Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=1 color=#FF9900>YAYASAN SUPERSEMAR</font><br />Berkelit Tak Punya Duit

Pengadilan tinggi menyatakan Yayasan Supersemar harus membayar ganti rugi ke pemerintah. Yayasan menolak dan menyatakan tak punya uang. Padahal mereka kini menggugat duitnya di Bank Danamon.

27 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPULUH lembar kertas itu tergeletak di meja kerja Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Edwin Pamimpin Situmorang. Itulah salinan putusan perkara pemerintah melawan Soeharto dan Yayasan Supersemar. ”Kami masih mempelajari putusan itu,” ujar Edwin kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Surat itu, kata Edwin, diterima kejaksaan dua hari sebelumnya.

Dalam berkas putusan itu, majelis hakim pengadilan tinggi menguatkan putusan pengadilan negeri yang menghukum Yayasan Supersemar mengganti kerugian negara US$ 105 juta dan Rp 46 miliar atau sekitar Rp 1,2 triliun.

Putusan itu diketuk pada 19 Februari lalu oleh majelis hakim yang diketuai Nafisah, dengan Murwati dan Celine Rumansi sebagai anggota. Dalam pertimbangannya, majelis menyetujui putusan yang dibuat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Maret 2008. ”Karena dalam pertimbangannya telah memuat dan menguraikan dengan tepat dan benar,” kata Nafisah dalam putusan itu.

Kasus ini bermula ketika pemerintah yang diwakili Kejaksaan Agung menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar US$ 420 juta dan Rp 185 miliar pada 9 Agustus 2007. Kejaksaan menggugat karena mereka diduga menyalahgunakan dana Yayasan dengan cara menyalurkannya ke sejumlah perusahaan, seperti PT Bank Duta, PT Sempati Air, PT Kiani Lestari, PT Kiani Sakti, dan kelompok usaha Kosgoro.

Pada 27 Maret 2008, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Wahjono menyatakan Soeharto tak bersalah karena telah mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada pengurus Yayasan. Kendati demikian, majelis mengakui penyaluran dana itu melanggar aturan karena uang yayasan tak boleh dibisniskan. Karena itu, majelis membebankan kesalahan itu kepada Yayasan Supersemar dengan membayar ganti rugi 25 persen dari tuntutan yang diajukan pemerintah, yakni US$ 105 juta dan Rp 46 miliar.

Namun, sejak putusan pengadilan negeri hingga pengadilan banding keluar, Yayasan tak sudi membayar ganti rugi tersebut. Selain alasan tak punya uang dan aset, Yayasan berkukuh tak bersalah. ”Kami akan mengajukan kasasi,” kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Yayasan Supersemar Herno Sasongko.

l l l

BENARKAH Yayasan Supersemar tak punya duit? Ternyata tidak juga. Delapan hari sebelum putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta keluar, yayasan ini menggugat Bank Danamon. Itu lantaran dana mereka yang disimpan di bank tersebut tak dapat dicairkan. ”Sejak 2008, Yayasan tak diberi bunga lagi,” kata Herno. Jumlah duit yang diminta kembali itu Rp 107 miliar plus bunga Rp 6,8 miliar.

Dalam berkas gugatan yang diperoleh Tempo, selain Yayasan Supersemar, dua yayasan yang didirikan Soeharto, yakni Yayasan Dana Abadi Karya Bakti (Dakab) dan Yayasan Dharmais, juga menggugat Bank Danamon. Total dana yang digugat Rp 124 miliar dengan bunga Rp 7,8 miliar.

Kisruh uang tiga yayasan ini bermula pada 5 Juni 1997. Ketika itu, mereka memberikan dana berupa pinjaman subordinasi kepada Bank Duta untuk mendukung permodalan. Yayasan Supersemar, Yayasan Dakab, dan Yayasan Dharmais masing-masing memberikan pinjaman Rp 107 miliar, Rp 5 miliar, dan Rp 12 miliar.

Pada Maret 2000, Badan Penyehatan Perbankan Nasional memutuskan penggabungan delapan bank yang dinilai sakit. Bank Duta masuk kategori bank sakit itu. Bersama tujuh bank lain, seperti Bank Rama, Bank Tamara, dan Bank Tiara Asia, bergabunglah mereka menjadi Bank Danamon.

Ditemui Tempo, kuasa hukum Bank Danamon, Savitri Kusumawardani, menolak berkomentar tentang gugatan Supersemar ini. ”Itu sudah masuk ke pokok perkara,” katanya.

Kendati diputus harus membayar kerugian negara dan tengah menggugat duitnya di Bank Danamon, Herno menyatakan, Yayasan tak punya uang dan aset berharga untuk membayar kerugian itu. Gedung Granadi yang pernah diminta kejaksaan untuk dijadikan sita jaminan, menurut Herno, bukanlah aset milik Yayasan. ”Kami sewa di sini, bayar,” katanya.

Mengenai gugatan yayasan tersebut kepada Bank Danamon, Herno meminta itu tidak dikaitkan dengan putusan pengadilan negeri. ”Itu kan lain persoalannya,” ujarnya. Menurut Herno, sejak Soeharto lengser, yayasan itu tak lagi menerima dana dari pemerintah seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tentang penyisihan lima persen dari laba bersih bank pemerintah. Dia mengatakan jumlah sumbangan pemerintah sejak 1976 sampai 1998 sebanyak Rp 309 miliar, sementara dana yang digunakan Yayasan untuk beasiswa sampai tahun 2008 lebih dari Rp 500 miliar. ”Artinya, uang dari pemerintah itu sudah habis,” katanya.

Yayasan, ujarnya, kini menggantungkan dana beasiswa dari dana abadi yang disimpan di sejumlah bank pemerintah. Jumlahnya sekitar Rp 670 miliar. ”Bunga dari dana itulah yang digunakan untuk beasiswa,” tuturnya.

Setiap bulan, Yayasan mendapat pemasukan dari bunga itu sekitar Rp 42 miliar. Dana tersebut disalurkan melalui beasiswa untuk 1,5 juta pelajar sekolah menengah dan perguruan tinggi. ”Jadi, tidak ada uangnya,” kata Herno.

Herno berkukuh tidak ada dasar hukum pemerintah menggugat Yayasan. Menurut Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan, kekayaan yayasan yang berasal dari negara menjadi milik yayasan.

Edwin Pamimpin mengatakan mungkin saja kejaksaan mengajukan gugatan intervensi atas gugatan Yayasan Supersemar terhadap Bank Danamon. Hanya, untuk ini, ada syaratnya. Putusan pemerintah melawan Soeharto dan Yayasan sudah berkekuatan hukum tetap. ”Persoalannya bukan ada atau tidak ada duit, tapi putusannya belum incraht,” katanya. Kejaksaan, menurut Edwin, kini sedang menyiapkan memori kasasi atas putusan pengadilan tinggi.

Pengacara Yayasan Supersemar, Otto Cornelis Kaligis, mengatakan kejaksaan tak bisa mengajukan gugatan intervensi atas gugatan Yayasan terhadap Bank Danamon. ”Apa dasarnya intervensi?” tanyanya. ”Ini lain perkara.”

Anggota badan pekerja Indonesia Corruption Watch, Febridiansyah, menyatakan untuk kasus ini kejaksaan mesti segera mengajukan gugatan intervensi. ”Mumpung gugatan Yayasan terhadap Bank Danamon itu masih tahap awal,” ujarnya. Ini, kata Febri, akan memudahkan pemerintah menagih kerugian negara.

Rini Kustiani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus