Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#FF9900>Aurora Morea dan Lydia Taty Almeida: </font><br />Jangan Berhenti Berjuang

27 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LYDIA TATY ALMEIDA, 80 TAHUN
Yang diculik: Anak, Alejandro Martin Almeida, saat itu 20 tahun, pada 17 Juni 1975

AURORA MOREA, 84 TAHUN
Yang diculik: Anak, Susana Elena Pedrini Bronzel, saat itu 28 tahun; menantu, Jose Daniel Bronzel; dan besan, Cecilia Podolsky Bronzel, pada 27 Juli 1976

Midnight, our sons and daughters
Were cut down and taken from us
Hear their heartbeat...
We hear their heartbeat
In the wind

LIRIK lagu Mothers of the Disappeared dari grup musik Irlandia, U2, itu ditujukan bagi Ibu-ibu Plaza de Mayo alias Asociación Madres de Plaza de Mayo asal Argentina. Madres adalah perhimpunan ibu yang anak-anaknya menjadi korban penculikan junta militer Argentina yang berkuasa pada 1976-1983.

Ibu-ibu itu, sejak 30 April 1977, setiap Kamis sore selama setengah jam, melakukan aksi menuntut pengadilan terhadap pelaku penculikan anak-anak mereka di Plaza de Mayo, di jantung Kota Buenos Aires, Argentina. Selendang putih bertuliskan nama anak mereka dan tanggal anak itu hilang diculik terikat di kepala. Di baju tersemat pin bergambar foto sang anak.

Sekarang mereka rata-rata sudah renta, namun semangat mengejar pelaku penculikan tak juga surut. ”Kami akan terus melanjutkan aksi sekalipun nanti tinggal seorang ibu dengan selendang putih ini,” kata Lydia Taty Almeida, 80 tahun, salah seorang penggerak Madres. Putranya, Alejandro Martin Almeida, diculik pada 17 Juni 1975 dan sampai sekarang tak jelas rimbanya.

Menurut laporan Komisi Nasional untuk Orang-orang yang Dihilangkan, sepanjang junta militer di bawah Presiden Jenderal Jorge Rafael Videla Redondo tujuh tahun berkuasa, lebih dari 9.000 orang lenyap diculik. Laporan serupa mengatakan, pada masa presiden sebelumnya, Isabel Peron, 600 orang hilang dan 458 orang dibunuh. Komisi ini dibentuk semasa kepemimpinan Presiden Raul Alfonsin, yang dipilih secara demokratis setelah junta militer berakhir. Menurut Madres, korban penculikan junta militer lebih dari 30 ribu orang.

Rafael Videla sudah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Namun Taty mengatakan kemajuan penanganan perkara penculikan dan pembunuhan massal tetap lambat. Hingga akhir Maret lalu, baru 44 kasus penculikan yang masuk persidangan, dan 526 kasus menunggu jadwal sidang. ”Kami akan terus mengingatkan,” ujar Aurora Morea, 84 tahun, anggota Madres yang lain.

Dua pekan lalu, Taty dan Aurora datang ke Jakarta atas undangan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Mereka bertemu dengan ibu-ibu yang anaknya juga menjadi korban penculikan dan sampai sekarang hilang tak tentu rimba.

Bertempat di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta, Selasa petang pekan lalu, Taty dan Aurora berbagi cerita dengan Angela Dewi, Sapto Pradityo, dan Titis Setyaningtyas dari Tempo, bagaimana mereka selama lebih dari 32 tahun berjuang mencari keadilan bagi anak-anak mereka.

Bagaimana anak Anda bisa diculik?

Lydia Taty Almeida: Anak saya, Alejandro Martin Almeida, berusia 20 tahun ketika diculik pada 17 Juni 1975. Dia mahasiswa tingkat pertama Fakultas Kedokteran Universitas Buenos Aires. Dia juga bekerja di salah satu institusi militer, Military Geographical Institute, dan aktif di serikat buruh. Sampai sekarang saya tidak tahu kabar beritanya.

Aurora Morea: Anak saya, Susana Elena Pedrini, bekerja sebagai arsitek. Umurnya ketika itu 28 tahun dan dia sedang hamil enam minggu. Dia diculik bersama suami dan mertuanya.

Sejak kapan penculikan ini terjadi?

Taty: Terorisme negara sudah berlangsung sebelum 24 Maret 1976, ketika terjadi kudeta paling berdarah di Argentina. Presiden Isabel Peron digusur tentara yang dipimpin Jenderal Jorge Rafael Videla Redondo. Penculikan dan pembunuhan sudah terjadi saat Presiden Isabel Peron berkuasa. Pemerintah berkolaborasi dengan sekutu-sekutunya, pengusaha kapitalis, gereja, juga sebagian koran.

Sebagian kasus penculikan ini terkait dengan perang pemerintah melawan kelompok pejuang antineoliberalisme, yaitu Montoneros (sayap militer kelompok Peronis) dan Ejército Revolucionario del Pueblo atau Tentara Rakyat Revolusioner (sayap militer kelompok Marxis).

Tentara dan intel pemerintah tak hanya menculik kelompok antipemerintah, tapi juga keluarganya. Termasuk ibu-ibu hamil. Mereka disekap dan disiksa di ratusan kamp. Bayi-bayi yang lahir di kamp penyiksaan kemudian mereka ambil dan diserahkan ke teman-teman mereka yang tidak mempunyai anak.

Apa yang Anda lakukan ketika tahu anak Anda hilang?

Aurora: Ketika saya tahu anak saya hilang, saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saya ke kantor polisi, saya ke markas tentara, bertanya soal anak saya. Tapi tidak ada yang mau memberikan jawaban. Saya juga mendatangi Buenos Herald, koran berbahasa Inggris di Buenos Aires, karena saya mendengar koran ini satu-satunya surat kabar yang bersedia mendengarkan soal penghilangan orang. Mereka menyarankan saya menemui pengacara Emilio Mirion untuk memperjuangkannya lewat jalur hukum. Belakangan, koran ini rupanya juga mendapat ancaman.

Bagaimana kemudian bisa bergabung dengan Madres?

Aurora: Suatu hari saya mendengar ada ibu-ibu yang sering berkumpul di Plaza de Mayo. Rupanya, mereka juga kehilangan anak-anak. Saya diajak bergabung. Mulanya hanya belasan ibu, namun pelan-pelan kelompok itu semakin besar setelah banyak yang tahu kami meminta keadilan bagi anak-anak kami.

Kami berkumpul setiap Kamis dari pukul 15.30 hingga 16.00, sampai sekarang. Ketika kami melakukan demonstrasi di Plaza de Mayo, banyak juga yang mulai bertanya-bertanya: siapa orang-orang ini? Sebagian menjawab, ”Mereka adalah orang-orang gila di Plaza de Mayo.” Tapi kami tak surut dan terus berjuang.

Taty: Pada umumnya ibu-ibu itu tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sebagian besar dari kami adalah ibu rumah tangga, sebagian kecil profesional, ada juga pensiunan. Tapi hampir semuanya tidak tahu apa yang terjadi dan apa yang mesti dilakukan. Ketika itu, kami masih terus bertanya kepada tentara atau polisi. Tapi mereka malah menjawab dengan nada mengejek, ”Mungkin saja anak-anak kalian sedang berjalan-jalan ke luar negeri dan bersenang-senang bersama perempuan cantik.”

Siapa yang punya ide mendirikan Madres ini?

Taty: Pendiri organisasi ini Azucena Villaflor de Vincenti. Bunga yang menjadi lambang kami juga bernama bunga Azucena. Dia yang mula-mula punya ide untuk melakukan aksi di Plaza de Mayo, persis di depan istana presiden, Casa Rosada, atau kadang disebut juga Casa de Gobierno. Idenya: supaya setiap saat bisa menyeberang dan berbicara langsung dengan Presiden Videla. Tapi kami tidak pernah bisa berbicara dengan Presiden Videla. Plaza itu begitu strategis karena banyak orang lalu-lalang. Untuk menyampaikan sesuatu, kami harus berteriak supaya didengar.

Tidak tersinggung disebut orang gila dari Plaza de Mayo?

Taty: Kami memang ”gila” karena sakit hati, tidak mampu, tidak berdaya, tidak sabar, karena yang paling berharga dari seorang ibu sudah diambil, yaitu anak. Semua kepedihan dan sakit itu kami transformasikan menjadi perjuangan damai. Banyak ibu yang sudah terlalu tua, memang, tak sanggup lagi bergabung. Tapi kami akan terus melanjutkan aksi sekalipun nanti tinggal seorang ibu dengan selendang putih ini. Sebab, inilah simbol perlawanan ibu dari 30 ribu orang yang diculik junta militer.

Tapi bukankah sebagian pelaku penculikan sudah dihukum, termasuk Presiden Rafael Videla?

Taty: Ya, tapi proses pengadilan terlalu lambat. Masih banyak kasus tetap gelap dan pelakunya belum dihukum. Soal Videla ini, suatu kali ada seorang wartawan bertanya kepada dia mengenai penculikan-penculikan tersebut. Tapi dia hanya menjawab enteng sambil mengangkat bahu, ”Ya, sudah tidak ada… tidak ada… mereka semua sudah hilang.”

Bukankah beberapa pendiri Madres juga diculik dan hilang?

Aurora: Ada tiga pendiri Madres yang diangkut tentara: Azucena, Maria Eugenia Ponce, dan Esther Ballestrino Carreaga. Kami saat itu sering berkumpul di Gereja Santa Cruz. Suatu hari kami mengumpulkan uang untuk aksi berikutnya. Mendadak seorang pemuda muncul dan bilang saudaranya hilang. Azucena waktu itu bilang, ”Berikan saja nama saudaramu, jangan kamu pergi sendiri ke tentara. Nanti kamu malah ditangkap. Biar saya yang pergi.”

Hari berikutnya, pemuda itu datang lagi, tapi rupanya dengan tujuan berbeda. Dia mulai mencatat, siapa pemimpin pertemuan. Dia datang dan memberikan ciuman. Ciuman itu rupanya penanda bagi penculik bahwa inilah pemimpin Madres. Kami menjuluki pemuda itu Judas.

Taty: Pada hari itu diambil dua orang, Esther dan Maria. Hari berikutnya, giliran Azucena yang diciduk.

Bagaimana nasib Azucena dan kedua temannya ini?

Aurora: Mereka dijatuhkan dari pesawat hidup-hidup, seperti banyak terjadi pada waktu itu. Sebelum dijatuhkan, mereka diinjeksi obat bius biar tenang. Kami menyebut pesawat itu penerbangan kematian, vuelos de la muerte. Mayatnya diseret ombak, ditemukan di pantai. Pada 1977, banyak sekali mayat yang dibuang dan ditemukan di pantai. Tapi pemerintah selalu bilang tidak ada apa-apa, tidak ada yang terjadi.

Azucena, Maria, dan Esther bisa ditemukan?

Aurora: Setelah 30 tahun, para ahli forensik meneliti lagi tulang-tulang korban penculikan. Ketahuan, itulah mayat ketiga ibu tersebut. Ini seperti mukjizat: mereka diangkut bersama dan ditemukan hampir bersama-sama pula.

Anak Anda sendiri apakah sudah ditemukan?

Aurora: Selama 23 tahun, saya sering pergi ke ahli forensik. Saya selalu bilang, ”Tolonglah cari anak saya.” Pada 1999, mayat anak saya dan suaminya ditemukan lewat uji DNA. Tapi saat itu saya masih terus mencari kabar nasib besan saya.

Belakangan, saya mendapat berita, besan saya diculik pada 20 Agustus 1979 dan dibawa ke Patima, kota kecil di pinggiran Buenos Aires. Dia dibunuh, diledakkan dengan dinamit, bersama puluhan korban lain. Itulah yang disebut pembantaian Patima. Dua tahun lalu, dua perwira militer yang bertanggung jawab atas pembantaian Patima sudah diadili dan dihukum.

Anak Anda ditemukan di kuburan massal atau terpisah?

Aurora: Di pemakaman massal. Setelah mereka dikuburkan, makam itu dibom untuk melenyapkan bukti pembantaian. Beruntung, bom yang dijatuhkan tidak mengenai mayat anak saya. Ketika bom itu dijatuhkan, penduduk setempat mengatakan banyak serpihan tubuh yang ditemukan. Seorang ahli forensik kemudian menyelundupkan potongan-potongan tubuh itu ke Prancis untuk diuji DNA, karena saat itu uji forensik bagi korban penculikan dilarang pemerintah.

Sekian tahun berhadapan dengan teror dan intimidasi, bagaimana Anda bisa bertahan?

Taty: Awalnya, tidak ada yang mau mendekati kami. Semua orang membuang wajah. Memang, selama perjuangan, tentu kami pernah sedih, patah semangat, tapi selalu bangkit kembali dan terus berjuang. Kami berjuang untuk meminta keadilan. Teror memang tak bisa dihitung. Berulang kali rumah kami dicoret-coret dengan kata-kata pemberontak, pembangkang. Suatu kali, ada angkutan umum melintas di Plaza de Mayo dan semua penumpangnya disuruh turun. Kami semua dipaksa naik dan diangkut ke kantor polisi. Tapi kami tidak takut. Apa yang harus ditakutkan seorang ibu yang anaknya sudah direnggut?

Kabarnya, Anda juga pernah dipenjarakan?

Aurora: Saat itu kami sedang melakukan aksi di Plaza de Mayo. Tiba-tiba polisi datang, memerintahkan kami duduk. Saya menolak. Dia bilang, kalau kami tidak mau duduk, harus pergi dari tempat itu. Saya balas, kalau saya pergi, semua orang juga harus pergi. Lalu dia pegang tangan saya, dan dengan mobil saya diangkut ke kantor polisi.

Saat itu saya sudah merasa bakal bertemu dengan anak saya. Ada seorang ibu yang melihat saya dibawa pergi. Ibu itu juga minta diangkut. Kami berdua dibawa ke kantor polisi dan diperiksa. Di sana kami malah ditertawai.

Anda sudah bertemu dengan ibu-ibu yang anaknya juga diculik di Indonesia. Ada kesan?

Aurora: Di Indonesia, kami menemukan cerita yang sama. Kami bertemu dengan ibu-ibu yang selalu melakukan aksi Kamisan di depan Monas. Kami menemukan semangat yang sama. Mereka memang lebih muda daripada kami. Kami dulu seusia mereka. Kami minta mereka jangan berhenti berjuang.

Kami mengingatkan mereka, kami sudah berhasil membawa sebagian pelaku penculikan ke pengadilan. Pemerintah kami memang pernah membuat undang-undang yang memberikan pengampunan bagi pelaku penculikan. Namun, pada 2003, Presiden Nestor Kirchner mendengarkan kami dan mencabut dua undang-undang yang menghalangi pengadilan pelaku penculikan itu, karena kami terus meminta dan meminta. Salah satu yang diadili adalah pelaku penculikan anak saya.

Angin politik rupanya menguntungkan perjuangan Madres?

Taty: Presiden kami yang baru, Cristina Fernandez de Kirchner, memang mendukung politik kemanusiaan yang dimulai presiden sebelumnya, suaminya sendiri. Saat ini juga sudah ada komisi untuk mempercepat pengadilan penculikan. Tapi kemajuannya tetap saja pelan sekali.

Sampai kapan Anda berjuang?

Taty: Kami berhak tahu mengapa anak kami diambil. Kami punya hak menguburkannya, menangisinya. Kami menuntut pengadilan karena anak kami dulu diculik dan dibunuh tanpa pengadilan.

Jika penculik anak Anda sudah dihukum, Anda bersedia memaafkan?

Taty: Sekalipun semua yang menculik anak kami dipenjarakan, kami tidak akan berekonsiliasi. Kami tidak akan pernah memaafkan. Mungkin yang bisa memaafkan mereka, ya, anak kami yang sudah mereka culik dan bunuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus