Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kursi Panasdi Lumbung Beras

Pengangkatan Mustafa Abubakar sebagai direktur utama baru Perum Bulog dinilai sejumlah kalangan bernuansa politis. Jangan sampai Bulog kembali menjadi sapi perah.

26 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSTAFA Abubakar seperti bintang film, Rabu pekan lalu, di aula Kantor Menteri Negara BUMN. Ia tak henti-hentinya disiram kilatan lampu blitz puluhan kamera wartawan. Bibirnya terus merekah menebar senyum. Acara pelantikan pemimpin baru Badan Urusan Logistik yang digelar hari itu benar-benar melambungkan Mustafa. Pria 58 tahun yang tak begitu dikenal dalam urusan pangan ini tiba-tiba saja menggantikan Widjanarko Puspoyo sebagai Direktur Utama Perum Bulog.

Sesungguhnya, proses pelantikan berlangsung sederhana, bahkan terkesan mendadak. Aula baru dibenahi tiga jam sebelum upacara pelantikan dimulai. Padahal, biasanya disiapkan dua hari sebelumnya. Anehnya lagi, enam pejabat baru yang dilantik sama sekali tak disertai istri sebagai pendamping laiknya pelantikan pejabat. Undangan yang hadir hanya segelintir, sekitar 30 orang dari lingkungan Bulog dan Kementerian BUMN.

Bagaimanapun, pelantikan itu telah membetot perhatian media massa dalam dan luar negeri. Hampir separuh aula dengan luas 100 meter persegi itu dipenuhi para wartawan dan fotografer. Di luar Kantor Menteri BUMN, publik memang tengah menyorot lumbung beras itu. Selain mengganti Dirut Bulog, pemerintah juga sekaligus mengganti lima anggota Dewan Pengawas Bulog.

Tentu maksudnya agar Bulog lebih sehat dan tetap berperan strategis menjaga ketahanan pangan nasional dengan guyuran dana dari negara. Tahun ini saja, pemerintah menganggarkan lebih dari Rp 6 triliun untuk program beras bagi orang miskin melalui Bulog. Banyaknya pemimpin Bulog yang menjadi pesakitan di penjara akibat kasus korupsi di perusahaan negara menambah strategis posisi BUMN ini.

Karena itu, siapa calon pemimpin Bulog menjadi sangat penting. Ia bukan saja seperti berjudi dengan nasib, tapi juga bisa menyeret pihak-pihak lain di luar Bulog. Presiden Abdurrahman Wahid, mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, dan putra mantan presiden Soeharto, Tommy Soeharto, adalah contoh orang luar yang pernah terseret-seret kasus Bulog. ”Posisi Dirut Bulog bagaikan kursi panas,” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla pekan lalu. ”Karena itu, diperlukan pemimpin yang jujur dan bersih.”

Menurut Kalla, Mustafa adalah orang yang tepat untuk memimpin badan logistik nasional tersebut. Mantan pelaksana tugas Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam itu merupakan sosok berpengalaman, berpengetahuan, dan mampu berkoordinasi dengan peme-rintah daerah, baik dalam pengadaan maupun penyaluran beras. Mustafa yang doktor lulusan Institut Pertanian Bogor juga pernah menjabat sebagai Inspektur Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan. ”Jadi, dia biasa mengawasi orang,” ujar Kalla yang juga sempat menjabat Kepala Bulog selama enam bulan.

Namun, munculnya nama Mustafa dan proses pemilihan yang begitu cepat telah mengejutkan sejumlah kalangan. Nama itu langsung muncul hanya dua hari setelah Widjanarko dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus impor sapi fiktif pada 14 Maret. Sehari setelah Widjanarko ditahan oleh Kejaksaan Agung pada 20 Maret, Mustafa langsung diangkat sebagai direktur utama yang baru.

”Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak menunjuk pejabat pelaksana tugas sementara saja seperti BUMN lain yang terkena kasus?” ujar Suswono, Wakil Ketua Komisi DPR yang membidangi soal pangan, pertanian, dan kehutanan. Dalam kasus PLN, misalnya. Saat Dirut PLN Eddie Widiono ditahan karena dugaan korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Gas di Borang, Palembang, tahun lalu, pemerintah tak langsung menggantinya. Pemerintah menunjuk Direktur Sumber Daya Manusia Djuanda Nugraha sebagai pejabat pelaksana tugas Dirut PLN.

Karena itu, penunjukan ini menimbulkan spekulasi bahwa di balik penggantian Dirut Bulog berbau politis. Apalagi, nama Mustafa diangkat-angkat oleh Kalla yang Ketua Umum Golkar bersama para petinggi partai tersebut lainnya. ”Sebenarnya, wajar-wajar saja itu dilakukan Golkar sebagai partai penguasa. Yang penting, Bulog jangan dimanfaatkan kepentingan penguasa,” ujar Suswono yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera ini.

Ekonom IPB Iman Sugema mengingatkan agar Bulog tak dipimpin orang titipan partai, sebab selama ini terbukti Bulog sering dijadikan sapi perah oleh segelintir kalangan yang berkuasa. ”Kali ini jangan main-main deh,” ujar Iman kepada Anton Aprianto dari Tempo.

Namun, berbagai spekulasi muatan politis di balik pergantian Dirut Bulog ditepis pemerintah. ”Tidak ada pertimbangan politis,” ujar Menteri Negara BUMN Sugiharto pekan lalu. Mustafa menambahkan, ”Saya ini pegawai negeri sipil netral, tidak berpolitik dan profesional.” Dia memang cukup lama berkarier di Departemen Dalam Negeri sebagai widyaiswara yang bertugas memberikan pelatihan kepada para PNS.

Untuk membuktikan keseriusan bahwa kasus Widjanarko yang merugikan negara Rp 11 miliar benar-benar kasus hukum, penggeledahan pun dilanjutkan oleh tim Kejaksaan Agung yang dibantu Komisi Pemberantas Korupsi. Pada Kamis pekan lalu, laiknya terhadap penjahat narkoba, aksi penggeledahan berlangsung secara serentak di tiga tempat, yakni kantor Bulog, kantor pribadi Widjanarko di kawasan Mega Kuningan, dan di rumah Widjanarko di Jalan Dharmawangsa, Jakarta Selatan.

Terlepas dari aksi penggeledahan, Sugiharto meyakinkan alasan mendasar di balik pergantian ini adalah peran Bulog yang strategis. Kasus dua direktur Bulog, yakni Widjanarko bersama Direktur Pengembangan dan Teknologi Informasi Tito Pranolo yang sedang menjalani proses hukum, telah berdampak terhadap kinerja Bulog secara keseluruhan. Padahal, pemerintah sedang menghadapi kondisi darurat akibat bencana alam, persoalan cadangan beras, serta kenaikan harga beras yang masih terjadi di sejumlah tempat.

Sesungguhnya, menurut Menteri, rencana reformasi Bulog sudah digulirkan sejak sembilan bulan lalu. Penggantian ini merupakan puncak dari reformasi itu. Apalagi, Widjanarko pernah menyampaikan bahwa dirinya legawa jika akan diganti. ”Jadi, sekarang, kebetulan saja waktunya bersamaan.”

Sumber Tempo di Kementerian BUMN membisikkan bahwa pengangkatan Mustafa ini hanya untuk sementara. Sebab, selain yang bersangkutan tak berpengalaman menangani urusan logistik, penggantian ini untuk menghadapi situasi darurat terkait ketahanan pangan. ”Ya, sambil mencari orang yang terbaik,” ujar pejabat itu. ”Namun, bila dalam perjalanannya, dia berhasil memimpin Bulog, ya bisa diteruskan.”

Namun, Sugiharto membantah pengangkatan ini hanya untuk masa transisi. Dia justru berharap agar sang nakhoda baru bisa membawa Bulog bukan saja sebagai pemain kunci ketahanan pangan. Bulog diharapkan bisa berkompetisi langsung dengan beberapa pemain global, seperti Cofco dari Cina dan Bernas dari Malaysia. ”Tugas Mustafa memang tidak ringan.”

Mustafa menyadari beratnya tugas yang disandangnya. Apalagi, banyak pemimpin Bulog terjerat kasus hukum. Atas dasar itu, dia berjanji akan melakukan pembersihan di dalam, mengevaluasi segala kekurangan, serta akan bertahan dari godaan. ”Tentu kami tidak mau tersandung pada batu yang sama.”

Heri Susanto, Oktamandjaya Wiguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus