Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#990000>Sri Mulyani Indrawati:</font> <br />Pemerintah Tak Pernah Bisa Menjadi Neolib

15 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati seperti sedang berada di atas roller coaster. Di tengah perekonomian dunia yang sedang menurun, harga minyak tibatiba melesat hingga di kisaran US$ 70 per barel. Padahal harga minyak pada awal tahun baru setengahnya. Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak bisa mendatangkan berkah, tapi dapat pula mendatangkan kerepotan.

Menurut bekas Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini, minyak bumi menjadi berkah atau petaka bergantung pada nilai tukar rupiah, volume (produksi dan konsumsi dalam negeri), dan tentu saja harga. Jika kenaikan harga minyak diikuti menguatnya rupiah, si emas hitam akan menambah gemuk pendapatan pemerintah. Namun ada risiko lain, yakni beban subsidi bahan bakar minyak naik.

Meski demikian, Sri Mulyani menjamin harga bahan bakar minyak tidak akan dinaikkan selama harga minyak tak melampaui US$ 70an. Menurut dia, pada saat seperti inilah pemerintah diuji, apakah menggunakan pendekatan neoliberalisme atau kerakyatan. "Kalau neolib, harga akan dibiarkan mengikuti pasar, dan biarkan masyarakat berdarahdarah," katanya kepada Tempo yang menemuinya Selasa dua pekan lalu.

Harga minyak naik lagi, apa dampaknya terhadap pemulihan ekonomi?

Soal kenaikan harga minyak yang sudah sampai US$ 70 per barel ini, ada mixed feeling. Di satu sisi, kenaikan harga ini menunjukkan ekonomi dunia sudah berdenyut lagi. Harga minyak terkoreksi mendekati harga yang lebih normal, the real value. Namun, di sisi lain, beberapa bulan lalu dunia masih menyimpan trauma dengan harga minyak yang begitu tinggi.

Lalu, kalau harga minyak kembali melesat, bagaimana kebijakan pemerintah? Ini berarti sudah mendekati debat sebenarnya, bagaimana kelompok neoliberal bereaksi dan apa yang akan dilakukan kelompok pendukung ekonomi kerakyatan. Kalau neolib, itu berarti biarkan harga mengikuti pasar dan biarkan masyarakat berdarahdarah. Peran pemerintah hanya minimal. Faktanya, pemerintah Indonesia tak pernah bisa menjadi neolib.

Apa yang akan dilakukan pemerintah?

Pemerintah punya instrumen subsidi. Masalahnya, seperti apa kebijakan yang paling efektif dan rakyat mana yang harus dilindungi. Ini soal pemihakan. Kalau semua orang mendapat subsidi bahan bakar minyak murah, rakyat miskin hanya akan menikmati subsidi dari busway atau angkot. Sebaliknya, kelas menengah atas menikmati subsidi lebih banyak. Mereka punya pendingin udara, kulkas, motor, atau mobil.

Sampai harga minyak berapa, anggaran negara bisa bertahan?

Anggaran negara itu bentuknya undangundang. Salah satu pasalnya menyebutkan besarnya penerimaan dan berbagai asumsi, antara lain harga minyak, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat inflasi. Tapi itu semua kan asumsi. Artinya berupa proyeksi, bukan sesuatu yang eksak, sehingga selalu meleset.

Bagaimana bila penerimaan turun, atau melampaui target seperti tahun lalu? Kalau asumsi awal harga minyak US$ 40 per barel dan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Rp 11 ribu, tapi sekarang harga minyak berkisar US$ 70 dan nilai tukar dolar Rp 10 ribu, apa yang terjadi? Penerimaan pasti berubah. Tapi, kalau ada anggota DPR yang mengatakan angkaangka dalam APBN tak boleh diubah seperti kitab suci, ya, silakan saja. Artinya, kalau anggaran untuk subsidi habis, ya sudah, tak ada lagi subsidi. Artinya, harga bahan bakar harus naik.

Apakah target produksi minyak tetap seperti dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009?

Tetap 960 ribu barel per hari (naik dari 927 ribu pada 2008). Angka itu sangat menentukan. Dan kenaikan itu sebagian disumbangkan oleh Blok Cepu. Pada kenyataannya, sampai Mei lalu, belum terealisasi. Saya katakan kepada Departemen Energi, kalau tambahan 20 ribu barel itu tak terealisasi, penerimaan negara akan bolong. Tapi Departemen Energi dan BP Migas menjamin bahwa pada akhir tahun ini Cepu sudah berproduksi.

Dengan kenaikan harga minyak, apakah harga bahan bakar akan naik?

Ini pilihan kebijakan. Sewaktu ekonomi global merosot, pemerintah harus menjamin faktor eksternal itu tidak menggerus ekonomi dalam negeri. Konsumsi rumah tangga tidak boleh goyah. Pada kuartal pertama 2009, konsumsi rumah tangga naik luar biasa, didorong kenaikan gaji, pemilu, dan penurunan harga BBM.

Pemerintah juga mengucurkan stimulus untuk menjaga ekonomi dalam negeri. Kalau sekarang harga bahan bakar dinaikkan, itu sama saja menetralisasi dampak stimulus. Dari sisi ekonomi, belum ada urgensi untuk menaikkan harga BBM. Kalau ratarata harga minyak pada sisa tahun ini bertahan US$ 70, itu berarti sampai akhir tahun harga minyak ratarata sepanjang 2009 masih berkisar US$ 50 per barel. Maka anggaran negara tak akan bermasalah.

Defisit akan berubah?

Pasti ada yang berubah, tergantung nilai tukar, harga minyak, dan tingkat lifting. Kalau harga minyak saja yang naik, yang lain tak berubah, penerimaan masih positif. Bagaimana jika harga dan nilai tukar yang berubah? Nilai tukar yang melemah membuat kita negatif. Kita tidak bisa melihat hanya dari satu variabel. Tapi, secara umum, defisit 2,5 persen itu sampai akhir tahun masih relatif valid.

Untuk menutup defisit anggaran, pemerintah menerbitkan surat utang. Apa implikasinya?

Di seluruh dunia, untuk menutup defisit anggaran, pilihannya hanya dua: menjual aset atau berutang, baik ke dalam negeri maupun ke luar negeri. Sekarang, dalam kondisi ekonomi yang turun, menjual aset bukan pilihan. Selama tiga tahun ini, pemerintah sama sekali tidak menjual aset. Kalau berutang, pilihannya adalah meminjam dengan hatihati dan biayanya yang paling murah. Pemerintah membuat berbagai macam instrumen surat utang. Ini yang disalahartikan seolaholah pemerintah punya hobi berutang. Padahal ini dilakukan untuk mengurangi risiko agar pemerintah tetap punya pilihan.

Menutup defisit dengan obligasi, apa tak menyedot likuiditas yang sudah seret?

Itu kan "dakwaan" seolaholah sudah terjadi crowding out, pemerintah bersaing dengan swasta berebut menyedot likuiditas di pasar. Ibaratnya, kalau ada air segelas dan separuhnya diambil pemerintah, sisanya diperebutkan ramerame oleh sektor swasta yang juga menerbitkan surat utang.

Di atas kertas, potensi terjadi crowding out itu ada. Sewaktu ekonomi dunia belum mengalami krisis, jumlah uang yang beredar, terutama yang mengalir ke negara berkembang, mencapai US$ 900 miliar, tapi kini tinggal US$ 180 miliar. Berarti dunia kering tibatiba, ada sekitar US$ 700 miliar yang hilang karena loss atau kembali ke negaranegara maju.

Nah, dalam situasi sekarang, perception risk negaranegara berkembang meningkat tajam, sehingga mereka harus membayar bunga surat utang lebih tinggi. Itu terjadi dari September 2008 sampai Maret. Kenaikan itu begitu tingginya, bahkan credit default swap pernah naik tinggi sekali, tapi sekarang relatif sudah kembali normal.

Tapi likuiditas masih seret dan biaya dana mahal?

Pemerintah sampai hari ini netcontraction, hanya menyedot duit masyarakat lewat pajak dan surat utang. Hari ini, posisi kas pemerintah Rp 130 triliun. Uang yang keluar pada umumnya baru untuk gaji, karena banyak proyek yang belum berjalan. Uang itu sebagian besar ditempatkan di Bank Indonesia, jadi tidak meningkatkan likuiditas. Kalau uang yang diberikan ke daerah juga ditaruh di perbankan, akan terjadi kontraksi lagi. Jadi problem perbankan bukan soal jumlah, melainkan segmentasi. Uangnya banyak, tapi hanya berkumpul di bankbank tertentu. Bank kecilmenengah barangkali sulit mendapat likuiditas karena persoalan kepercayaan.

Kalau anggaran surplus, kok, masih terus berutang?

Pasar itu seperti lawan latih tanding pemerintah. Kalau pasar melihat pemerintah kelihatan goyah, ia akan memukul sehingga pemerintah bisa langsung jatuh. Kami dengan pasar itu tiap hari saling mengamati. Makanya, Menteri Keuangan tak akan ngomong sembarangan. Pasar tahu kapan pemerintah punya banyak pilihan atau tidak. Kalau mereka melihat pemerintah tidak punya pilihan, kita langsung dipojokkan dan didikte dengan harga tinggi. Karena itu, memilih waktu mengeluarkan surat utang juga ditakar. Pada awal tahun, pelaku pasar melihat perekonomian turun, likuiditas habis, pasti defisit naik, dus pemerintah akan menerbitkan banyak surat utang, maka harga akan dikerek tinggi. Tapi kita juga tidak mau mengikuti permainan mereka.

Bagaimana dengan opsi menjual aset?

Belum dijual saja sudah dikritik, apalagi kita jadi menjual. Apalagi aset di seluruh dunia sekarang sedang murah banget.

Pada triwulan kedua, sepertinya stimulus masih seret?

Stimulus mulai jalan, terutama yang dari pajak. Yang terkait infrastruktur sedang dalam proses. Walaupun agak terlambat, justru ada berkahnya. Pada kuartal kedua, ada urusan liburan sekolah dan tahun ajaran baru. Kuartal ketiga ada puasa dan Lebaran. Faktor musiman ini akan mendorong konsumsi. Kalau ditambah kampanye, konsumsi akan cukup tinggi selama inflasi tidak melonjak. Pada kuartal terakhir, seluruh anggaran digelontorkan. Jadi pembagian waktunya tampak harmonis.

Bagaimana dengan sektor produksi?

Dilihat dari komposisi, yang terkena dampak paling besar adalah sektor manufaktur dan perdagangan. Saya semula mengira akan terkompensasi dengan kampanye dan lainlain, ternyata dampaknya tak terlalu banyak. Pertumbuhan sektor perdagangan nyaris nol. Manufaktur hanya 1,5 persen. Ini angka terendah sejak krisis 1998. Sektor pertanian masih tetap baik, konsisten selama empat tahun terakhir. Apalagi musim hujan agak panjang. Telekomunikasi, hotel, dan jasa masih tumbuh. Kini permintaan motor dan mobil sudah naik lagi, sehingga permintaan terhadap produk manufaktur mungkin akan membaik di kuartal ketiga atau keempat.

Siapa pun presidennya akan menghadapi masalah defisit anggaran?

Indonesia dengan tingkat kemiskinan 12 persen, pengangguran 8 persen, secara manajemen ekonomi pasti memerlukan modal untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Tinggal pilihannya mau mencari modal dari mana. Kalau anggaran tak boleh defisit, tak boleh berutang, ya, kita harus siap dengan konsekuensinya. Dana untuk belanja akan seret, termasuk untuk memperbarui persenjataan militer dan sebagainya. Ya, itu risiko.

Dalam masa sisa jabatan Anda, apa saja prioritasnya?

Menteri Keuangan jelas terikat dengan siklus anggaran yang diatur jelas dan eksplisit. Tiga bulan ke depan, kita akan sibuk di DPR karena ada laporan semester dan pasti ada perubahan signifikan pada anggaran 2009, terutama terkait dengan harga minyak dan stimulus. Kita juga sudah berbicara tentang penyusunan APBN 2010. Tahun ini spesial karena Lebaran jatuh pada September dan masa tugas DPR selesai pada akhir Oktober. Mereka mengharapkan UndangUndang APBN 2010 semua selesai pada akhir September.

Dengan waktu sesingkat ini, pembahasan anggaran jadi sangat ketat. Padahal anggaran itu akan dijalankan oleh pemerintah baru. Ini bukan retorika seperti soal debat neoliberal. Di Indonesia baru sekali terjadi pemerintah lama menyusun anggaran untuk pemerintah baru, yakni pada 2004, di zaman Menteri Keuangan Boediono. Jadi suasana politik sangat mewarnai pembahasan Rancangan APBN 2010. Kondisinya sama dengan saat ini.

Bagaimana dengan pemulihan ekonomi?

Saat siklus politik dalam suasana kompetisi, Indonesia justru menghadapi tantangan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan pada kuartal pertama melebihi semua perkiraan lembaga. Ini memberikan suatu optimisme, sebab angka pertumbuhan yang kita canangkan 4,4 hingga 4,8 persen sering dianggap terlalu optimistis. Bank Indonesia saja hanya memperkirakan angka pertumbuhan di level tiga hingga empat persen. Lembagalembaga lain malah di bawahnya.

Dari sisi komposisi pertumbuhan, penyokong utamanya adalah konsumsi rumah tangga. Sektor investasi hanya tumbuh 3,5 persen dan ekspor justru minus. Variabel penopang pertumbuhan ini belum menunjukkan level sehat. Untuk menjaga momentum itu, yang menjadi prioritas adalah kelompok yang paling rentan terkena dampak krisis ekonomi, yakni kelompok menengahbawah. Pemerintah tidak bisa melindungi semuanya karena kita tidak punya semua sumber daya. Kelompok ekonomi atas diharapkan bisa melindungi diri sendiri.

Sri Mulyani Indrawati

Lahir: Tanjung Karang, 26 Agustus 1962

Pendidikan :

  • Sarjana, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1986)
  • Master, Policy Economics di University of Illinois Urbana-Champaign, Amerika Serikat (1990)
  • Doktor, Ekonomi di University of Illinois Urbana-Champaign, Amerika Serikat (1992)

    Pekerjaan :

  • Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1986)
  • Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (1998)
  • Direktur Eksekutif International Monetary Fund (2002)
  • Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (2004)
  • Menteri Keuangan (2005)
  • Pelaksana Tugas Menteri Koordinator Perekonomian (2008)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus