatan-lompatan ”estetis”—baik akibat penggunaan medium penulisan yang tak selalu sama maupun oleh masalah bervariasi yang digarapnya, serta penggunaan metafor dan bahasa puisi, yang dihiasi paradoks di sana-sini. Tapi semuanya itu tak pernah sampai terasa terlalu mengganggu. Mungkin inilah risiko menggabungkan karya-karya yang ditulis dengan bebas, lebih sebagai suatu letupan pengalaman—dan karena itu seolah menjadi juga semacam ”ujar-ujar ekskatik”—yang amat pribadi, dengan daur ulang esai-esai dari sebuah majalah mingguan.
Hal lain yang dapat terasa mengganjal adalah perasaan overwhelmed yang boleh jadi dialami oleh pembaca akibat terpaan perenungan-perenungan ”mendalam” dan sophisticated—perenungan eksistensial—yang mencakup spektrum yang amat luas. Tapi, selama kita tak tergoda untuk berupaya mengukuhkan semuanya itu dalam benteng ingatan dan pikiran kita—karena sering kali kita khawatir kehilangan banyak mutu manikam berharga dalam renungan-renungan itu—kita masih bisa mereguk mereka dengan kesantaian menyeruput kopi sambil melamun-lamun di sebuah kedai. Toh, tak ada keindahan yang benar-benar hilang. Mengutip GM sendiri: ”Yang indah memang bisa menghibur selama-lamanya, membubuhkan luka selama-lamanya, meskipun puisi dan benda seni bisa lenyap. Ia seakan-akan roh yang hadir dan pergi ketika kata dilupakan dan benda jadi aus.”
Karena itu, enjoy aja lagi!
Haidar Bagir
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo