Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FOTO dan videonya yang beredar di media sosial memang bisa membuat mereka yang berakal pendek terperenyak. Dia tampil memakai gamis dan bersorban—bak orang mulia berilmu agama tinggi. Duduk di sebuah kursi, wajahnya yang putih dengan pipi agak gembil terlihat kalem. Ia tidak berbicara apa pun.
Lalu, ini yang mungkin membuat banyak orang takjub. Dari sakunya, dia keluarkan bergumpal-gumpal "uang" yang kemudian ia sebarkan seperti benda tak berharga. Tak hanya dari saku, juga dari kiri-kanan tubuhnya, belakang badannya, dan ke mana saja tangannya menjangkau. Uang seperti tak habis-habis. Di depannya, di lantai, lembaran uang lima puluh ribuan dan seratus ribuan yang ia tebarkan menggunung.
Dimas Kanjeng Taat Pribadi, pria "sakti" 46 tahun itu, kini mendekam di sel tahanan polisi. Namun sampai hari ini puluhan pengikutnya dari berbagai daerah masih bertahan di kompleks pesantrennya, Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng, di Desa Sumber Cengkelek, Probolinggo, Jawa Timur. Mereka tetap berharap uang yang mereka setorkan ke Dimas Kanjeng itu—disebut mahar—akan muncul dalam jumlah berlipat dari "bank gaib". Semoga pemerintah daerah setempat bisa menyadarkan dan menyuruh mereka pulang ke rumah masing-masing.
Taat tak lebih dari orang biasa yang, bisa jadi, sangat paham di sekelilingnya banyak "orang sakit" yang memiliki impian sama: ingin kaya raya tanpa kerja keras. Dan di negeri yang masyarakatnya masih banyak percaya pada hal-hal irasional—seperti air bisa dengan mudah diubah menjadi bahan bakar—Taat tak sulit mengumpulkan pengikut. Dia hanya membutuhkan polesan penampilan, menciptakan sejumlah kejutan atau foto dan video yang memperlihatkan "kesaktian"-nya. Selebihnya: janji dan kepintaran berbicara meyakinkan korbannya.
Di sinilah cerita tentang Taat, dengan segala "bumbunya", beredar: memiliki uncang yang dari dalamnya bisa keluar emas dan uang tak habis-habis, memiliki kotak yang jika dimasuki uang kertas mainan dalam beberapa hari segera berubah menjadi uang asli, atau ilmu yang dapat "menarik" emas dari dalam tanah. Pengikutnya bisa memiliki benda dan keahlian itu dengan syarat menyetorkan sejumlah uang.
Akal sehat terkalahkan nafsu serakah. Mereka yang kehilangan nalar bukan hanya masyarakat awam—petani, buruh, pensiunan pegawai negeri—bahkan perwira TNI dan intelektual bergelar doktor. Praktek tipu-tipu itu, dalam batas tertentu, bisa pula ditutup rapat. Karena itu, seperti dikatakan polisi, Taatlah otak pembunuhan Abdul Ghani dan Ismail Hidayah, dua anak buahnya yang berniat membongkar kebohongannya. Penangkapannya pada 22 September lalu itu pula yang mengungkap "kesaktian"-nya menggandakan uang sejak sekitar delapan tahun lalu.
Belum ada angka persis jumlah fulus yang diraup Taat dari pengikutnya. Ada yang memperkirakan bisa mencapai triliunan rupiah. Angka ini bisa jadi benar bila melihat jumlah "santri"-nya yang ribuan serta laporan bekas pengikutnya yang mengaku telah menyerahkan ratusan miliar rupiah ke Taat. Kita tahu, untuk hal-hal demikian, lebih banyak yang memilih diam ketimbang buka mulut. Pertama, bisa jadi mereka malu jika diketahui menjadi korban Taat. Kedua, mereka masih percaya uang mereka akan kembali dengan jumlah berlipat—dan jika melapor justru hilang.
Polisi harus membongkar kasus pembunuhan dan penipuan Taat sampai tuntas. Melihat sudah demikian lama praktek "penggandaan" uang tersebut, kita bisa bertanya: ke mana saja polisi dan aparat pemerintah yang mendapat tugas mengawasi pesantren-pesantren seperti yang didirikan Taat selama ini? Atau mereka sengaja tutup mata karena mendapat "sesuatu" dari Dimas Kanjeng?
Keterlibatan aparat keamanan terhadap "tipu-tipu" Taat ini harus dibongkar. Terungkapnya sejumlah anggota TNI yang terlibat dalam pembunuhan Abdul Ghani dan Ismail Hidayah menunjukkan Taat menggunakan aparat keamanan untuk melindungi penipuan yang ia lakukan. Untuk membongkar semua kejahatan Taat, yang diperlukan polisi hanyalah kerja keras dan niat mengungkap tuntas kasus ini, tak peduli siapa pun yang terlibat atau berada di belakangnya.
Kita berharap tak ada lagi masyarakat yang terkecoh oleh orang-orang semacam Taat. Para pemimpin harus senantiasa menjadi contoh bahwa kerja keras, kejujuran, dan berpikir rasional adalah pijakan untuk maju—bukan mereka yang menjanjikan bantuan dari alam gaib.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo