Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANTOR Bupati Pelalawan, Riau, Selasa siang pekan lalu seperti kuburan. Tak tampak aktivitas layaknya pusat pemerintahan. Sejumlah pegawai kongkow di halaman kantor. Lapangan parkir yang saban hari penuh mobil dan motor nyaris melompong.
Pemandangan lebih sunyi terlihat di dalam kantor yang gedungnya mentereng berornamen Melayu itu. Banyak pegawai tidak tampak di meja kerjanya. Mereka yang tersisa pun hanya berbincang ngalor-ngidul. ”Hari ini sedikit yang masuk. Saat apel agak ramai. Setelah itu sepi,” kata Armin Taha, staf humas.
Lengangnya kantor di Jalan Said Hasyim 1, Pangkalan Kerinci, Pelalawan, ini terkait peristiwa empat hari sebelumnya: Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi. Lulusan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta ini disangka menerima hadiah Rp 1 miliar dari pengusaha penebang hutan.
Berita aib Azmun mengejutkan kebanyakan pegawai. Mereka antara percaya dan tidak. Sebab, saat bos mereka meninggalkan Pangkalan Kerinci, berita yang didengar bukan untuk berurusan dengan KPK. Agenda resmi bupati Azmun cukup keren, menghadiri undangan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Yogyakarta.
Acara Wakil Presiden itu berlangsung di Kulon Progo, Yogyakarta, Sabtu (15/12). Sejumlah kepala daerah yang daerahnya memiliki hutan diminta datang. ”Pak Bupati ikut acara pencanangan penghijauan itu,” ujar Fahdi, Kepala Humas Kabupaten Pelalawan. ”Penahanan Pak Bupati membuat kami panik dan geger.”
Rencana Azmun bertemu Wakil Presiden juga gagal, sebab sehari sebelum acara di Kulon Progo, pria 49 tahun itu resmi ditahan KPK. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, Jumat dua pekan lalu itu Azmun digelandang ke rumah tahanan Markas Besar Kepolisian RI di Jalan Trunojoyo, Jakarta.
Kasus korupsi Azmun sejatinya sudah menyeruak sejak Agustus lalu. Berawal dari temuan KPK ihwal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu yang diterbitkan untuk 15 perusahaan. Dari perusahaan itulah ayah tiga anak ini ditengarai menerima pundi-pundi gratifikasi.
Terkait izin usaha tersebut Kepolisian Daerah Riau juga sudah menelisik keterlibatan Azmun. Namun, polisi belum sanggup memeriksanya karena menunggu izin presiden. Menurut versi polisi, perusahaan yang diberi izin Azmun jumlahnya mencapai 21 buah (lihat ”Ragu Mengorek Rusli”).
Menurut juru bicara KPK, Johan Budi S.P, penyidik sudah memeriksa sejumlah saksi dan menyita barang bukti yang mengindikasikan Azmun korupsi dengan cara menerima suap. ”Negara dirugikan sekitar Rp 1,3 triliun,” ujar Johan.
Mengenai penyimpangan izin usaha, katanya, Azmun melanggar Keputusan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Pemberian Izin serta Peraturan Pemerintah mengenai Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. Izin pembukaan Hutan Tanaman Industri yang mestinya di areal kosong atau lahan alang-alang ternyata diberikan di hutan alam.
Padahal, Johan membeberkan, hutan alam memiliki potensi kayu yang cukup besar, baik volume maupun diameter gelondongannya. ”Aturannya, dalam menerbitkan izin, salah satu syaratnya harus di lahan yang potensi kayunya kurang dari lima meter kubik setiap hektarenya,” kata Johan. Kenyataannya, potensinya lebih dari itu.
Menyangkut hadiah, mantan Wakil Ketua KPK yang membidangi penindakan, Tumpak Hatorangan Panggabean, telah menemukan bukti kuat. Menurut Tumpak, ada aliran dana kepada Azmun dari beberapa perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Pelalawan. ”Jumlahnya lebih dari Rp 1 miliar.”
KPK memang baru menahan Azmun Jaafar. Ada kemungkinan pejabat di Riau yang lain akan menyusul, Tumpak belum bisa memastikan, mengingat ia sendiri sudah habis masa kerjanya. Yang jelas, terkait dugaan korupsi Bupati Azmun, KPK telah pula memeriksa Gubernur Riau Rusli Zaenal.
Rusli penting dikorek karena selain atasan Azmun, ia juga paham soal prosedur izin usaha pemanfaatan hutan yang diduga ada potensi mendatangkan suap itu. ”Jika diperlukan, kami akan memeriksa lagi Pak Rusli,” kata Tumpak, Sabtu pekan lalu.
Pengacara Azmun Jaafar, Hironimus Dani, membantah kliennya menyalahi aturan dalam memberi izin pemanfaatan kayu hutan. ”Pemberian izin itu untuk lahan tidak produktif, bukan lahan produktif,” ujar Dani. Ia menganggap KPK telah ikut-ikutan menangani kasus ini jika mengaitkan soal izin. ”Ini ranah Departemen Kehutanan, bukan porsi KPK,” katanya.
Menurut Dani, kepala daerah tidak akan mengeluarkan izin sebelum syarat permohonan dipenuhi. Salah satu syaratnya adalah mencantumkan rekomendasi gubernur. Perusahaan juga wajib melampirkan studi kelayakan dan analisis dampak lingkungan. ”Semua prosedur sudah ada. Rekomendasi telaah dari dinas kabupaten atau kota juga lengkap,” katanya.
Adapun mengenai tuduhan bahwa Azmun menerima hadiah sekitar Rp 1 miliar dari sejumlah perusahaan penebang hutan, Dani mengaku ini memang ”makanan” KPK. ”Monggo KPK memeriksa, kami akan kooperatif.”
Penahanan Azmun disambut baik kalangan aktivis lingkungan. Salah satunya Direktur Eksekutif Walhi Riau, Johny Setiawan Mundung. Ia berharap langkah KPK ini menjadi titik awal mengungkap keterlibatan pejabat dalam kasus pembalakan liar di Riau. ”Meski bukan polisi yang menangkap, kami merasa laporan kami ditanggapi,” kata Johny.
Menurut Johny lagi, jika benar KPK serius mengungkap kasus illegal logging, bakal banyak pejabat yang terjerat. Para pejabat itu, katanya, bukan hanya yang bercokol di Riau. ”Pejabat yang ada di Jakarta mestinya ikut diusut,” ujarnya.
Koordinator Konsorsium Jikalahari, Susanto Kurniawan, menyebutkan, sumber malapetaka kerusakan hutan di Riau memang dari pejabat. Sudah keliru dalam membuat keputusan, mereka juga dengan sadar menyalahgunakan wewenang. ”Pangkal masalah ada pada mereka,” katanya.
Dimas Adityo, Elik Susanto, Cheta Nilawaty, Jupernalis Samosir (Riau)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo