Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI sekian banyak prestasi Komisi Pemberantasan Korupsi, kebiasaan menelantarkan kasus korupsi yang sudah masuk tahap penyidikan bisa menjadi ponten merah. Banyak kasus yang pada awalnya gegap-gempita ternyata meredup di tengah jalan. Salah satu contohnya penanganan kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
Setelah dilakukan penyelidikan sejak 2013, kasus ini masuk ke penyidikan pada April 2014 dengan penetapan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Sugiharto sebagai tersangka. Namun, setelah itu, penanganan kasus ini seolah-olah senyap sekitar dua tahun. Baru pada akhir September lalu, KPK menetapkan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Irman sebagai tersangka.
Penanganan kasus yang begitu lamban ini tentu mengundang curiga. Apalagi sejak awal KPK sudah menyatakan kuatnya dugaan penyimpangan dalam proyek yang digelar di era Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi itu. Ditambah lagi, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menemukan indikasi kerugian negara senilai Rp 2 triliun dalam proyek tersebut.
Dugaan kerugian negara bersumber dari ketidaksesuaian teknologi yang dijanjikan dalam kontrak tender dengan yang ada di lapangan. Salah satunya menyangkut alat pemindai. Dalam kontrak tender yang diteken pada Juli 2011, konsorsium penggarap proyek yang terdiri atas PT Percetakan Negara Republik Indonesia, PT Quadra Solution, PT Sucofindo, PT LEN Industri, dan PT Sandipala Arthaputra menjanjikan menggunakan pemindai mata. Namun pelaksanaannya ternyata hanya memakai sidik jari.
Selain hasil audit tersebut, banyak kejanggalan lain. Yang paling terlihat adalah kisruh di pelaksanaan tender sampai ke kegiatan di lapangan yang berujung pada terlewatinya tenggat. Ditargetkan rampung menjelang akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga sekarang kegiatan perekaman data penduduk dan pendistribusian e-KTP belum selesai. Kondisi itu membuat Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menghentikan sementara proyek ini pada September 2014.
Sulit menafikan adanya tokoh-tokoh besar di balik proyek ini sebagai penyebab lambatnya pengungkapan. Selain Gamawan Fauzi, terendus jejak Setya Novanto, Ketua Umum Partai Golkar, dalam proyek tersebut. Majalah ini pernah menurunkan liputan tentang bagaimana anggaran proyek "dimainkan" di Dewan Perwakilan Rakyat, juga kekacauan dalam penunjukan pemenang tender. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin sudah berulang kali menyebut keterlibatan politikus Partai Golkar itu.
Penyidik KPK semestinya tidak kesulitan mencari bukti guna menyeret aktor penting skandal ini. Selain setumpuk bukti dari sejumlah penggeledahan, temuan dari Panama Papers, dokumen milik firma hukum asal Panama, Mossack Fonseca, yang bocor, yang mencuat pada April lalu, menjadi petunjuk tambahan. Dokumen itu menyebutkan Paulus Tannos, bos Sandipala Arthaputra, rekanan proyek e-KTP, ditengarai memiliki kongsi bisnis dengan Azmin Aulia, adik kandung Gamawan. Ini menjadi jawaban sementara mengapa Sandipala, perusahaan yang tidak jelas rekam jejaknya, bisa mengerjakan proyek e-KTP.
Penuntasan pengusutan dugaan korupsi e-KTP menjadi tantangan bagi KPK. Sengkarut yang masih tersisa dalam megaproyek ini hanya bisa dituntaskan jika proses hukum dugaan beragam penyimpangan diselesaikan dulu. Tanpa itu, harapan terjadi revolusi dalam sistem administrasi kependudukan kita melalui e-KTP mesti dikubur dalam-dalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo