Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROTES dari pengemudi transportasi online menjadi agenda yang wajib dihadapi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Gesitnya perkembangan moda transportasi itu ternyata harus bertabrakan dengan regulasi. Terbitnya peraturan yang mengatur transportasi online, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016, yang seyogianya berlaku pada 1 Oktober 2016, justru menuai protes. "Mereka cuma memikirkan dirinya sendiri tanpa peduli keselamatan orang lain," tutur Budi kepada wartawan Tempo Raymundus Rikang dan Sapto Yunus, Selasa pekan lalu.
Budi, yang menjabat Menteri Perhubungan sejak 27 Juli lalu, mengatakan pengemudi seharusnya menaati peraturan tersebut untuk menjaga keselamatan penumpang. Lagi pula ia sudah memberi kelonggaran pelaksanaan uji kir bisa dilakukan di agen tunggal pemegang merek dan penundaan pemberlakuan regulasi itu selama enam bulan ke depan.
Mantan Direktur Utama PT Angkasa Pura II itu yakin, setelah enam bulan sosialisasi, tidak akan ada penolakan lagi terhadap aturan tersebut. "Kami akan bikin sosialisasi macam-macam," ujarnya.
Dalam perbincangan selama sekitar satu jam di kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, itu, Budi bercerita tentang pelbagai hal, dari transportasi online, sikapnya kepada maskapai penerbangan bandel, hingga kesiapan Terminal 3 Bandar Udara Soekarno-Hatta. Wawancara ini merupakan kelanjutan dari perbincangan sebelumnya saat Budi berkunjung ke kantor Tempo pada Senin tiga pekan lalu.
Pengemudi transportasi online memprotes peraturan Menteri Perhubungan. Apa yang menjadi keberatan mereka?
Cuma tiga hal: SIM, uji kir, dan STNK. Semua itu bermanfaat bagi keselamatan pelanggan dan sangat tidak benar bila pengemudi transportasi online mengabaikannya. Di sisi lain, saya juga tak ingin terjadi apa-apa kepada mereka saat di jalan.
Sejumlah pengemudi khawatir tiga syarat itu akan membuat mereka sulit bersaing dengan taksi?
Tetap bisa. Jangan berpikir bahwa persaingan itu harus mengalahkan pihak lain. Kita hidup bersama. Kami enggak mau juga taksi seperti itu terus. Kalau bisa, online. Jika taksi juga online, mereka enggak perlu ngider sehingga hemat bensin. Memang pendapatannya sedikit berkurang, tak jadi masalah. Tapi, efeknya, banyak orang berpaling dari mobil pribadi ke taksi.
Apa jalan keluar yang Anda tawarkan kepada pengemudi transportasi online?
Soal uji kir, misalnya, mereka memprotes karena harus membayar, lalu mobilnya diketok. Saya bilang mereka tak perlu bayar dan uji kir di dealer agen pemegang merek saja. Di sana mobil mereka tak perlu diketok. Cara ini sudah berjalan. Kalau SIM A Umum, mereka wajib membuatnya. Egois namanya kalau mereka menyetir sambil membawa penumpang tapi menggunakan SIM A biasa, bukan SIM A Umum. Sementara itu, masalah STNK, saya sedang mencari skema yang adil agar tak menimbulkan masalah antara transportasi konvensional dan online. Yang jelas, kami ingin di STNK tercantum nama kelompok atau koperasi agar ada keterikatan interpersonal. Bila suatu saat ada masalah, misalnya tindak kriminal, ada tanggung jawab secara kolektif.
Mengapa protes dari kelompok-kelompok kecil pengemudi masih muncul?
Mereka cuma memikirkan dirinya sendiri tanpa peduli keselamatan orang lain. Jangan mikir diri sendiri. Sudah saya perintahkan Dirjen Perhubungan Darat untuk cari tokoh-tokoh kelompok kecil tersebut dan menjelaskan maksud peraturan itu. Kami temui para tokoh satu per satu dan saya yakin mereka akan mengerti. Kami sudah menemui dua kloter pengemudi dan mereka sudah paham. Kloter ketiga ini yang belum mengerti dan saya minta tolong agar jangan diprovokasi.
Mengapa Kementerian Perhubungan juga melarang mobil berkapasitas mesin kurang dari 1.300 cc jadi armada transportasi online?
Mobil-mobil di bawah spesifikasi mesin itu ada daya tahannya juga, kan.
Bukankah standar keselamatan mobil tipe ini tetap terpenuhi bila lolos uji kir?
Servisnya tidak setara. Soal keselamatan, kalau menempuh jarak jauh, juga kurang baik. Tapi saya enggak mau omong ke arah sana. Saya ingin melihat dulu kajian soal peraturan ini. Makanya saya menunda pemberlakuan peraturan tersebut. Pada dasarnya, makin ekonomis harga suatu perangkat dan dinikmati oleh semua masyarakat, kenapa itu dipermasalahkan?
Sampai kapan peraturan itu ditunda pelaksanaannya?
Sampai enam bulan ke depan. Kami sekaligus akan sosialisasi dalam kelompok-kelompok tadi. Jika perlu, kami ajak diskusi one on one.
Anda yakin, setelah enam bulan sosialisasi, tidak akan ada penolakan lagi?
Yakin. Akan kami bikin sosialisasi macam-macam. Sebenarnya tokoh-tokohnya enggak banyak. Paling cuma 50 orang. Yang lain itu diajak.
Soal tarif, kapan tercapai keseimbangan tarif antara transportasi online dan konvensional?
Saya dengar sekarang ini tarif taksi biasa sudah turun, sementara ongkos transportasi online sudah naik sedikit. Sewaktu-waktu, karena skala bisnisnya besar, tarif transportasi online akan naik juga.
Tapi konsumen menganggap transportasi online lebih unggul bukan hanya soal tarif, tapi juga kemudahan akses.
Masing-masing punya keunggulan. Taksi unggul dari sisi jumlah armadanya yang banyak, mereka sudah menghidupi banyak keluarga. Adapun transportasi online punya keunggulan di bidang teknologi masa depan, digemari masyarakat, dan lebih murah. Kalau kedua pihak ini bisa cocok, akan bagus sekali.
Apakah pemerintah punya rencana mengatur tarif taksi online?
Suatu waktu tarif itu akan kembali ke harga pasar. Sekarang mereka ada subsidi, sehingga harganya lebih rendah dari pasar. Maka saya mau buying time setahun supaya mereka pada titik tertentu melepas subsidi itu. Pada titik tertentu transportasi online sadar bahwa harga pasar yang bersaing.
Faktanya, kedua pihak terkadang terlibat benturan di jalan. Bagaimana mengatasinya?
Saya sampaikan kepada kedua pihak jangan hanya melihat sesaat. Kalau berantem, yang ada cuma kalah-menang. Jika begitu kondisinya, masyarakat tak akan mendapat produk jasa yang kompetitif. Lagi pula ada pembelajaran teknologi masa depan yang tak bisa dihindari. Sebab, sistem online akan merambah ke sektor lain dan menciptakan efisiensi, termasuk bagi taksi.
Sebelumnya, perusahaan besar taksi paling lantang berteriak soal persaingan tarif ini. Mengapa mereka adem ayem sekarang?
Saya bilang kepada operator besar taksi itu bahwa dunia sudah berubah. Kalau mereka maunya tetap begitu, tak bisa dipaksa juga. Tapi saya tegaskan bahwa mereka mesti berubah, kalau tidak akan mati. Kita punya anak saja bertumbuh kembang, masak mereka mau begitu-begitu saja. Saya menyediakan waktu yang banyak untuk mereka. Mereka tanya via WhatsApp, saya jawab langsung dan kalau minta waktu bertemu akan langsung saya temui.
Soal Terminal 3 Bandar Udara Soekarno-Hatta, masih banyak masalah terjadi di. Apakah terminal itu benar-benar sudah siap?
Kalau bangunan baru, lalu ada kebocoran, biasa. Cuma, memang komunikasi di media sosial itu amat dahsyat. Kami tak bermaksud menyalahkan siapa pun. Yang jelas, ini adalah pertama kalinya pembangunan proyek besar yang semuanya dilakukan oleh putra bangsa. Ada banyak pengalaman yang bisa kita serap.
Kementerian Perhubungan punya moto keselamatan dan pelayanan yang prima. Mengapa hal itu tak tecermin pada kebijakan pembukaan Terminal 3?
Kami ingin merebut momentum. Ada juga perhitungan ekonomis. Memang bangunan itu semestinya baru selesai tahun depan. Tapi kami percepat di bagian tertentu supaya bisa merebut quick win.
Kompetisi seharusnya tak menggadaikan keselamatan, terlebih Terminal 3 tak dilengkapi menara air traffic control yang memadai.
Sekarang ini masih pakai kamera CCTV, tapi November nanti sudah mulai pakai ATC otomatis.
Apakah studi kelayakan memberi lampu hijau bahwa Terminal 3 sudah bisa dioperasikan?
Bisa. Media sosial saja yang bikin risau. Jakarta itu menjadi pusat dan panggung, maka jadi ramai pembahasannya. Sebenarnya apa yang terjadi di Bali atau Surabaya lebih seram. Bandara Suvarnabhumi, Bangkok, butuh proses penyelarasan enam bulan sampai satu tahun.
Parkir juga jadi masalah di Terminal 3. Bagaimana solusinya?
Sistemnya memang baru. Penumpang harus mencari mobilnya, tak menunggu lagi di titik kedatangan. Di Singapura sudah seperti itu. Kita cuma belum terbiasa saja sehingga terjadi kemacetan.
Anda optimistis pembukaan Terminal 3 akan mengurai beban penumpang Terminal 1 dan 2?
Beban penumpang sekarang adalah 58 juta orang per tahun. Pertumbuhannya 5-6 persen. Jadi kira-kira sekitar 63 juta. Beban penumpang terlalu tinggi karena jumlah itu ditampung di dua terminal yang kapasitas totalnya 20 juta. Hadirnya Terminal 3 memberi tambahan kapasitas 25 juta orang. Masih ditambah renovasi Terminal 1-2 yang akan menampung 40 juta orang. Jadi pas kapasitasnya.
Bagaimana rencana pembangunan Terminal 4 Bandara Soekarno-Hatta?
Presiden sudah memerintahkan pembangunan itu. Baru dimulai pada 2021 dan selesai pada 2023. Lahannya pakai tanah yang sekarang jadi lapangan golf itu. Tapi kami juga concern untuk memperluas airside dengan membangun runway 3.
Berkaca pada pengalaman negara lain, apakah ada peluang bandara kita dikelola perusahaan swasta?
Andaikan dikelola swasta, saya ingin usulkan 51 persen tetap dikuasai BUMN. Bagaimanapun BUMN masih bisa kita kendalikan.
Bagaimana gambaran kerja samanya?
Ada dua tahap. Pertama, tender pengelolaan saja. Kedua, bila skalanya lebih dari 3 juta orang, baru layak investasi. Tapi sebenarnya bandara yang kapasitasnya di atas 2 juta orang sudah bisa kami tawarkan untuk investasi.
Sudah ada proyek percontohan untuk program ini?
Bandara Ngurah Rai, Bali, sudah bekerja sama dengan GVK. Ini perusahaan berbasis di India dan sudah mengelola Bandara Internasional Mumbai. Saya berencana meminta pengelola Bandara Kualanamu, Medan, dan Kulon Progo, Yogyakarta, mencari investor.
Sudah ada peminat?
Sudah ada perusahaan dari India, Prancis, Korea Selatan. Prinsipnya, saya enggak mau mereka langsung pegang. Biar mereka kelola dulu agar pergerakannya naik. Kalau enggak qualified, ngapain mereka kelola?
Bagaimana hasil investigasi Kementerian Perhubungan mengenai Lion Air dan AirAsia yang melakukan kecerobohan dalam ground handling?
Kami tahu dunia penerbangan sedang terpuruk. Kalau membaik, kenapa kami harus memaksakan memberikan sanksi kepada mereka? Kalau mereka tutup, apakah kita mau tarif Jakarta-Yogyakarta jadi Rp 3 juta? Kan, tidak mau. Keduanya membaik. Mereka sekarang sedang downsize. Kalau mereka menempuh kebijakan ini, pasti sedang konsolidasi beberapa hal, termasuk armada, pilot, dan sumber daya manusianya.
Apakah mereka mengajukan pemulihan izin ground handling?
Mereka mau mengusulkan lagi. Akan saya beri, tapi bertahap sesuai dengan kemampuan. Soal aspek ketepatan jadwal, praktis dua bulan terakhir ini tak ada masalah yang masif.
Ada kesan Kementerian Perhubungan sangat lunak terhadap dua maskapai ini.
Terhadap Garuda, saya juga lunak. Dengan Lion Air dan AirAsia sempat keras. Pada saat tertentu, saya mesti keras, ya, keras. Marah, ya, marah saja. Kalau lunak, ya, lunak. Sikap keras itu tak perlu ditampilkan, enggak perlu show.
Apakah Anda pernah marah kepada Lion Air? Bosnya kan anggota Dewan Pertimbangan Presiden?
Pernah. Lion Air, Garuda, dan Blue Bird pernah saya marahi. Tapi lebih banyak enggak marahnya. Prinsipnya, baik Lion Air, AirAsia, Sriwijaya, maupun Garuda itu anak kami semua. Kalau saya marah bilang, "Hei, jangan gitu, dong." Enggak pakai peringatan satu, dua, tiga. Saya panggil saja mereka, ajak omong lagi. Kalau saya bilang "Jangan gitu, dong", itu berarti saya marah. Enggak perlu bahasa kebun binatang keluar semua. Kalau marah-marah begitu, yang sakit kita sendiri.
Tapi Lion Air seperti anak bandel, diperingatkan tapi mengulangi kesalahan. Bagaimana itu?
Saya juga bandel, kok. Rasanya, selama saya jadi menteri, mereka enggak bandel-bandel amat. Kalau orang Jawa bilang mereka tidak njarak (sengaja). Sebab, kalau mereka njarak, saya akan bilang, "Ngono ya ngono, tapi aja ngono (begitu ya begitu, tapi jangan begitu)."
Sejauh mana toleransi Kementerian Perhubungan kepada maskapai bandel?
Kalau memang brengsek, ya, kami pikirkan hal yang paling bijaksana.
Apakah benar perlakuan "istimewa" terhadap Lion Air karena mereka rekanan terbesar PT Angkasa Pura?
Mau dikatakan begitu juga bisa. Tapi lebih tepat mengatakan bahwa efisiensi penerbangan tak akan tercapai kalau mereka enggak ada. Bayangkan, permintaannya tinggi tapi armadanya enggak cukup. Saya concern agar masyarakat menikmati penerbangan yang murah karena terjadi kompetisi yang baik. Di satu sisi, operator tak rugi, sementara di sisi lain masyarakat mendapat harga yang pantas.
Pemerintah sedang berhemat. Berapa pemotongan anggaran di Kementerian Perhubungan?
Dari Rp 50 triliun turun menjadi Rp 40 triliun. Jadi sekitar 20 persen. Saya lakukan kebijakan klise, seperti pemangkasan anggaran dinas luar negeri. Rapat biasanya di Bali, saya putuskan di Jakarta saja.
Apakah efisiensi anggaran ini berpengaruh pada proyek tol laut Presiden Joko Widodo?
Diubah saja pendekatannya. Semula kami beli kapal, tapi ganti jadi subsidi saja. Sebab, ada nelayan yang kami beri kapal tapi enggak punya uang dan anak buah kapal. Kapal yang tadinya akan dibeli ratusan unit lalu dikurangi jadi sepertiganya saja.
Soal pembangunan trem di Surabaya, bagaimana kelanjutannya?
Saya akan melihat studinya. Saya mau lihat isi peraturan presiden dulu, baru kami bicarakan. Saya sudah ketemu Bu Risma (Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini).
Benarkah trem yang paling masuk akal dibandingkan dengan light rail transit?
Jujur belum saya pelajari dengan detail. Saya sedang mengumpulkan data dari internal dan universitas. Kalau sudah memungkinkan, dimulai 2017. Saya sudah bicara dengan Bu Risma, kalau bisa, kita jangan ngomong dulu yang 21 kilometer. Cari 3 kilometer yang paling efisien. Nanti, kalau efisien, baru kita kerjakan seluruhnya. Kalau tidak, ya, untuk wisata saja yang 3 kilometer itu.
Bagaimana perkembangan dwelling time?
Kami sedang mencari solusinya. Secara tidak sengaja, saat pembukaan di Tanjung Priok, dwelling time cuma 3,6 hari. Tapi Medan dan kota lain masih 7 hari. Kami sinyalir kekurangan efisien pengelolaan itu ada. Saya koordinasi dengan PT Pelindo I, II, III, dan IV serta polisi. Kami kasih waktu satu bulan untuk diperbaiki. Kami buat template, yang dikloning ke tempat-tempat lain. Secara finansial, persentase dwelling time tak banyak. Tapi di situ adalah ujian membuat diri kita menjadi governance. Saya mendapat berita baik dari Kementerian Perdagangan bahwa izin sekarang bisa online. Kami pantau terus.
Ada yang bilang dwelling time seperti yoyo: saat dilakukan inspeksi mendadak bagus tapi jelek lagi saat ditinggal.
Enggaklah. Buktinya, sistem di Tanjung Priok sudah dikloning ke Tanjung Perak. Memang kurang efek kejutnya karena masih saja ada yang bandel.
Budi Karya Sumadi
Tempat dan tanggal lahir: Palembang, 18 Desember 1956
Pendidikan: S-1 Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 1981)
Karier:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo