Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fahmi Idris memulai harinya dengan secangkir kopi hitam tanpa gula. Menghabiskan setengah isi cangkir dalam sekali teguk, dia berkata kepada Tempo, "Ini hari yang sibuk." Padahal itu hari terakhir 2013, ketika semua orang sudah siap bersenang-senang di akhir tahun. Pagi itu dia menghadiri peluncuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Bogor.
Per 1 Januari 2014, perusahaan yang dipimpinnya, PT Askes Indonesia, berubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Badan ini memfasilitasi bantuan kesehatan bagi masyarakat menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Tak mengherankan bila sejak beberapa pekan sebelumnya pria kelahiran Palembang, 1 Februari 1968, itu tak putus dirundung rapat.
Sejak awal Fahmi terlibat dalam pembentukan BPJS. Dia anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), yang membidani lahirnya BPJS. Bermula sebagai ahli DJSN pada 2008, dia kemudian menjadi Ketua Komisi Pengkajian dan Penelitian DJSN sejak 2012.
Pada hari yang padat itu, Fahmi menyempatkan diri menerima Heru Triyono dan fotografer Aditia Noviansyah dari Tempo. Pertemuan berlangsung di sebuah hotel di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat. Fahmi melahap setiap pertanyaan dengan bersemangat. Sesekali dia melirik secarik kertas di tangan bila pertanyaannya menyangkut angka. "Sambil ngobrol, boleh ya minum kopi," kata Fahmi sambil tersenyum.
Berapa jumlah peserta BPJS Kesehatan per hari ini (1 Januari 2014)?
Jumlahnya 112-113 juta jiwa. Ini penyatuan empat komponen: dari Jamkesmas (86,4 juta jiwa), Askes (16,4 juta jiwa), TNI dan Polri (2,5 juta jiwa), dan Jamsostek, yang mencapai 8,5 juta jiwa.
Kapan target seluruh masyarakat Indonesia akan terdaftar di BPJS Kesehatan?
Paling telat 1 Januari 2019. Tapi, kalau bisa lebih cepat, bagus sekali.
Anda optimistis target pada akhir 2014 sebanyak 121,6 juta orang menjadi peserta BPJS akan terpenuhi?
Jelas. Strategi kami adalah client awareness dari empat komponen tadi. Salah satu tugas utama kami adalah mereunifikasi empat komponen tersebut.
Dengan jumlah sebanyak itu, apakah tenaga kesehatan sudah siap dan cukup?
Sudah. Gambarannya begini. Semisal satu dokter menangani 3.000 orang. Artinya, 121 juta jiwa ini dibagi 3.000 orang, maka butuh 40 ribuan dokter. Kini jumlah dokter di Indonesia untuk layanan tingkat pertama (puskesmas dan klinik) itu ada 90 ribu dokter. Jumlah ini terus meningkat.
Jumlah puskesmas dan klinik juga sudah cukup?
Dalam catatan kami ada 9.217 unit puskesmas di seluruh Indonesia. Kemudian ada 5.000 klinik yang bekerja sama dengan kami. Artinya untuk tahun pertama ini no problem. Mungkin tetap ada problem, yakni soal distribusi.
Sudah berapa rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan?
Ada 1.707 rumah sakit. Kebanyakan swasta, sebanyak 917 unit. Tapi memang di rumah sakit swasta jumlah tempat tidurnya tidak sebanyak milik pemerintah.
Puskesmas di tingkat pertama bisa merujuk ke rumah sakit besar swasta?
Bisa, tapi tetap ada regionalisasi. Kalau Anda di dokter A, rujukannya akan ke rumah sakit B. Regionalisasi itu penting agar terbagi rata.
Justru itu jumlah sumber daya banyak tapi distribusinya tidak merata....
Itu memang persoalan. Tapi sistem ini akan berjalan bertahap. Tidak mungkin bisa 100 persen langsung jadi. Yang pasti, dokter sudah kami komunikasikan agar memakai pendekatan dokter keluarga.
Maksudnya?
Pelayanannya personal. Mereka (dokter) menjaga orang jangan sampai sakit. Sebab, semakin banyak orang sakit, pendapatan mereka semakin berkurang. Tapi, semakin banyak orang sehat, income mereka justru meningkat.
Bukankah semakin banyak pasien, semakin banyak uang?
Paradigmanya kami balik. Namanya konsep Prospective Payment System (PPS), dokter dibayar di muka, dikontrak di muka, kemudian diberi sejumlah uang untuk menjaga kesehatan 3.000 orang.
Berapa bayaran di muka untuk dokter?
Angka sementara kapitasi tertinggi Rp 10 ribu. Jadi, Rp 10 ribu dikalikan 3.000, menjadi Rp 30 juta per bulan. Permintaannya mudah, tolong jaga 3.000 orang jangan sampai sakit. Kalau mereka tidak sakit, ambil semua uangnya.
Kalau ada dari 3.000 orang itu yang sakit?
Biayanya dari uang tersebut.
Apa otoritas dokter terhadap uang itu?
Ya itu, untuk biaya mengobati.
Dokter yang membeli obat juga?
Iya, dokter kan memiliki jejaring apotek. Tapi dokter yang jelas kompetensinya. Dari 1.100 penyakit di dunia ini, dokter paling tidak harus bisa mengatasi 144 penyakit yang ada di pelayanan tingkat pertama (puskesmas dan klinik).
Apa tujuan insentif ekonomi untuk dokter ini?
Dokter akan berupaya menjaga orang agar tidak sakit. Ada dorongan karena insentif ekonomi di situ. Memang yang sakit pasti ada. Hukum alam biasanya 10 persen ada orang sakit dari 3.000 jiwa itu.
Lalu bagaimana pengawasan terhadap dokter? Bagaimana kalau demi menghemat uang, mereka terus merujuk pasiennya ke rumah sakit?
Kalau dokter terus merujuk, bisa kami lihat, pasien yang dia kirim itu dengan penyakit yang bisa disembuhkan atau tidak di tingkat primer. Kalau bisa, pasti ada apa-apa, dan si dokter mesti menanggung biaya rumah sakit itu.
Pengawasan itu bisa dilihat dari apa? Apakah ada semacam statistik tentang kinerja dokter?
Normalnya dokter tidak boleh merujuk lebih dari 10-15 persen pasiennya. Kalau lebih dari itu, pasti ada apa-apanya. Itu bisa di-review oleh BPJS. Kami punya tim yang mengecek.
Sesuai dengan prinsip fee for service, setiap kali pasien datang dibayar, dokter diuntungkan. Tapi dokter BPJS pasti akan kelimpungan dengan banyaknya pasien?
Justru itu motivasinya. Misalnya ada pasien diare datang berkali-kali dan tidak sembuh, dokter pasti berpikir mengenai apa penyebabnya. Ada apa di rumahnya, kok datang terus. Dari situ dokter akan tergerak, bahkan beberapa dokter pada akhirnya mengunjungi rumah pasien itu karena penasaran. Kemudian dia mendapati di rumah pasien diare itu jamban dan sumber air minumnya terlalu dekat.
Anda yakin semua dokter bisa seideal itu?
Harus bisa. Di negara yang menganut sistem seperti BPJS ini, dokter memang dituntut seperti itu. Mereka jadi terdorong. Di dunia kedokteran Indonesia, sejak 2004 sudah dilakukan reformasi sistem pendidikan. Jadi dokter primer itu pendekatannya dokter keluarga. Kalau sistem ini jalan, tentu kapitasinya harus semakin baik. Dokter kan sekolahnya lama. Apalagi biayanya tinggi, tapi tentunya ada ukuran profesional.
Info yang kami dengar, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta kapitasi Rp 15 ribu per orang, jadi pendapatan mereka dari BPJS Rp 45 juta per bulan?
Kapasitas fiskal kami belum begitu kuat. Awalnya Rp 30 juta dulu. Tapi tidak apa-apa, kami mulai dulu sistem ini. Saya ini mantan Ketua IDI, bisa melihat dari beberapa sisi. Saya amat mengerti.
Sudah berapa dokter yang dikontrak BPJS Kesehatan per 1 Januari 2014?
Kalau layanan primer yang terdaftar di BPJS sebanyak 15.480 dokter. Di dalamnya ada dokter gigi juga. Ini baru tahap awal. Akan terus bertambah.
Kalau BPJS Kesehatan berjalan, kemudian semua warga negara ditanggung, apakah tidak berpengaruh terhadap usaha praktek para dokter?
Ini yang belum sampai komunikasinya, dan itu juga yang jadi kegelisahan para dokter. Bahkan opininya berkembang macam-macam. Padahal sebenarnya BPJS itu penyatuan yang sudah ada. Selama ini peserta Jamkesmas sudah jalan, Askes juga. Artinya, dari sisi dokter yang melayani, tidak akan ada perubahan.
Tapi, kalau nanti jumlah dan waktu dokter terserap habis oleh sistem BPJS Kesehatan, apakah dokter masih bisa berpraktek?
Tetap bisa. Cuma, pertanyaannya apakah masih punya pasien. Itu kegelisahannya. Contohnya di Jerman. Dengan jaminan sosial seperti BPJS ini, masih tetap ada dokter privat yang menangani pasien segmen tertentu. Sekitar 8 persen.
Apakah masyarakat yang terdaftar di BPJS Kesehatan berhak memilih dokter sendiri?
Berhak. Itu clear. Kami tinggal membagi saja. Cuma, kami lihat, kalau sudah lebih dari 5.000 orang, itu kebanyakan. Kami arahkan ke dokter lain.
Anda bisa menjamin setiap pasien BPJS Kesehatan tidak ditolak rumah sakit?
Pertanyaan berat. Tapi ini bukan garansi personal dari saya. Ini adalah garansi regulasi. Undang-Undang Rumah Sakit jelas menyebutkan rumah sakit tidak boleh menolak pasien. Tuntut saja rumah sakitnya. Jadi, ada atau tidak BPJS, rumah sakit tetap tidak boleh menolak pasien.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), penyakit seperti jantung, kanker, dan cuci darah juga akan ditanggung BPJS Kesehatan. Bukankah mahal biaya pengobatannya?
Itu konsep umum asuransi. Gotong-royong kuncinya. Semakin banyak orang masuk ke sistem ini, iurannya tentu akan lebih rasional. Misalnya kita di ruangan ini ada 10 orang. Nah, 10 orang ini potensi untuk jatuh sakitnya sama. Bagaimana beban secara finansial ke-10 orang ini terbagi. Misalnya sakit butuh Rp 1 juta, kan cukup berat kalau sendiri. Kalau bersepuluh, bisa terbagi, jadi hanya Rp 100 ribu per orang.
Yang ditanggung kanker stadium berapa?
Stadium berapa pun. Tapi berdasarkan bukti medis yang jelas. Kalau kemo sudah 12 kali, akan dilihat dulu jika tidak pulih. Dalam kedokteran, tidak boleh membuat merana pasien. Misalnya, semakin lama diobati, pasien semakin menderita. Itu prinsip kedokteran. Mazhab etika tertinggi. Semakin diintervensi, semakin sengsara, membahayakan. Biasanya kemo ditanggung 12 serial saja. Karena sekali suntik kemo itu bisa membuat rambut rontok.
Bagaimana caranya bila rakyat ingin menjadi peserta mandiri BPJS Kesehatan?
Kami buka tiga pendekatan. Pertama, warga bisa mendaftar di kantor BPJS terdekat. Kedua, lewat website, dengan mengisi formulir berbasis web. Yang ketiga, Anda bisa datang ke tiga bank yang membuka outlet BPJS, yakni Bank BNI, Mandiri, dan BRI. Bawa KTP, kartu keluarga, dan pas foto 3 x 4 berwarna.
Apakah sistem informasinya sudah siap?
Sangat siap. Kami siapkan sistem prosedur ini dalam setahun belakangan. Makanya kami kurang tidur.
Kemudian pembagian kelasnya....
Terserah mau kelas berapa. Kalau masyarakat miskin iurannya Rp 19.225. Kelas III iurannya Rp 25.500, lalu kelas II Rp 42.500, dan kelas I Rp 59.500.
Jika peserta mandiri menunggak pembayaran, apakah tetap ditanggung kalau dia jatuh sakit?
Tetap dilayani, tapi dengan catatan di datanya. Ada dendanya, 0,01 persen. Itu untuk mengikat saja. Sama seperti bayar Internet, kalau belum bayar tidak bisa dipakai.
Sebenarnya peserta BPJS Kesehatan dibagi berapa kelompok?
Peserta dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, golongan penerima bantuan iuran (PBI), yang terdiri atas fakir miskin dan orang tak mampu. Lalu, kedua, golongan non-PBI. Masuk kelompok ini para pegawai negeri, anggota TNI, anggota Polri, karyawan perusahaan swasta, pekerja mandiri, bukan pekerja seperti veteran, penerima pensiun, dan lain-lain.
Bagaimana dengan pekerja asing?
Ditanggung BPJS juga. Bayar iuran dan sudah enam bulan tinggal di Indonesia, dan punya izin tinggal tetap sementara.
Untuk kelompok pekerja yang terdaftar di Jamsostek, siapa yang mendaftar, secara mandiri atau badan usahanya?
Badan usahanya. Menurut data, ada 8,5 juta pekerja. Seluruh cabang kami akan menghubungi badan usaha itu. Mereka bayar 4 persen dari gaji pokok plus tunjangan tetap.
Bagaimana kalau ada perusahaan yang tidak mau mendaftar atau ngemplang?
Anda bisa datang ke BPJS. Berdasarkan data Anda itu, kami akan memaksa, dengan menggunakan regulasi, peraturan pemerintah tentang pemberian sanksi yang memaksa perusahaan Anda membayar. Kini tidak ada lagi perusahaan yang menghindari kewajiban terhadap karyawannya. Kalau tidak, kena sanksi.
Perbedaan iuran antara penerima bantuan iuran dan pekerja atau buruh (4 persen dari gaji pokok) dianggap diskriminatif?
Sepanjang yang saya tahu, di Kementerian Kesehatan, dalam diskusi selalu ada unsur buruh yang diajak. Di DJSN juga ada perwakilan buruh. Bukan saya yang membuat regulasi itu, melainkan pemerintah.
Anggaran BPJS Kesehatan besar sekali. Bagaimana jaminan transparansinya?
Uang Rp 39 triliun, gabungan aset dari empat komponen tadi, akan terpisah dari uang badan usaha, tidak boleh campur. Uang ini murni digunakan untuk kepentingan peserta BPJS.
Kalau peserta banyak yang sehat dan banyak uang tidak terpakai?
Uang tetap di situ, dipakai untuk tahun berikutnya. Uang ini tidak boleh dikembangkan dalam instrumen investasi yang berbahaya, misalnya saham. Cukup deposito, obligasi, dan surat utang negara.
Siapa yang mengawasi?
Dewan Pengawas BPJS, yang terdiri atas empat unsur, yakni wakil pemerintah, pekerja, pengusaha, dan ahli. Mereka yang melihat apakah ada manajemen yang menyimpang. Ada pengawas program juga, DJSN. Kemudian Otoritas Jasa Keuangan. Tapi instrumen negara yang paling clear bertugas, ya, Badan Pemeriksa Keuangan. Kemudian satu lagi, kalau ada indikasi tidak benar, ya, laporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Ngapain repot, ketimbang berprasangka?
Kalau sudah ikut BPJS, apakah tetap diperbolehkan ikut asuransi kesehatan lain?
Itu hak warga. Itu diperbolehkan dalam undang-undang. Tapi bahwa kewajiban ikut sistem BPJS itu perlu, ya, karena apa? Kita perlu gotong-royong.
Bagaimana nasib proyek percontohan BPJS: Kartu Jakarta Sehat?
Datang pada 2 Januari 2014 ke Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan. Kami tanda tangan di situ KJS-nya. Kami sudah ada 3,3 juta peserta Kartu Jakarta Sehat yang baru yang akan dilanjutkan.
Tapi kabarnya rumah sakit mengeluh, karena KJS, mereka banyak yang keluar dari BPJS?
Tidak banyak. Memang ada yang keluar, saya tidak tahu angka pastinya....
Itu karena jumlah pasien membeludak....
Ini memang akan dibenahi. Orang ke rumah sakit seharusnya melewati dokter keluarga atau pelayanan kesehatan tingkat pertama dulu—puskesmas. Jadi orang yang datang ke rumah sakit karena memang membutuhkan pelayanan rumah sakit. Kami punya data, 45 persen pasien yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu bukan orang yang memerlukan perawatan rumah sakit. Masyarakat selalu memandang BPJS sebagai dewi penyembuh, Panasea, yang bisa menyelesaikan masalah kesehatan, padahal bukan.
Apakah dalam pelaksanaannya pemerintah tetap menyuntikkan dana untuk BPJS Kesehatan?
Undang-undang menyatakan pemerintah menyiapkan dana cadangan khusus. Nominalnya saya tidak tahu berapa. Kalau tiba-tiba terjadi bencana, misalnya tsunami, butuh biaya besar, ini jelas pemerintah harus turun.
Dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diperlukan daftar obat yang akan dipakai. Menurut sumber kami, hingga hari ini pengadaan obat JKN via e-katalog belum selesai. Padahal seharusnya pemenang tender diumumkan pada 24 Desember 2013. Benarkah rencana pengadaan obat lewat e-katalog berantakan, molor dari target seharusnya?
Bukan berantakan, hanya belum selesai. Tapi kami ada jalan keluar, tetap menggunakan DPHO (daftar dan plafon harga obat) yang punya Askes tahun 2013. Kami punya pengalaman 26 tahun mengelola daftar plafon obat.
Kabarnya sejak dulu pabrik farmasi kerap melobi pejabat Askes agar merek obatnya masuk daftar obat Askes (DPHO Askes).
Selidiki. Kalau ada, laporkan dan tangkap.
Fahmi Idris Pendidikan:
Karier:
Tempat dan Tanggal Lahir: Palembang, 1 Februari 1968
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo