Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAMA dua belas tahun Mohammed Mostafa el-Baradei menyedot perhatian dunia. Sebagai Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency, IAEA), dia mengunjungi kilang di berbagai belahan dunia yang dicurigai menjadi tempat produksi senjata nuklir. Dia juga tampil di berbagai seminar dan aktif menyuarakan pentingnya dunia yang bebas dari ancaman nuklir.
Kepiawaiannya berdiplomasi membuat negara anggota badan dunia itu puas dan mempercayainya memegang posisi penting tersebut selama dua periode, sejak 1997 sampai 2009. Pakar hukum internasional dari Mesir ini dinilai cermat dan adil. Dia tak cuma menyampaikan pandangan negara Barat yang mendominasi kekuatan nuklir dunia, tapi juga menyuarakan kepentingan Asia dan Timur Tengah.
Tak mengherankan bila El-Baradei mampu mengajak Iran duduk di meja perundingan. Di sana dibicarakan persoalan pengayaan uranium yang dilakukan negeri para mullah itu. Amerika Serikat dan negara Barat lain menuduh Iran ingin membuat senjata nuklir. Sebaliknya Iran berkukuh nuklir itu akan digunakan untuk kebutuhan medis.
Dengan lincah pria yang mendapat julukan Paus Nuklir itu mengajukan kerangka fuel assurance supply untuk mencapai win-win solution dalam soal nuklir Iran. Negeri para mullah itu, antara lain, diminta mengirim uraniumnya untuk diproses di Rusia dan Prancis. ”Iran mesti meyakinkan dunia bahwa nuklir itu memang untuk keperluan medis,” ujarnya kepada Tempo lewat sambungan internasional.
Pembicaraan itu memang belum mencapai titik temu. ”Ini soal melihat siapa yang pertama kali berkedip (menunjukkan siapa yang lebih kuat bernegosiasi),” katanya dari rumahnya di Wina, Austria. Seraya terus mengamati perkembangan perundingan itu, dia kini mengisi hari dengan mendengarkan musik klasik, jazz, dan merawat koleksi barang antiknya, serta bermain golf. Berikut ini petikan wawancara dengan El-Baradei, yang dilakukan lewat sambungan telepon.
Mengapa pembicaraan tentang nuklir antara Iran dan Barat begitu lama?
Iran adalah isu khusus di IAEA. Iran adalah gejala dari masalah yang sedang kita hadapi. Ketika mengembangkan pengayaan uraniumnya, Iran tak memberi tahu prosesnya ke IAEA. Ini membuat prihatin banyak negara. Sebab, meski Iran beralasan nuklir itu untuk tujuan damai (kebutuhan medis), masyarakat internasional curiga ada sisi militer juga, yaitu untuk membuat senjata nuklir. Iran mesti mengklarifikasi kecurigaan ini. Negara Barat juga semestinya paham. Meski mereka punya perhatian besar karena kepentingan mereka di Timur Tengah, persoalan ini cuma bisa diselesaikan lewat dialog. Hubungan antara Iran dan Amerika Serikat selama lebih dari 50 tahun selalu diisi dengan pembicaraan tentang sanksi ekonomi, ancaman keamanan, dan hak asasi manusia. Ini mesti dipinggirkan untuk mendapatkan solusi komprehensif. Iran juga punya hak menggunakan nuklir untuk tujuan damai seperti negara lain.
Posisi terakhir Amerika Serikat dan sekutunya malah ingin memberikan sanksi. Proposalnya bahkan sudah diajukan, pendapat Anda?
Saya tak yakin sanksi menjadi jalan keluar yang tepat, karena ini masalah keamanan sebuah negara. Bila ingin mendapat jalan keluar yang tepat, lebih baik mereka bicara tentang apa keinginan masing-masing.
Anda melihat perubahan pendekatan Amerika kepada Iran?
Dalam setahun terakhir ini Presiden Amerika Serikat Barack Obama sudah mendekati Iran secara intensif, untuk memberikan sinyal, termasuk lewat pernyataannya, siap berdialog untuk memperbaiki hubungan. Ini hal baru yang positif. Sebab, selama pemerintahan Bush, alih-alih mau mendengarkan Iran, Amerika malah seperti bicara pada diri sendiri, dengan memberikan prasyarat bila ingin berdialog. Amerika dulu tak pernah berupaya mendekati Iran, malah memasukkan Iran ke kelompok negara poros setan. Ini membuat masalah jadi lebih sulit.
Apakah pendekatan yang dilakukan Obama efektif?
Bagi saya, apa yang sudah dilakukan Obama sudah sampai pada tahap saling mau mendengarkan. Mereka tahu Iran dan Amerika akan menang bila mampu menyelesaikan ini dalam pembicaraan menuju perjanjian yang komprehensif. Iran butuh Barat untuk perdagangan, teknologi, dan menyampaikan ide-ide bagus yang mereka miliki. Amerika juga demikian. Mereka butuh Iran karena pengaruhnya sangat kuat di Timur Tengah, terutama di Irak, Afganistan, Palestina, Suriah, dan Libanon. Iran adalah penjaga kestabilan kekuatan di Timur Tengah. Saya yakin keduanya memahami ini, dan berharap mereka sadar bahwa cuma dialog intens dan langsung di antara mereka yang bisa menyelesaikan persoalan.
Seberapa bahaya sebetulnya kemampuan Iran mengolah nuklirnya?
Bila Iran menyatakan fasilitas pengolahan nuklirnya untuk tujuan damai, tak ada masalah buat Timur Tengah. Kami perlu kejelasan bahwa memang begitu adanya. Seperti saya bilang, kami (IAEA) saat itu punya kecurigaan mereka mengembangkan dan mempelajari teknologi persenjataan nuklir. Bisa jadi cuma dugaan, tapi Iran mesti memberikan penjelasan secara substantif tentang apa yang sedang mereka kerjakan. Penjelasan tentu bisa melegakan kami, bila pengayaan uranium itu memang untuk tujuan damai. Satu hal, mereka sebetulnya belum perlu mengolah uranium itu, karena belum ada kebutuhan khusus. Karena mereka cuma punya satu reaktor nuklir dan bahannya juga disediakan oleh Rusia. Mereka bisa meneliti dan mengembangkan kemampuan teknologinya. Tapi meningkatkan terus pengayaan uranium mereka, saya kok melihat belum ada urgensinya.
Bukankah Iran berulang kali menegaskan bahwa nuklir itu untuk kebutuhan medis?
Betul, proses untuk memenuhi kebutuhan medis itu kan bisa dilakukan ke Rusia dan Prancis, seperti yang sudah diajukan. Itu ide bagus. Waktu (masih jadi Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional) itu saya ingin mewujudkannya. Iran bisa mendapatkan hasil pengayaan sebelum waktunya, untuk memenuhi kebutuhan pengolahan di reaktornya, setahun dari sekarang. Fasilitas ini kan untuk medis, jadi mesti dipastikan tersedia terus. Sisi positifnya bagi Iran, bisa meyakinkan dunia bahwa mereka tak berniat membuat senjata nuklir dengan uraniumnya.
Benarkah sulit menginspeksi fasilitas nuklir Iran?
Malah gampang. Kami sudah berpengalaman menginspeksi fasilitas nuklir di Jepang dan Jerman. Yang jadi masalah, apakah masih ada fasilitas nuklir yang tak dilaporkan oleh Iran. Apakah kami punya otoritas yang besar untuk melakukan inspeksi (lanjutan)? Maka, ketika itu saya meminta protokol tambahan, yang memberikan kewenangan lebih bagi kami. Kewenangan yang lebih membuat kami bisa berbuat maksimal bagi kenyamanan dunia. Saat itu, dengan protokol yang ada, Iran cuma wajib melapor ke Dewan Keamanan PBB. Saya bilang ke wakil Iran, mereka itu seperti menembaki kakinya sendiri. Sebab, bila saja lebih transparan ke IAEA, mereka akan memberikan kepastian bagi masyarakat internasional.
Iran beberapa waktu lalu balik menekan Barat dan akan walk out dari pembicaraan....
Banyak yang bilang ini-itu, dan bagaimana mereka begini-begitu, termasuk sanksi dan bentuk tekanan lain. Ini merupakan cara melihat siapa yang berkedip duluan (paling tahan dengan posisi tawarnya). Ini bukan solusi. Satu-satunya cara cuma melakukan rekonsiliasi, atasi perbedaan di antara mereka, Iran dan Barat. Taruh kepercayaan kepada pihak lain. Tanpa kepercayaan, takkan ada dialog. Saya berharap mereka bisa menemukan solusi soal energi ini. Ini adalah simbol, membuka saling percaya di antara keduanya. Dan ini tak bisa dibangun dalam semalam, tapi pelan-pelan.
Apakah Iran tak percaya terhadap Barat untuk mengolah nuklirnya?
Waktu itu saya juga memberikan alternatif solusi. Iran menaruh uraniumnya di Turki di bawah pengawasan IAEA. Sebab, mengayakan uranium butuh waktu sampai setahun. Masih banyak lagi ide, menjamin ketersediaan energi uranium yang mereka miliki untuk diolah (fuel assurance supply). Saya tak punya ide lain untuk menyelesaikan persoalan ini, kecuali Iran dan Barat mau duduk bersama dan berdialog.
Mengapa cuma Iran yang dikejar-kejar karena persoalan nuklir yang dianggap membahayakan Timur Tengah? Bukankah Israel juga punya fasilitas nuklir?
Semua negara anggota rezim nonproliferasi mesti diperlakukan sama. Persoalannya, negara-negara Timur Tengah mencurigai ada standar ganda yang diterapkan Barat. Israel memang memiliki fasilitas nuklir yang belum (mau) diinspeksi. Alasan Israel, mereka akan tetap mengembangkan nuklirnya sebagai deterrence, kekuatan penghadang sampai betul-betul ada perdamaian di Timur Tengah. Apa yang saya upayakan saat itu, secara simultan mewujudkan perdamaian dan menjamin keamanan di Timur Tengah dan kebalikannya. Tak bisa dipilih salah satu karena keduanya terkait. Karena itu, perlu mengurangi bahaya nuklir di setiap negara, termasuk di Israel. Upaya mengembangkan nuklir akan terus muncul, kecuali Timur Tengah sudah bebas nuklir.
Mungkinkah mewujudkan Timur Tengah yang bebas nuklir?
Di Timur Tengah memang ada keinginan mewujudkan zona bebas nuklir, tapi kuncinya adalah menyelesaikan persoalan Palestina. Kecuali Palestina sudah menjadi negara bebas yang merdeka (dari Israel), maka akan terus ada radikalisasi, peningkatan jaminan keamanan negara dengan meningkatkan persenjataannya. Bila semua melakukannya, itu akan menjadi akhir bagi semuanya. Masyarakat dunia mesti sadar, tahu apa akar masalahnya (isu Palestina), bukan cuma gejalanya (nuklir Iran dan Israel). Keinginan memiliki senjata nuklir berkaitan dengan tak adanya jaminan keamanan di wilayahnya. Ini yang mesti diperhatikan masyarakat internasional.
Iran dan Israel juga mesti bicara?
Bukan cuma Iran dan Israel, semua negara (di kawasan Timur Tengah). Seperti yang saya bilang, perlu pandangan komprehensif tentang perdamaian di wilayah ini, dimulai dengan bicara tentang penyelesaian kemerdekaan Palestina. Tentu semua negara di wilayah ini punya kepentingan dialog mengenai keamanan. Tapi saya pikir dialog itu tak akan menemukan solusinya bila tak ada kemajuan yang signifikan atas isu rakyat Palestina.
Bagaimana komitmen negara yang memiliki senjata nuklir untuk menerapkan zona bebas nuklir?
Saya tahu, sulit bagi negara yang sudah punya senjata nuklir untuk melucuti senjatanya sendiri, atau mengawasi pengembangan teknologinya sehingga hanya mengarah pada pemakaian energi nuklir semata. Masalah ini bukan soal isu teknologinya, tapi pada kemauan politik dan persepsi mereka terhadap ancaman dan keamanan negara. Mereka sadar perlu jaminan keamanan, sewaktu-waktu senjata itu diperlukan. Karena itu, kami pikir negara-negara pemilik senjata itu perlu mengkonkretkan langkah untuk membebaskan dunia dari senjata nuklir. Saya pikir pertemuan pada April mendatang bisa mewujudkan langkah konkret di antara mereka.
Anda menjadi orang penting, terkenal sebagai Paus Nuklir, apakah itu bisa jadi modal untuk mencalonkan diri sebagai Presiden Mesir tahun depan?
Enggak juga. Apa yang saya katakan adalah bahwa Mesir mesti menuju demokrasi. Sekarang sudah ada beberapa ide dan diskusi tentang bagaimana Mesir menjadi negara yang lebih demokratis, baik sistem maupun rezimnya. Memang ada pihak yang ingin mencalonkan saya menjadi presiden. Tapi ini bukan isunya, bukan persoalannya. Hal yang penting justru bagaimana memajukan Mesir memasuki tahap baru, yakni demokrasi. Menjadi negara yang reformis. Fokus saya, bila saya bisa menjadi agent of change, tentu saya akan gembira. Saya akan melakukan apa pun yang saya bisa agar Mesir menjadi negara yang demokratis.
Mohammed Mostafa el-Baradei
Tempat dan tanggal lahir: Kairo, Mesir, 17 Juni 1942
Pendidikan: Doktor hukum internasional dari New York University School of Law
Jabatan Terakhir: Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (1997-2009)
Penghargaan: Hadiah Nobel Perdamaian 2005 (bersama lembaganya, IAEA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo