Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Deddy Mizwar: Sineas Kita Terasing dari Masyarakat

26 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia seorang apoteker. Tapi dunia film kemudian menarik hatinya—bahkan melambungkan namanya tinggi-tinggi, menjadi aktor terbaik Festival Film Indonesia 1986.

Ya, ia Deddy Mizwar, 52 tahun. Susah melupakan perannya yang memukau 20 tahun silam dalam Naga Bonar—sebuah film komedi satire yang menangkap sisi lain Perang Kemerdekaan dan mendudukkan seorang tukang copet sebagai hero, tokoh sentral dalam film itu.

Kini Deddy tak muda lagi. Uban yang tumbuh di kepalanya semakin banyak. Ia juga mengenakan kacamata, alat yang sangat diperlukan buat membantu penglihatannya, meski ia masih memerankan Naga Bonar, seorang Naga Bonar tua, dalam film Naga Bonar jadi 2—film baru yang menangkap proses regenerasi dan perubahan nilai di negeri ini, yang diluncurkan pekan ini.

Deddy adalah orang film yang telah berjalan jauh, baik di dunia layar lebar, layar kaca, maupun panggung teater. Belakangan, ia membuat sinetron Lorong Waktu dan Kiamat Makin Dekat. Tapi ia memetik banyak pelajaran dari sosok besar macam Asrul Sani dan Nya Abbas Akup, sosok-sosok yang memiliki perspektif kuat dalam komedi.

”Kita harus kreatif dan sangat tahu untuk apa tujuan membuat film. Maka ada orang hebat seperti Teguh Karya, Asrul Sani, Chaerul Umam, Nya Abbas Akup, dan Ami Priyono. Mereka ini orang-orang luar biasa,” kata Deddy.

Rabu pekan lalu, kepada Herry Gunawan, Akmal Nasery Basral, dan Andi Dewanto dari Tempo, Deddy berbincang panjang tentang film, aneka fenomena sosial, pengalamannya, dan banyak lagi. Berikut ini petikan wawancaranya.

Pada zaman Asrul Sani dan Nya Abbas Akup, tayangan komedi tampil bergaya satire. Ada pesan moral dan kritik sosial. Tapi sekarang komedi hanya berhenti pada kisah lucu….

Tayangan komedi sekarang lebih banyak yang menghina manusia, seperti menghina fisik. Ini merendahkan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Bagi saya, komedi harus mencerdaskan manusia, tak hanya membuat tertawa.

Seharusnya?

Lewat tayangan komedi, kita harus membudayakan kritik dengan cara yang berbudaya. Tak harus lewat maki-maki. Komedi bisa menjadi media, sehingga yang dikritik tak tersinggung. Justru tersentuh, kemudian merenung sendiri.

Mengapa pergeseran nilai dalam film komedi itu bisa terjadi?

Ini terkait dengan pengetahuan terhadap permasalahan yang akrab dengan masyarakat. Sineas sekarang tidak memiliki itu. Nya Abbas Akup itu pengamat politik dan sosial. Dia kenal masyarakat dan dekat dengan masalahnya. Makanya ia bisa membuat komedi yang cerdas.

Apa sih yang dilakukan Nya Abbas Akup untuk menangkap gejala itu?

Film Nya Abbas Akup, Inem Pelayan Seksi, menyoroti perilaku orang kaya dan penggusuran. Film Boneka dari India menyoroti persoalan limbah. Film Bing Slamet Koboi Cengeng tentang persoalan musuh dalam selimut, uang semir, dan harga nyawa yang murah.

Nya Abbas Akup dan Asrul Sani orang yang mau belajar sendiri. Me-reka percaya individu bagian yang sangat dekat dengan masyarakat. Mereka sangat dekat dengan sekelilingnya. Ditambah dengan minat baca yang sangat tinggi terhadap berita yang tengah jadi pembicaraan, semua tercakup dalam karyanya.

Bagaimana dengan sineas sekarang?

Mereka terasing dari masyarakatnya. Kita harus memiliki kearifan dalam berekspresi. Kalau cuma ingin memaki-maki, sebaiknya jangan bikin film. Mendingan orasi saja. Budaya televisi kita secara tak sadar mendidik orang menjadi pemarah dan pemberang. Banyak adegan sinetron yang main tampar-tamparan.

Film atau sinetron apa? Tentu ada pengecualiannya.

Wah..., saya tidak berhak menilai. Untuk menilai, dibutuhkan pengamatan sangat panjang dan intensif. Lihat saja Lorong Waktu dan Kiamat Makin Dekat yang saya buat. Mereka tetap saja laku. Padahal, isinya, kita menertawai diri sendiri. Bahkan yang dulu, semacam film yang sangat ringan, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, Asrul Sani menelanjangi kita dengan cara menghibur.

Apa artinya itu?

Ia menembak sisi yang paling inti dari masyarakat, yaitu keluarga. Ini kan sangat dekat dengan kehidupan kita. Bagaimana memandang perbedaan di antara suami dan istri yang sering ribut. Sang suami yang wartawan memiliki dokumen yang diacak-acak sang istri. Berbagai konflik muncul ketika perbedaan karakter pasangan itu muncul. Apa yang terjadi di dalam rumah tangga itu sama dengan apa yang kita alami.

Mengapa produk sekarang berbeda?

Saat ini film menjadi komunitas yang berdiri dengan caranya sendiri dan siapa pun boleh (membuat). Makanya lebih banyak ekonomi berbicara di dalamnya. Ada kebebasan, tapi gagap, karena tak ada infrastruktur yang memadai.

Kalau hal itu membuat orientasi karya seni pertunjukan (film dan televisi) lebih mendekati komersial, apa salahnya?

Inilah booming industri di film, jadi lahan mencari kerja, bukan lahan berkarya dan beribadah. Ha-ha-ha…. Pertanyaannya, kenapa seseorang ingin menjadi aktor. Kalau jawabannya untuk mencari makan, selesai sudah. Kalau sekadar mau populer, telanjang bulat aja di Lapangan Banteng, pasti terkenal. Kalau mau cari duit, merampok atau mengemis saja. Kenapa mesti belajar-belajar film? Hanya cari kerja lantaran tak ada kerja di tempat lain. Pekerja film atau televisi yang punya wawasan tentang masyarakat bisa dihitung dengan jari.

Apa yang Anda bayangkan bakal menimpa masyarakat kita kelak?

Mereka memamah apa pun yang disodorkan. Televisi menjadi guru kedua, setelah sekolah, dan itu lebih melekat dari yang diucapkan guru, atau malah bisa jadi guru utama.

Bagaimana Anda melihat tayangan religi yang sensasional dengan cara menghidupkan mitos keagamaan, seperti hantu, dalam masyarakat?

Kalau dalam wilayah akidah, saya tak berani. Bicara kuntilanak dan yang gaib, saya belum tahu. Saya tidak berani. Maqom-nya (tingkatan dalam keimanan) beda. Yang seperti itu kan biasanya wali (sambil tersenyum). Jangan-jangan yang bikin setan seperti dalam film kita itu para wali. Ha-ha-ha…. Kan, para wali yang mungkin bisa seperti itu.

Dan ternyata masyarakat kita suka….

Ini disebabkan oleh ketidakmampuan mereka mencapai alam gaib. Menonton karena ketidakmengertian, walaupun setelah dilihat semakin menyesatkan. Memang, motif membuat film macam-macam. Barangkali uang menjadi tuhannya (pembuat acara). Peduli amat akidah orang lain rusak.

Apakah dalam film Naga Bonar Jadi 2 ada nuansa agamanya juga?

Yang diangkat persoalan moral cinta terhadap Tanah Air, cinta terhadap perbedaan. Kita sekarang kan lagi bunuh-bunuhan karena berbeda. Dulu, sewaktu Perang Kemerdekaan, jelas, musuhnya penjajah. Sekarang musuhnya berbagai kepentingan dari kelompok yang ada. Ini menjauhkan tujuan manusia hidup secara fitrahnya.

Siapa yang hendak Anda koreksi lewat film itu?

Saya mengajak becermin, jadi kita kritik diri sendiri, karena kita bagian dari kehidupan bangsa. Terkadang kita secara individu berbuat sesuatu yang tidak kita kehendaki.

Bagaimana sikap Anda memandang seni sebenarnya?

Sekarang kita memang masih mengesampingkan kesenian sebagai hal yang penting. Bagi saya, ini akan menarik mundur peradaban kita. Jadi, jangan salahkan kalau gue maki-maki kalian. Sebab, kita tak pernah diajari bagaimana menyadarkan dengan bahasa yang indah. Seni ini salah satunya.

Apa yang perlu kita lakukan?

Semacam pendidikan. Kita kan memasuki era audiovisual yang tidak bisa kita hambat. Mestinya ada persiapan untuk itu. Sekolah saja yang ada cuma IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Padahal banyak sekali kampus di Indonesia. Kenapa tidak dibangun?

Kalau tak ada pendidikan, wajar dong apresiasi masyarakat tak begitu tinggi. Sebut saja soal pornografi yang diributkan….

Perdebatan soal itu kan masalah kepentingan publik. Bagi saya, kalau karya seni sudah masuk ke ruang publik, ada aturannya. Ada norma agama, masyarakat, dan adat.

Jadi Anda setuju ada pengaturan karya seni untuk ruang publik?

Saya setuju. Namun jangan masuk ruang pribadi dan tidak diskriminatif terhadap perempuan.

Kalau begitu, lembaga seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) itulah yang kita perlukan….

Tapi kan (lembaga itu) tidak berfungsi. Malah berebut lahan dengan kantor Menteri Negara Komunikasi dan Informatika.

Dengan kondisi seperti itu, apakah diperlukan sebuah badan di stasiun televisi itu sendiri?

Ya, saya rasa perlu ada sebuah badan yang orang-orangnya diketahui. Jadi ada yang bertanggung jawab di dunia televisi. Pelaksanaannya bisa diawasi oleh KPI. Kalau ada masalah, ada arbitrase.

Siapa yang Anda maksud dengan arbitrase?

Lembaga Sensor Film (LSF) kan bisa jadi lembaga arbitrase. Tapi kita perlu mereposisi ulang fungsi dan wewenangnya. Sekarang sekitar 80 persen (produk tayangan) rata-rata tak lulus sensor. Sebab, tak mungkin, hanya 40 orang (anggota LSF) menilai ribuan jam tayang. Jadinya cuma dilihat bagian depan, tengah, dan akhirnya. Karena itu, serahkan saja ke masing-masing televisi.

Begitu pentingnya kesenian, sementara pajak tontonan yang selama ini dikutip pemerintah tidak dikembalikan bagi kepentingan pengembangan karya seni itu sendiri….

Jangankan untuk pembuat film, untuk peminat film saja, misalnya untuk bikin kegiatan apresiasi atau diskusi film, saya kira juga tidak pernah ada. Padahal, kalau semua provinsi sepakat untuk mengembalikan 0,5 persen saja dari pajak itu, termasuk dari film impor, ya, potensinya luar biasa besar.

Apa konsep realistis untuk mengelola potensi itu?

Harus ada semacam lembaga keuangan, semacam baitulmal, tapi untuk kepentingan film, yang dikelola secara transparan. Dana itu bisa digunakan untuk membuat workshop-workshop atau untuk bantuan finansial bagi pembuat film yang berbakat.
Haji Deddy Mizwar

Lahir: 5 Maret 1955

Pendidikan:

  • Sekolah Asisten Apoteker, Jakarta, 1974
  • Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (Sekarang Institut Kesenian Jakarta), 1982

Film (beberapa yang penting):

  • Bukan Impian Semusim (1982)
  • Arie Hanggara (1985, Deddy meraih Piala Citra pertama sebagai aktor pria terbaik pada FFI 1986)
  • Opera Jakarta (1985)
  • Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1986)
  • Naga Bonar (1987)
  • Kiamat Sudah Dekat (2003)
  • Naga Bonar Jadi 2 (2007, rilis 29 Maret 2007)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus