TAK terasa, genap setahun Muhammad Abdul Rachman menjadi Jaksa Agung Kamis pekan lalu, jaksa karir ini sudah setahun menduduki posisi puncak di Gedung Bundar di bilangan Blok M, Jakarta Selatan. Sebagai pemegang tongkat penyidik korupsi, ia menjadi pusat perhatian sekaligus titik tumpuan bagi upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Namun, bagaimana prestasinya semasa awal setahun bertugas ini? Beberapa waktu lalu, di depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Rachman menuturkan hasil kerja para jaksa. Misalnya, usaha Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang menurut Rachman sedang menuntaskan pekerjaan rumah untuk menangani 51 kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Memang, segerobak kasus BLBI yang merugikan keuangan negara sampai sebesar Rp 130,6 triliun telah menghancurkan fundamen ekonomi negeri ini. Tak aneh bila masyarakat amat menaruh harapan pada armada jaksa di bawah Rachman untuk secepatnya mengembalikan kerugian negara sekaligus menyeret para penggarong uang rakyat itu ke pengadilan.
Kenyataannya, harapan itu masih jauh panggang dari api. Sudah begitu, sebagaimana dikatakan pengamat hukum dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Achmad Ali, kasus BLBI yang sampai ke pengadilan pun cuma dituntut dengan hukuman rendah oleh jaksa. Contohnya, tuntutan setahun penjara terhadap mantan Presiden Komisaris Bank Modern, Samadikun Hartono. Buntutnya, hakim pun memvonis bebas Samadikun.
Padahal, di masa awal jabatannya, Rachman berjanji akan menuntaskan berbagai kasus korupsi. Toh, hingga kini sedikitnya tiga tersangka utama korupsi dalam kasus BLBI, yakni Sjamsul Nursalim, Hendra Rahardja, dan Bambang Sutrisno, masih asyik di luar negeri dan tak kunjung tersentuh hukum Indonesia.
Kritik keras juga diutarakan mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan, Suripto, yang pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pernah menyetorkan segepok dokumen pemeriksaan para tersangka korupsi ke Gedung Bundar. Proses penyidikan beberapa kasus korupsi di Kejaksaan Agung, "Kalau tidak berhenti, ya, jalan di tempat," kata Suripto, kesal.
Pendapat senada pun datang dari Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Teten Masduki. "Kejaksaan Agung telah menjadi salah satu titik lemah dalam pemerintahan Presiden Megawati," ujarnya. Teten lantas menunjuk lemahnya penyidikan kasus korupsi dana nonbujeter Bulog senilai Rp 40 miliar dengan tersangka Akbar Tandjung sebagai contoh paling mencolok tentang buruknya kinerja kalangan jaksa.
Menurut Teten, mestinya jaksa melacak lebih detail siapa saja pelaku korupsi dana nonbujeter Bulog. Namun, yang terjadi, para penyidik seperti "mengikuti skenario Mahakam yang dikembangkan oleh Akbar Tandjung". Akibatnya, seolah-olah terjadi aliran dana ke Yayasan Raudatul Jannah untuk pengadaan sembilan bahan pokok. Padahal dana itu diduga lari ke kas Golkar.
Bukan cuma tiga pengamat di atas yang mengaku merasa kecewa dengan kinerja Kejaksaan Agung. Tilik saja hasil jajak pendapat TEMPO terhadap responden dari kalangan praktisi, aktivis lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi di bidang hukum. Ternyata, sebanyak 302 responden memberi nilai merah bagi rapor Rachman selama setahun menjadi Jaksa Agung.
Hampir 70 persen responden percaya, Rachman tidak berhasil dalam mengemban tugas sebagai Jaksa Agung. Indikator utamanya tak lain adalah tak adanya kemajuan berarti dalam pengusutan berbagai kasus korupsi.
Selain kasus korupsi, responden juga melihat upaya pengusutan kasus mantan presiden Soeharto seperti berjalan di tempat. Kor kecewa juga terdengar kencang dari mereka ketika menyoroti tekad Jaksa Agung dan jajarannya dalam mengusut kasus hak asasi manusia.
Besarnya tumpukan kekecewaan tersebut membuat separuh lebih dari mereka tak ragu lagi meminta Presiden Megawati agar mencopot Rachman dan mengangkat Jaksa Agung baru.
Bagi sebagian besar responden, faktor paling penting dari seorang Jaksa Agung adalah keberanian dan integritas. Kalau tidak, proses penuntasan kasus-kasus korupsi tetap saja bagai gerak maju-mundur undur-undur. Benar pula argumentasi Achmad Ali bahwa seorang Jaksa Agung yang baik tak cukup bermodalkan keberanian belaka. "Namun juga cerdas dan jujur," ujarnya.
Selain itu, ada faktor penting juga yang menentukan berhasil-tidaknya pemberantasan korupsi. Faktor ini tak lain adalah kesungguhan politik dari pemerintahan Presiden Megawati. Tentu kesungguhan dimaksud tak sekadar jargon politik, tapi mesti terwujud dengan berbagai aksi hukum konkret.
Widjajanto, Ardi Bramantyo, Eduardus Karel Dewanto (TNR)
Setelah setahun menjadi Jaksa Agung, menurut Anda, berhasilkah M.A. Rachman? |
Ya | 30,79% |
Tidak | 69,21% |
|
Jika ya, mengapa Anda berkata demikian? *) |
Banyak kasus korupsi yang bisa diusut dan dilimpahkan ke pengadilan | 72,04% |
Kasus-kasus korupsi BLBI juga sudah dilimpahkan ke pengadilan | 38,71% |
Kasus HAM Timor Timur sudah dilimpahakn ke pengadilan | 38,71% |
Cara kerja dan profesionalisme jaksa makin baik | 51,61% |
Suap dan mafia perkara di kejaksaaan berkurang | 24,73% |
Kasus Tommy sudah ada vonis hukumannya | 9,68% |
* Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban |
|
Jika tidak, apa alasan Anda? *) |
Tak ada kemajuan berarti dalam pengusutan kasus-kasus korupsi besar | 73,21% |
Beberapa tersangka utama kasus korupsi BLBI masih di luar negeri dan tidak bisa diusut di Indonesia | 57,89% |
Penyelesaian berbagai kasus HAM masih jauh dari harapan | 51,67% |
Kasus mantan presiden Soeharto masih tetap buntu | 43,06% |
Suap dan mafia perkara masih marak di kejaksaan | 53,11% |
Hukuman untuk kasus Tommy tidak adil | 6,22% |
* Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban |
|
Melihat performa Jaksa Agung M.A. Rachman selama setahun ini, apakah ia perlu diganti? |
Ya | 50,99% |
Tidak | 49,01% |
|
Kasus apa yang perlu menjadi prioritas pertama Kejaksaan Agung? *) |
Korupsi besar masa Orde Baru oleh keluarga serta pejabat dan pengusaha kroni Soeharto | 40% |
Pelanggaran BLBI | 57,08% |
Kasus HAM | 23,24% |
Mantan presiden Soeharto | 20,29% |
Tindak pidana umum | 17,58% |
* Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban |
|
Faktor apa yang paling menentukan kinerja Jaksa Agung? *) |
Kesungguhan politik pemerintahan Megawati dalam memberantas korupsi | 60,26% |
Kemauan unsur Golkar dan TNI-Polri | 19,21% |
Dukungan DPR | 16,56% |
Peraturan dan dana | 7,95% |
Budaya suap dan kondisi korupsi yang sudah kronis | 47,68% |
Mutu dan profesionalisme kalangan jaksa | 56,62% |
Keberanian dan integritas Jaksa Agung | 79,80% |
Dukungan dari masyarakat | 0,99% |
* Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban |
|
Metodologi jajak pendapat :
Jajak pendapat ini dilaksanakan pada 7-13 Agustus 2002. Jumlah responden 302, terdiri dari para praktisi di bidang hukum seperti pengacara, aktivis lembaga swadaya masyarakat di bidang hukum, dan akademisi (dosen mata kuliah hukum) yang berkedudukan di Jakarta. Penelitian ini menggunakan purposive sampling methods, sehingga besarnya margin of error tidak dapat ditentukan. Wawancara terhadap responden dilakukan dengan cara tatap muka dan lewat telepon.
Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini