Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ERA Marwan bisa jadi layak disebut "era hujan SP3". Dilantik menjadi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus pada 14 April 2008, Marwan Effendy sudah merekomendasikan penghentian sejumlah kasus dugaan korupsi lewat mekanisme surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Kepada Tempo, yang mewawancarainya pekan lalu di kantornya, Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Marwan bahkan menyebut pihaknya kini tengah "menimang-nimang" sepuluh perkara lainnya apakah layak atau tidak memperoleh SP3. Inilah sejumlah kasus jumbo yang sudah lolos dari jerat hukum di era Marwan.
Kasus Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh
(BPPC)
Tersangka: Tommy Soeharto
PERKARA ini bermula dari dugaan penyalahgunaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia. BPPC mendapatkan kredit Rp 759 miliar untuk membeli cengkeh petani. Namun, kenyataannya, petani malah dibebani sejumlah pungutan, antara lain wajib menyetorkan sumbangan wajib khusus dan dana penyertaan modal. BPPC juga menyunat harga penjualan cengkeh yang mestinya diterima petani. Dengan praktek seperti itu, hingga 1998 BPPC mendapatkan untung sekitar Rp 1,3 triliun.
Kasus dugaan korupsi ini pernah dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW) ke Kejaksaan Agung pada 2000. Jaksa Agung Marzuki Darusman ketika itu membentuk tim gabungan pemberantasan korupsi yang dipimpin Andi Andoyo Sucipto. Hasil pengusutan tim ini menyebutkan, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto berpeluang menjadi tersangka. Tapi, sampai tim tersebut bubar pada 2002, status Tommy tetap sekadar "calon tersangka". Lima tahun kemudian kejaksaan baru menetapkan Tommy sebagai tersangka. Untuk pertama-dan juga terakhir-putra kesayangan mantan presiden Soeharto ini diperiksa kejaksaan pada 16 Agustus 2007.
Pada 7 November 2008, dengan alasan tidak ada kerugian negara, Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3 untuk perkara ini. Pengacara Tommy, O.C. Kaligis, menyebut putusan itu tepat. "Sejak awal kasus ini mengada-ada," ujar pengacara berambut perak itu.
Kasus Penjualan Tanker Pertamina
(Very Large Crude Carrier/VLCC)
Tersangka: Mantan Direktur Utama Pertamina Ariffi Nawawi, mantan Direktur Keuangan Pertamina Alfred H. Rohimone, dan mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi.
DUGAAN korupsi di balik penjualan dua tanker raksasa ini bermula dari putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada Maret 2005. Komisi menilai terjadi persekongkolan dalam penjualan tanker berbobot 260 ribu ton itu. Potensi kerugian negara, menurut Komisi, mencapai US$ 20-50 juta (Rp 200-500 miliar).
Kasus ini juga masuk ke DPR. Ketika itu DPR membentuk panitia khusus untuk menyelidiki penjualan tanker jumbo itu. Hasilnya sama seperti yang ditemukan Komisi Pengawas: terjadi pelanggaran hukum. DPR kemudian merekomendasi kejaksaan melakukan pengusutan karena ada indikasi korupsi. DPR juga membantu kejaksaan dengan puluhan data dan dokumen.
Dari kejaksaan, tersebutlah tiga nama sebagai tersangka. Mereka adalah mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi, mantan Direktur Utama Pertamina Ariffi Nawawi, dan mantan Direktur Keuangan Pertamina Alfred H. Rohimone.
Kendati diduga terdapat perbuatan melawan hukum dalam penjualan tanker itu, ada satu hal yang sulit ditemukan kejaksaan: kerugian negara. Belakangan, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan peninjauan kembali yang membatalkan putusan Komisi Pengawas, dan menyatakan tidak ada pelanggaran dalam penjualan kapal itu. Pada 10 Februari 2009, keluarlah SP3 untuk perkara ini. "Sejak awal kami yakin betul perkara ini dipaksakan," kata pengacara Laksamana, Petrus Selestinus.
Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo