Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Amien Rais: ”Kans Saya Menjadi Presiden Lebih Besar”

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perhelatan akbar selama sebelas hari itu berakhir sudah. Di akhir acara itu, Amien Rais melakukan hal yang sama dengan tuan pesta di belahan bumi mana pun: menerima pujian dari tamu-tamu yang bahagia serta menelan umpatan dari undangan yang mendapat kecewa. Ketika mengetuk palu pada hari Minggu, 11 Agustus lalu, untuk menutup Sidang Tahunan MPR 2002, Amien Rais tak hanya mengakhiri sebuah rapat besar. Ia juga mencatatkan sebuah peristiwa yang paling bersejarah dalam perjalanan parlemen kita. Sidang yang ia pimpin itu menelurkan empat bagian amandemen UUD 1945. Antara lain, pemilihan presiden secara langsung dan keluarnya Fraksi TNI dan Polri dari panggung parlemen. Keputusan ini ditanggapi dengan pro dan kontra oleh berbagai kalangan. Karangan bunga mengalir ke kantor dan kediaman Amien Rais. Tapi pihak yang tidak puas menuding MPR tak serius membentuk Komisi Konstitusi untuk menyempurnakan amandemen. Lembaga itu bahkan disebut-sebut bisa menjadi ”superbody” baru. Koalisi Organisasi Non-Pemerintah untuk Konstitusi Baru, misalnya. Lembaga ini, yang keras mendesakkan undang-undang dasar baru dengan kontrak sosial baru, menilai Komisi Konstituasi akan dipermainkan oleh kepentingan partai politik di MPR karena dibentuk oleh Badan Pekerja Parlemen. Sampai-sampai, Bambang Widjajanto dari lembaga itu merobek rancangan Komisi Konstitusi di depan wartawan. Di pihak lain, ada TNI yang menolak amandemen. Maka, Amien Rais seolah berada di tengah pusaran dua kekuatan itu. ”Dan kami mengambil titik tengah,” katanya kepada TEMPO. Sebagai Ketua MPR, Amien memang orang yang paling bertanggung jawab atas sukses-tidaknya jalannya Sidang Tahunan MPR. Di tengah pertarungan keras di Senayan, Bekas Ketua Muhammadiyah kelahiran Solo, 26 April 1944, ini tak selalu bisa tampil tenang. Di hari terakhir sidang, ia terlihat kusut dengan rambut semrawut dan tangan yang kerap menggaruk-garuk kepala. Padahal Amien sudah punya cukup pengalaman. Sebelum ini, ia pernah memimpin empat kali sidang dalam suasana yang juga tak kalah mendidih: naik dan turunnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden serta tampilnya Megawati menggantikan Abdurrahman. Perdebatan di Senayan telah berakhir—setidaknya untuk sementara. Tapi kasak-kusuk tentang Amien belum berakhir. Sejumlah kalangan menilai Amien punya agenda pribadi melalui amandemen UUD. Pemilihan presiden langsung, salah satu materi undang-undang baru, misalnya, diduga bisa memudahkan Amien meraih kursi presiden pada 2004 nanti. Amien menjawab semua pertanyaan itu dalam sebuah wawancara khusus pekan lalu. Di kediamannya di kompleks perumahan pejabat tinggi Widya Chandra, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, doktor ilmu politik lulusan Universitas Chicago itu menerima wartawan TEMPO Adi Prasetya, Arif Zulkifli, dan Hermien Y. Kleden. Suaranya, yang meledak-ledak di kampus beberapa tahun silam, kini lebih tenang. Amien tidak memberikan pernyataan off the record sepanjang wawancara. Tapi tahun-tahun di pusaran kekuasaan tampaknya telah mengajari Ketua MPR ini untuk bersikap lebih taktis—termasuk dalam menjawab pertanyaan wartawan. Berikut ini petikannya. -------------------------------------------------------------------------------- Siapa saja yang melobi Anda selama sidang tahunan? Ada saja. Misalnya teman-teman dari Partai Persatuan Pembanguan, Partai Bulan Bintang, dan Partai Daulat Ummah. Dua kali mereka datang dan mengatakan: ”Pak Amien, kita realistis. Tidak mungkin kita mengusulkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta kalau dilakukan lewat voting. Jadi, tolonglah. Anda kan yang memegang palu. Silakan sahkan Pasal 29 itu. Secara elegan, kami tidak akan meneruskan itu. Tapi ambillah formulasi yang enak.” Betulkah Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto juga melobi Anda soal amandemen? Menjelang sidang, Pak Endriartono datang ke rumah saya. Dia menyatakan TNI akan mengambil sikap (menentang amandemen). Secara persuasif saya sampaikan, kalau mau mengambil sikap silakan. Tapi itu akan merusak citra TNI yang sudah baik karena bersedia tidak duduk lagi di DPR setelah 2004. Keesokan harinya dia membuat pernyataan pers yang mengejutkan: ada nada khawatir bahwa sidang MPR akan mengalami deadlock dan jika demikian TNI memilih kembali ke naskah asli UUD. Dalam tanya-jawab dengan wartawan, dia mengatakan dekrit dibenarkan jika terjadi kebuntuan. Pertemuan tersebut memang dijadwalkan atau terjadi tiba-tiba? Waktu itu Panglima TNI menelepon saya dan bilang ingin bertemu. Saya bilang, kalau mau ketemu, jangan di kantor karena banyak wartawan. Jadi, lebih aman di rumah dinas saya. Pertemuan berlangsung di siang hari di rumah ini, sekitar 40 menit. Suasana pembicaraan amat dialogis. Ketika itu Anda sudah menangkap sinyal bahwa Panglima TNI akan mengeluarkan pernyataan mengejutkan? Saya yakin Panglima TNI berusaha bersikap profesional. Tapi dia tidak hidup di sebuah ruangan yang vakum. Di dalam tubuh TNI masih ada purnawirawan yang berpretensi seperti perwira aktif sehingga masih memberikan instruksi kepada juniornya. Mereka memperlakukan UUD 1945 sebagai warisan dari pendiri bangsa sehingga dianggap sebagai harga mati yang tak bisa diubah. Karena itu Fraksi TNI-Polri berkeras dan kabarnya sempat membuat panas fraksi-fraksi lain? Fraksi TNI-Polri mendapat pesan dari pemimpin mereka agar amandemen I-IV berlaku sampai 2004 saja. Ini mengguncang fraksi lain. Mereka berpikir, kalau undang-undang dasar hasil amandemen hanya berlaku sampai 2004, sementara Komisi Konstitusi belum selesai bekerja, akan terjadi kevakuman konstitusi. Ini berbahaya karena konsekuensimya kita harus kembali ke UUD 1945. Apa yang terjadi ketika konsep dari Fraksi TNI-Polri itu ditayangkan di layar dalam ruang rapat? Semua fraksi minta sidang diskors. Betulkah bahwa, dalam forum lobi, anggota MPR asal Partai Amanat Nasional, A.M. Fatwa, sempat menggebrak meja? Ya. Dan hampir semua anggota yang hadir di forum itu terkaget-kaget dan marah. Bagaimana detail ceritanya? Begini. Ketika itu kami berkumpul di ruang kaca (ruang lobi pemimpin MPR). Fraksi Partai Persatuan melalui Ali Hardi Kiai Demak dan Aisyah Amini mengatakan, kalau begini kita memasuki ketidakpastian yang mengkhawatirkan. Salah seorang Ketua MPR, Husnie Thamrin, bahkan kehilangan kendali. Dia bilang, ”Umur saya sudah 65 tahun dan sudah sering masuk penjara. Kalau memang itu maunya TNI, ya mari kita atasi bersama.” Apa reaksi Ketua Fraksi TNI? Dia (Mayor Jenderal Slamet Supriyadi) hanya diam. Bagaimana Anda menyikapi suasana tegang itu? Melihat kemacetan itu, saya akhirnya emosional juga. Ketika itu sudah dini hari. Saya khawatir sidang akan mengalami deadlock. Dalam keadaan emosional itu, apa yang Anda katakan? Saya bilang, kalau begitu caranya, lebih baik kita voting. Ketika saya hendak keluar, di pintu sejumlah teman Fraksi TNI mengatakan, ”Pak Amien, lebih baik memang voting biar semua cepat selesai.” Menjelang voting, sidang saya skors 30 menit. Dalam waktu setengah jam, TNI mengambil sikap bijaksana: menarik usulan mereka. Apa komentar Anda soal sikap Fraksi TNI? Saya berusaha sejeli mungkin melihat permainan semua fraksi di Senayan. Saya bisa memahami sikap TNI karena mereka mendapat tekanan yang luar biasa dari para purnawirawan. Dari mana Anda tahu? Teman-teman TNI sendiri yang mengatakannya kepada saya. Ini semakin jelas karena, beberapa bulan sebelum sidang MPR, Forum Komunikasi Purnawirawan TNI datang ke Senayan. Ada 40 tokoh, di antaranya adalah Syaiful Sulun dan Try Sutrisno. Waktu itu Pak Try meminta pemimpin MPR berbuat maksimal agar amandemen IV UUD 1945 dihentikan dan amandemen I, II, dan III dibekukan. Siapa tokoh purnawirawan yang emoh amandemen itu? Saya kira juru bicara mereka adalah Syaiful Sulun dan Try Sutrisno. Salah satu hasil dari Sidang Tahunan MPR adalah mendepak TNI-Polri dari parlemen. Bagaimana lobi ke arah itu? Hampir tanpa lobi. Ketika itu ada voting terbuka mengenai kedudukan Fraksi Utusan Golongan dalam MPR. Ketika saya tawarkan ke sidang, semua anggota MPR termasuk Fraksi TNI berdiri dan mengatakan Fraksi Utusan Golongan sebaiknya dihapus. Padahal Anda tahu, fraksi itu adalah satu-satunya pintu masuk bagi TNI-Polri ke parlemen. Di luar peran purnawirawan, kabarnya keluarga besar Universitas Gadjah Mada juga berada di balik pernyataan Panglima TNI soal dekrit? Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Ichlasul Amal, bersama orang UGM lainnya memang punya kerja sama dengan stasiun televisi tertentu untuk membuat evaluasi terhadap amandemen. Belakangan, Rektor UGM Sofyan Effendi menelepon saya dan mempertanyakan, kok bisa-bisanya ada seminar yang mengatasnamakan UGM tapi dia sebagai rektor tidak tahu. Apalagi isinya mengatakan amandemen IV UUD 1945 harus dihentikan. Saya juga enggak tahu kok bisa begitu: apakah ini pesanan dari pihak tertentu atau orang-orang UGM saja yang ingin nampang? Banyak orang khawatir, Komisi Konstitusi tidak akan independen dari kepentingan partai politik. Apa tanggapan Anda? MPR adalah lembaga yang paling majemuk di Indonesia. Saya percaya, jika MPR yang majemuk itu mengambil keputusan, hasilnya akan berada di titik tengah dan tak memihak golongan tertentu. Sebelum sidang tahunan, parlemen tampak tak tertarik dengan Komisi Konstitusi. Mengapa belakangan berubah? Pembicaraan tentang Komisi Konstitusi tak pernah dibahas dalam Badan Pekerja MPR. Padahal, menurut aturan MPR, seluruh materi sidang tahunan harus dipersiapkan oleh Badan Pekerja MPR selama satu tahun. Tapi, ketika masyarakat membicarakan komisi itu dengan minat yang besar, kami memasukkannya secara dadakan. Menurut Anda, apakah DPR pasca-amandemen akan lebih berkuasa dibanding eksekutif? Dalam beberapa hal memang betul. Ini terjadi sejak reformasi. Kawan-kawan saya yang menjadi menteri sampai mengeluh, kapan saya bisa bekerja dengan tekun kalau selalu dipanggil DPR. Sebagian anggota DPR bahkan bersikap arogan. Kasus terbaru: anggota DPR dari Golkar melabrak TVRI karena menyiarkan dokumentasi sidang Akbar Tandjung saat Mega berpidato soal penegakan hukum. Dalam soal itu, saya ikut kena getahnya. MPR dituding menyiapkan kliping video Akbar tersebut. Tapi mana mungkin MPR mengaturnya. Memang, Sekjen MPR merasa kebobolan, tapi itu kan sebenarnya urusan TVRI. Kita menghargai kebebasan pers. Anda disebut-sebut punya agenda pribadi dengan amandemen UUD 1945. Sebagai pribadi, Anda lebih punya kans menjadi presiden ketimbang melalui partai kecil seperti PAN. Secara resmi, saya memang pernah dicalonkan partai saya menjadi presiden. Tapi, begitu PAN cuma mendapat 7 persen suara, saya harus tahu diri. Terus terang, dengan pemilihan langsung, kans saya lebih besar. Contoh mikronya ketika saya terpilih sebagai Ketua MPR. PAN hanya punya suara sedikit, tapi saya dapat meraih hampir 60 persen suara untuk mendapat posisi itu. Di atas kertas, siapa lawan Anda yang mesti diperhitungkan? Saya melihat Megawati masih menjadi kompetitor paling berat. Pengikut fanatik Megawati masih banyak. Kalau jalan-jalan ke Jawa Tengah, Anda akan banyak mendapati spanduk yang bunyinya pejah-gesang nderek Bu Mega (hidup-mati ikut Mega). Jadi, mereka enggak repot apakah rapor Megawati biru atau merah. Selain itu, di dunia ini masyarakat cenderung memilih orang yang memegang kekuasaan. Belum lagi kalau kita bicara soal faktor Bung Karno dan sumber dana PDIP yang besar, sementara partai saya tongpes (kantong kempes). Lalu, apa yang akan Anda andalkan? Saya akan mengandalkan track record saya. Saya akan meyakinkan bahwa, kalau saya dipercaya memimpin negeri ini, saya akan berbuat sebaik dan semaksimal mungkin. Mengandalkan track record? Anda yakin citra Anda baik? Kedekatan dengan salah satu bekas Menteri Keuangan, misalnya, di mata beberapa kalangan dianggap sebagai salah satu cacat Anda. Bekas Menteri Keuangan Fuad Bawazier? Begini. Sebagian media massa melihat hubungan saya dengan Fuad secara tidak proporsional. Fuad itu hanya satu di antara banyak kawan saya. Saya tidak bisa didikte oleh siapa pun. Yang bisa mendikte saya hanya ibu saya, dan beliau sudah jadi almarhumah. Saya memang dekat dengan dia karena sama-sama aktif di UGM, HMI, dan pernah umrah dan haji bersama. Betulkah Fuad banyak menyokong Anda secara finansial? Itu informasi yang kami dengar. Informasi itu keliru besar. Silakan buktikan apakah dia pernah ngasih uang ke PAN. Dulu memang pernah. Dia memberi bantuan untuk iklan di televisi sebelum Pemilu 1999. Setelah itu, enggak pernah lagi. Jadi, apa persiapan finansial Anda untuk ”tarung bebas” pada 2004? Kan kampanye segala macam perlu biaya. Partai saya itu partai kecil dan tidak punya banyak dana. Kalau saya jual semua tanah dan harta saya, paling cuma ada satu miliar. Terus terang saya belum tahu. Dari kalangan pengusaha, siapa saja yang menyokong Anda? Silakan buktikan kalau Anda bisa. Memang banyak pengusaha yang ingin ketemu saya. Saya katakan, silakan datang ke rumah. Jangan di hotel. Nyatanya mereka enggak berani datang. Saya enggak mau melakukan deal yang enggak jelas lalu saya dituduh memanfaatkan jabatan. Kembali ke soal Pemilu 2004. Tampaknya ada calon pasangan serasi: Golkar-PDIP. Ada yang berpendapat, untuk mendukung keserasian ini Golkar bersedia mendukung Megawati. Sebaliknya, PDIP akan menyelamatkan Akbar Tandjung dalam kasus Bulog. Apa pendapat Anda? Saya memang melihat kemungkinan itu. Tapi itu hanya sementara. Ada yang mengatakan kepada saya bahwa kasus Akbar Tandjung tak akan diselesaikan karena itu menguntungkan Golkar. Sebab, kalau Golkar menaikkan Fahmi Idris atau Jusuf Kalla (sebagai ketua), Golkar akan untung. Cuma, di Golkar sendiri banyak yang berpikiran bahwa Golkar adalah Akbar Tandjung. Anda mendengar sesuatu tentang kasus pengadilan Akbar? Saya mendengar bahwa Akbar akan kena vonis dua tahun, tapi tidak langsung masuk lembaga pemasyarakatan, ditunda sampai menunggu kasasi. Kalau itu yang terjadi, tentu akan mengulangi kasus Gubernur BI Syahril Sabirin. Masih tentang Golkar. Ada kekhawatiran bahwa pemilihan presiden langsung hanya akan menguntungkan Golkar, yang kini menguasai 60 persen posisi bupati dan gubernur di Indonesia. Anda setuju dengan pendapat ini? Saya melihat politik adalah sesuatu yang cair. Ia bergerak ke sana kemari secara dinamis. Selama tiga dasawarsa, Golkar selalu memperoleh suara di atas 65 persen. Tapi pada Pemilu 1999 partai itu hanya mendapat 34 persen. Anda pernah dijuluki king maker: mengusung Gus Dur menjadi presiden, lalu Megawati. Bagaimana Anda melakukannya? Saya tidak pernah mengeset diri saya seperti itu. Itu proses alami yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Luar biasa bahwa seorang Abdurrahman Wahid, yang datang dari NU dan secara naluriah hanya ingin memimpin Departemen Agama, tiba-tiba menjadi presiden. Nah, ketika Hamzah Haz mau jadi wakil presiden (dalam pemerintahan Megawati), sebenarnya kompetitornya ada beberapa orang, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono dan beberapa tokoh Islam. Lalu saya bentak: ”Sudahlah, jangan macam-macam. Biar Pak Hamzah Haz saja.” Lalu, jadilah Hamzah Haz wakil presiden. Anda pernah dikenal sebagai salah satu pengkritik paling keras terhadap korupsi Orde Baru. Bagaimana Anda melihat korupsi dalam pemerintahan Megawati? Sekarang, saya memang mengurangi kevokalan saya. Tapi saya bersuara keras terhadap isu tertentu, seperti rencana penjualan semen Gresik dan penyelesaian konglomerat nakal. Masa, debitor kakap yang sudah jelas-jelas gagal menyelesaikan kewajibannya malah mau diberi waktu 10 tahun lagi. Waktu itu Kepala Badan Intelijen, Hendropriyono, malam-malam diutus Megawati datang ke rumah saya. Pak Hendro menanyakan, ”Pak Amien, apa enggak bisa diajak kompromi?” Apa jawaban Anda? Saya jawab tegas: tidak! Ini masalah prinsip. Dalam banyak hal, saya melihat Megawati punya itikad baik. Tapi dia punya gaya kepemimpinan yang lambat. Namun, gaya kepemimpinan Mega juga memberikan hal-hal positif. Salah satunya, tidak banyak demo seperti pada zaman Gus Dur. Ini kemajuan juga, ha-ha-ha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus