Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pentas itu terjadi pekan lalu. Di hadapan ratusan anggota dewan yang memenuhi ruang Rapat Paripurna DPR di Gedung Nusantara V, Senayan, Jakarta, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Baharuddin Lopa, membacakan naskah 16 halaman. Mewakili Presiden Abdurrahman Wahid yang duduk dengan mata terpejam di atas panggung, ia menyampaikan jawaban memorandum dengan suara lantang. Peristiwa itu membuka kembali ingatan orang pada dua hal yang menyeret Abdurrahman ke panggung sidang paripurna itu: skandal Bulog dan sumbangan Sultan Brunei.
Dua skandal itu menyangkut uang. Dari segi jumlah, uang yang dipersoalkan dalam kasus Brunei "cuma" Rp 14 miliar—lebih kecil daripada penyalahgunaan dana Bulog yang mencapai Rp 35 miliar. Tapi kasus ini menjadi unik karena uang yang dipersoalkan adalah derma dari keluarga Kesultanan Brunei sebesar US$ 2 juta (setara dengan Rp 14 miliar, dengan kurs Rp 7.000, ketika dana itu ditransfer pada 1999). Nama Presiden Abdurrahman muncul dalam kasus ini karena dialah yang menganjurkan agar Haji Masnuh yang menangani bantuan itu. Abdurrahman memang sudah lama mengenal pengusaha dan juga bendahara Nahdlatul Ulama tersebut.
Sosok penting lain di balik dana dari Brunei itu adalah Ario Wowor, seorang pengusaha sepatu yang sudah lama bersabahat dengan keluarga Kerajaan Brunei. Putra Mahkota Kerajaan Brunei, Pangeran AlMuhtadee Bilah, adalah salah satu kenalan dekatnya. Pertalian mereka terjalin saat Ario belajar di London pada akhir 1980-an. Jauh sebelum itu, Ario telah membuka hubungan bisnis dengan beberapa anggota keluarga kerajaan. Hubungan baik ini, antara lain, melahirkan dana bantuan di atas. "Pihak keluarga istana memberikan dana ini untuk tujuan kemanusiaan di Indonesia. Bukan untuk negara atau Presiden," ujarnya kepada TEMPO.
Ario Wowor pula yang kemudian menjadi penghubung antara Masnuh dan keluarga Kerajaan Brunei. Tapi bantuan itu langsung ditransfer ke rekening Haji Masnuh di BNI 1946. Jadi, yang memegang kunci rahasia kasus Brunei, menurut Ario, adalah Masnuh. "Ia yang tahu secara detail penggunaan uang itu," ujarnya kepada TEMPO.
Lahir di Poso, Sulawesi Utara, 46 tahun silam, Ario Wowor tumbuh di lingkungan keluarga kelas menengah. Ketika masa remaja tiba, ia datang ke Jakarta untuk menimba ilmu. Setelah menyelesaikan studi teknik elektro di Universitas Trisakti dan lulus pada 1982, ia tertarik untuk terjun ke dunia usaha. Sempat mencoba beberapa bidang, akhirnya Ario serius menekuni industri sepatu dan memiliki ribuan karyawan.
Sejak beberapa bulan lalu, kesibukannya terusik gara-gara derma dari Sultan Brunei itu menjadi persoalan politik. Ia dikejar-kejar wartawan, dipanggil Tim Pansus Bulog, sampai-sampai diminta muncul di televisi untuk dialog interaktif. Tak sedikit pula yang memintanya menjadi "pemandu" untuk mendapatkan dana dari Sultan Brunei Darussalam. "Saya terima semua itu sebagai konsekuensi," ujarnya.
Dalam jawaban Presiden di DPR, nama Ario Wowor disebut hingga belasan kali. Tak mengherankan bila Kamis sore pekan lalu, ia perlu menggelar konferensi pers. Penjelasan Presiden, katanya, seharusnya menjadi momentum yang pas untuk menyelesaikan semua kekisruhan politik, termasuk pro dan kontra mengenai kasus Brunei.
Seusai jumpa pers, ia menerima wartawan TEMPO Darmawan Sepriyossa dan Hermien Y. Kleden serta fotografer Bernard Chaniago untuk sebuah wawancara khusus. Perbincangan berlangsung di sebuah kamar yang nyaman di lantai sepuluh Hotel Hilton, Jakarta, tempat ia melakukan pembicaraan bisnis dengan beberapa relasinya. Berikut petikannya.
Untuk apa Anda melakukan konferensi pers sehari setelah jawaban Presiden terhadap memorandum I dibacakan?
Saya berharap kita segera dapat menghentikan pro dan kontra soal zakat dari keluarga Sultan Brunei. Terus terang, ini sangat memalukan. Mengapa? Ada orang yang berzakat dengan ikhlas. Pesan dari Brunei cuma satu. Agar uang itu diberikan kepada mereka yang berhak: kaum duafa. Dan kita, sebagai orang yang mendapat zakat, menjadikan sumbangan itu—atau apa pun istilahnya—sebagai bahan untuk saling menggugat.
Mengapa Anda meminta zakat dari Brunei?
Ini soal sederhana saja dan bukan pertama kali saya lakukan. Sebagai orang muslim, saya ingin bersedekah. Tapi saya juga bisa menyambungkan sedekah dari orang lain yang mampu. Saya kenal keluarga istana di Brunei sudah lama, baik karena pertemanan pribadi maupun bisnis. Saya tahu, keluarga istana punya kebiasaan bersedekah setiap Lebaran.
Anda langsung meminta derma itu ke istana?
Begini. Ada hal yang harus diluruskan. Awal semua ini adalah percakapan saya dengan teman-teman bisnis di Brunei pada Oktober 1999. Mereka bertanya terus-menerus tentang keadaan Indonesia yang ekonominya ambruk dilanda krisis. Saya bilang, makanya bantu, dong. Karena kunci krisis ini cuma satu: ekonomi. Ini omongan santai saja di antara sesama teman. Ternyata percakapan itu ada hasilnya.
Kapan Anda tahu?
Kira-kira bulan Desember 1999, saya mendapat telepon dari Brunei. Seorang teman saya, Mr. Pehin, menelepon. Dia salah satu staf di istana. Ia mengabari bahwa ada lampu hijau. "Ario, datanglah ke Brunei, bercakaplah dengan kami di sini." Jadi, saya ke sana.
Apakah uang itu langsung diserahkan?
Tidak. Dalam pertemuan tersebut mereka menyebut angka sumbangan itu: US$ 2 juta. Mereka bertanya, dana itu nanti untuk siapa. Saya katakan, mungkin akan saya berikan ke LSM, tapi saya tak punya LSM. Jadi, saya katakan saja, saya akan datang lagi bersama orang-orang LSM dan mereka bisa langsung memberikannya.
Setelah itu, apakah Anda langsung mengontak Presiden Abdurrahman untuk menyerahkan dana itu?
Hampir sebulan kemudian, saya sudah agak lupa. Suatu saat, saya kebetulan hadir dalam open house di Istana Negara dalam rangka Lebaran. Di situ saya teringat, mengapa saya tidak bertanya saja kepada Gus Dur. Selain kiai, beliau juga Presiden. Pasti, dong, punya jaringan. Saya pikir, saya tak salah memilih orang untuk minta petunjuk. Maka, saya katakan kepada Presiden, "Ini ada zakat yang mau diberikan ke sini. Mereka mempercayai saya untuk menyalurkannya. Apakah Gus tahu kepada siapa dana ini mesti disalurkan? Lantas beliau menyebut nama Haji Masnuh untuk mengurus hal itu.
Jangan-jangan Anda mengharapkan fasilitas dari Presiden?
Silakan dicek, saya tak pernah minta sesuatu pun kepada Presiden. Kebetulan saya berbisnis sepatu, tak ada hubungan dengan pemerintah. Saya memang tak menginginkan apa-apa, saya ikhlas melakukan ini, sesuatu yang saya yakin banyak juga dilakukan orang lain, bahkan nilainya lebih besar dari uang yang saya peroleh.
Anda menemui Haji Masnuh setelah itu?
Ya, satu malam setelah pertemuan itu, saya dan Haji Masnuh berangkat ke Brunei. Kami ke istana untuk bersilaturahmi dengan keluarga Sultan Hassanal Bolkiah. Saya mengenalkan Haji Masnuh dengan Mr. Pehin. Saya cuma mengenalkan, setelah itu keduanya berunding sendiri. Pehin mengatakan, mereka akan memberikan uang kontan saja. Kami berikan rekening Haji Masnuh di BNI 46. Pehin berpesan agar dana itu diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat. Itu saja.
Kapan uang itu masuk ke rekening Haji Masnuh?
Seminggu kemudian, Haji Masnuh menelepon bahwa dana itu sudah masuk. Jumlahnya US$ 2 juta. Dikonversi ke rupiah, menjadi Rp 14 miliar. Tiga hari kemudian saya melapor ke Gus Dur bahwa uang sudah masuk. Tampaknya Haji Masnuh juga sudah melapor. Beliau memerintahkan ke Haji Masnuh bahwa dana itu paling perlu disalurkan ke Aceh dulu. Saat itu saya bilang, pekerjaan saya sudah selesai. Tugas saya hanya menjembatani pemberi dan penyalur zakat. Sampai detik ini saya tidak pernah bertanya uang itu ke mana. Itu amanah.
Bukankah Anda ikut bertanggung jawab terhadap penggunaan uang itu?
Karena itu, saya minta Haji Masnuh harus transparan dalam soal zakat dari Brunei ini, kendati ini zakat pribadi keluarga Kerajaan Brunei.
Apakah itu uang pribadi Sultan?
Hingga saat ini saya tidak tahu apakah itu uang pribadi Sultan atau uang keluarga kerajaan. Kita hanya memberikan nomor rekening. Dan dana itu langsung ke Haji Masnuh. Nah, karena uang ini adalah derma dalam rangka Lebaran, ya, mestinya zakat.
Apakah penyerahan zakat itu disertai tanda bukti?
Tak ada sama sekali. Tak ada tanda tangan, perjanjian, atau permintaan apa pun. Saya gembira mereka memenuhi permintaan bantuan uang itu. Tapi, terus terang, saya tidak kaget karena ini bukan pertama kali saya menyalurkan sumbangan dari Brunei. Saya pun sama sekali tidak menduga bahwa urusan dana zakat ini berkembang sedemikian luas.
Dua juta dolar bukan uang kecil. Mengapa mereka begitu percaya kepada Anda?
Mungkin karena hubungan kami sudah baik. Di Brunei kita sulit mendapatkan kepercayaan kalau kita tidak pernah menunjukkan itikad baik. Alhamdulillah, sejak pertama kali membuka hubungan bisnis dengan mereka, saya tidak pernah berbuat curang atau mencemarkan nama baik keluarga istana.
Boleh tahu, seberapa besar bisnis Anda di sana?
Tidak besar. Ini bisnis proyek per proyek. Sejak 1983 saya telah ke sana, ketika Brunei baru merdeka. Saya punya beberapa usaha. Ada pameran produk Indonesia. Kami buka stand di sana. Saat itulah saya berkenalan dengan Pengiran Anak Tahiruddin. Ia saudara ipar Sultan sekaligus kepala rumah tangga. Kita berhubungan baik. Setelah itu saya sering ke Brunei. Saya dikenalkan juga dengan keluarga kerajaan yang lain. Ini membuat saya makin sering datang ke sana.
Benarkah Anda memegang sejumlah perusahaan milik Sultan Brunei di London dan Singapura--seperti yang diberitakan sejumlah media?
Tidak betul. Seperti yang sudah saya katakan, bisnis saya dengan keluarga kerajaan di Brunei hanyalah proyek per proyek dengan beberapa anggota keluarga. Saya tidak pernah punya hubungan bisnis langsung dengan Sultan pribadi--maupun Brunei Investment Agency, lembaga yang menangani semua usaha keluarga Kerajaan Brunei.
Seberapa dekat Anda dengan keluarga Kerajaan Brunei?
Saya memang dekat dengan keluarga kerajaan dan pernah dua tiga kali menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi Indonesia. Terlepas dari berita-berita minor tentang keluarga itu, saya melihat satu hal: mereka mudah tergerak untuk memberikan bantuan.
Bisa Anda beri contoh?
Tahun 1985 seorang putri Brunei datang ke Jakarta. Seperti biasa, mereka ke mana-mana selalu membawa uang kontan, tanpa pernah membawa kartu kredit dan semacamnya. Suatu ketika, saat mobil yang kami tumpangi berhenti di perempatan jalan, seorang pengemis menadahkan tangan ke pintu mobil. Putri itu meminta saya membuka kaca. Ia mendermakan Rp 10 ribu kepada sang pengemis—Anda tahu kan nilai Rp 10 ribu saat itu? Alhasil, puluhan pengemis mengerubuti mobil kami seperti semut.
Bagaimana hubungan Anda dengan keluarga kerajaan itu setelah pecahnya kasus Brunei ini?
Tetap baik. Mereka tahu, apa yang mereka amanatkan telah saya lakukan dengan baik. Hanya, memang, ini membawa satu kekecewaan bagi yang memberikan. Mereka dengan tulus ikhlas memberikan, tapi di sini digunjingkan, dijadikan skandal, bahkan masuk ke memorandum. Tetapi sampai sekarang saya lihat mereka besar hati dan tidak pernah sekali pun mempertanyakan uang itu telah digunakan untuk apa saja.
Anda sendiri, apakah pernah mempertanyakan penggunaan uang itu kepada Haji Masnuh?
Saat kasus ini menjadi pergunjingan publik, saya datangi Haji Masnuh di Jalan Irian. Saya bilang, "Ji, tolong, saya ingin tahu juga, ke mana saja dana itu." "Oh, ada, Pak Ario." Ia menunjuk tumpukan map—mungkin tanda bukti. Lalu ia perlihatkan di komputer. Saya lihat memang kebanyakan dana itu disalurkan buat Aceh. Lalu ke Sulawesi, Ambon, Irian juga. Data di komputer itu menunjukkan dana itu telah terpakai sekitar Rp 8 miliar—pada sekitar akhir 2000. (Haji Masnuh menolak menjawab ketika TEMPO mengonfirmasi sisa uang ini.)
Anda minta dia membuat laporan untuk Brunei saat itu?
Saya tak minta laporan. Saya hanya menganjurkan kepada Haji Masnuh agar ia membuat perincian dan mengumumkannya secara terbuka. Saya katakan kepada Haji Masnuh, "Uang ini sudah jadi wacana publik. Anda ini kan sobatnya Gus Dur, apalagi bendahara NU. Tanpa perincian yang transparan, orang-orang bisa berpikir, jangan-jangan uangnya masuk ke NU." Padahal, dari pembukuan itu tak satu pun yang masuk NU.
Apakah Haji Masnuh sudah melaksanakan saran Anda?
Saya tak tahu apakah ia sudah melakukannya atau belum.
Pernahkah hal itu Anda diskusikan dengan dia?
Pernah. Ada dua kali, kira-kira sebulan lalu saya ngomong juga. Tapi Haji Masnuh mengatakan, datanya sedang dikumpulkan. Saya malah mengusulkan agar memakai akuntan publik. Dia bilang, "Kan itu masuk rekening pribadi saya?" Saya bilang lagi, rekening pribadi pun bisa kita telusuri pemakaiannya. Dengan demikian, tidak akan timbul fitnah. Terutama juga, ini kan menjadi tanggung jawab moral pada yang memberi kita.
Anda percaya dana itu dipakai secara benar?
Sejujurnya, saya belum bisa menjawab pertanyaan Anda karena sampai sekarang saya belum melihat laporan resmi tentang dana itu. Saya lihat orang mengaitkan dana itu dengan Gus Dur. Kita tahu kemampuan Gus Dur dalam melihat (kendala mata). Beliau juga tentunya hanya mendengar laporan untuk ini, ini, dan ini. Jadi, yang penting Haji Masnuh sendiri harus berani mengungkap. (Menjawab konfirmasi TEMPO, Haji Masnuh membantah belum pernah mempertanggungjawabkan uang tersebut. Ia justru menuding Ario Wowor yang tidak pernah datang melihat laporan. "Ada bukti dari A sampai Z," ujarnya berapi-api.)
Kecurigaan DPR terhadap Gus Dur, apakah beralasan?
Saya pikir beralasan. Karena ini kan ada satu dana besar yang tiba-tiba datang dari Brunei. Seorang Ario Wowor tiba-tiba ada di tengahnya. Siapa orang ini? Jadi, menurut saya, wajar dan pantas kalau DPR ingin mengungkap kasus ini. Tetapi, saya minta, tolong letakkan dengan proporsional.
Kami mendengar versi lain: distribusi uang itu sebagian oleh Anda, bukan semuanya di tangan Haji Masnuh.
Semua penggunaan dana oleh Haji Masnuh. Saya tidak pernah melihat rupa uang itu—yang masuk langsung ke rekeningnya—atau menyentuhnya. Sebenarnya banyak orang datang pada saya dan minta bantuan sumbangan. Kadang terpikir juga untuk mendistribusikan sebagian, berdasarkan sejumlah permintaan itu. Tetapi saya pikir saya kan sudah menyerahkannya kepada yang membagikannya, ya sudah.
Anda menyesal mengapa uang ini diserahkan ke Haji Masnuh?
Niat saya hanya menyalurkan pada orang-orang yang membutuhkan. Sesuai dengan saran Presiden, saya menghubungi Haji Masnuh. Tugas saya hanya sebagai jembatan. Jadi, tak ada penyesalan.
Mengapa Anda belum pernah memberikan kesaksian di DPR?
Kita ambil pikiran yang positif saja. Anggota Pansus DPR berniat sungguh-sungguh dalam hal ini tapi yang dipanggil banyak sekali. Ada puluhan, sehingga mungkin saja saya terlewatkan.
Lo, Pansus Bruneigate kan pernah memanggil Anda dua kali?
Mereka mengundang saya dua kali. Pertama, saya sedang di Sulawesi. Ketika Haji Masnuh dan yang lain telah dipanggil, saya belum. Suatu saat saya bertemu Meilono Suwondo (anggota Pansus Bruneigate dari Fraksi PDI-P) di Universitas Trisakti. Saya tanya mengapa saya belum dipanggil. Saya berikan nomor telepon genggam saya. Dua hari kemudian, sekretaris Pansus menelepon, padahal saat itu saya mau pulang ke Sulawesi. Saya berangkat Jumat, sementara pemberitahuan itu datang Kamis, lewat telepon. Saya katakan, tidak bisa. Akhirnya kita sepakat, sekembali dari Sulawesi, saya akan dipanggil. Itu sekitar dua minggu sebelum bulan Puasa 2000. Kemudian mereka meminta saya datang setelah Lebaran. Tapi batal juga karena saat itu saya sedang ke Eropa.
Bagaimana hubungan Anda dengan keluarga Kerajaan Brunei setelah bantuan itu menjadi persoalan?
Hubungan kami tetap baik. Pernah suatu saat saya telepon ke Brunei. Saya bilang sama Pehin, "Saya minta maaf atas segala hal yang terjadi di Indonesia."
Memangnya pihak kerajaan mengajukan protes?
Justru tidak. Waktu itu Pehin cuma bertanya, "Niat kita kan baik. Mengapa jadi begini?" Saat itu saya katakan, atas nama siapa pun—karena saya yang menerima dana itu—saya minta maaf. Saya juga bertanya, apakah ia perlu data-data pertanggungjawaban. Pehin menjawab, "Kita orang Islam. Tangan kanan memberi, tangan kiri tak perlu tahu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo