Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH tiga hari Hartono tak mengerjakan tugas rutinnya. Padahal saban pagi ia tetap menuju Balai Desa Sukorejo, Mertoyudan, Magelang, tempatnya berkantor selama ini. "Saya jadi sukarelawan dadakan," kata Kepala Badan Permusyawaratan Desa itu.
Sejak Ahad pekan lalu, Hartono mengurusi 331 pengungsi Gunung Merapi dari berbagai desa di Kecamatan Sawangan, Dukun, dan Salam. Tak ada orang pemerintah ataupun relawan dari luar turun tangan. Hanya dia, perangkat desa, dan penduduk yang menanggung semua pengungsi.
Pada kedatangannya, para pengungsi itu bisa dibilang hanya membawa pakaian yang melekat di badan. Tak ada perbekalan apa pun. Ketika zona bahaya diperluas dari 15 kilometer menjadi 20 kilometer, Kamis dua pekan lalu, barak-barak pengungsian yang awalnya dianggap aman harus segera dikosongkan.
Evakuasi dilakukan bergegas. Jangankan bekal, tak sedikit pengungsi tercecer dari keluarga. Pengungsi di Balai Desa Sukorejo itu bahkan rata-rata telah pindah lokasi pengungsian dua atau tiga kali. Tak kuasa menolak mereka yang membutuhkan uluran tangan, warga Sukorejo langsung membentuk "kepanitiaan".
Hartono ditunjuk menjadi koordinator. Ia kelabakan. Selain dia belum terbiasa menangani bencana, bantuan dari pemerintah kabupaten sangat terbatas. Tikar, misalnya. Untuk ratusan pengungsi, pemerintah hanya mengirim sepuluh lembar tikar.
Belum lagi masalah konsumsi. Kadang pemerintah mengirim beberapa karung beras, sayuran, mi instan, dan air mineral. "Masak, orang disuruh makan nasi dan sayur saja," kata Hartono. Ia pun menghubungi sejumlah kenalan dan kerabat yang posisi ekonominya lumayan kuat. Juga menyambangi kepala-kepala dusun, meminta mereka mengumpulkan sumbangan dari penduduk—yang ternyata sigap membantu.
Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa, Feri Indrian, juga pontang-panting menyingsingkan lengan baju. Guru Sekolah Dasar Negeri Permitan 1, Mertoyudan, ini harus pandai-pandai membagi waktu. Siang setelah mengajar, dia kerap harus wira-wiri dari pos pengungsian ke Posko Penanggulangan Bencana Merapi di pendapa Kabupaten Magelang, sekitar 15 kilometer dari desanya, untuk mendapatkan barang kebutuhan pengungsi.
Tak jarang dia pulang dengan tangan hampa. Selain tak semua kebutuhan tersedia, proses pengurusannya lamban. "Harus atas persetujuan pejabat, baru bisa mengambil barang di gudang," katanya.
Pada saat ini, sebagian kebutuhan sudah terpenuhi. Bantuan tikar, misalnya, sudah tak diperlukan. Menulis pesan minta bantuan di situs Jalin Merapi (Jaringan Informasi Lingkar Merapi) juga beberapa kali berhasil. Jaringan ini menjadi mediator bagi pencari bantuan dan donatur.
Markas perbekalan amunisi TNI Angkatan Darat, yang letaknya tak jauh dari Balai Desa, merelakan truk-truknya dimanfaatkan. Setiap pagi dan sore, truk-truk itu mengangkut pengungsi untuk mandi dan mencuci ke sebuah sendang (mata air) di sudut desa, yang berjarak sekitar tiga kilometer.
Di Kabupaten Magelang tercatat sedikitnya 98 ribu pengungsi, yang tersebar di 226 barak. "Ini sudah di luar kemampuan," kata Kepala Koordinator Data Penanggulangan Bencana Merapi Kabupaten Magelang, Endra Wacana. Untung, masyarakat berhati lapang dan tak henti mengulurkan tangan.
Merapi telah menggugah rasa kemanusiaan masyarakat. Banyak relawan dadakan tersebar di Yogyakarta dan Jawa Tengah, yang tanpa pikir panjang langsung melibatkan diri menanggulangi suasana kritis. Bahkan meski mereka sendiri juga korban.
JAMI Rimiyati rela bertahan di desanya, Desa Jiwan, Kecamatan Karangnongko, Klaten, ketika hampir semua penduduk telah mengungsi. Suami dan anak-anaknya telah mengungsi ke Gedung Olahraga Gelar Sena di Kota Klaten.
Jami dan beberapa temannya bertahan untuk mengurusi 600-an pengungsi yang menghambur dari Desa Tlogowatu pada Jumat malam dua pekan lalu. "Saya iba melihat mereka, yang tidak didampingi perangkat desanya," kata Jami. Menurut Wardoyo, salah satu pengungsi, ia dan tetangganya lebih suka tetap di Jiwan dan tak mau mengungsi lebih jauh lagi.
Jiwan berjarak sekitar 20 kilometer dari puncak Merapi. "Dekat dengan rumah," kata Wardoyo. Setiap pagi, pengungsi bisa kembali ke kampungnya, yang hanya berjarak delapan kilometer dari puncak Merapi, untuk mengurus ternak mereka. Menurut Jami, sejak desanya menerima pengungsi, pemerintah hanya mengirim beras sekali. "Setelah itu, bantuan datang dari berbagai organisasi masyarakat.
Tentu bantuan tak datang dengan sendirinya. "Kami harus berkeliling ke beberapa organisasi kemasyarakatan," kata Jami, aktivis organisasi di bawah Nahdlatul Ulama. Sehari-hari para pengungsi makan nasi dan mi instan. "Terkadang ditambah telur kalau ada bantuan."
Pos bantuan juga berdiri di mana-mana, bahkan sampai di Jakarta. Di Yogyakarta, misalnya, ada pos bantuan komunitas Jape Methe dan Facebooker Yogyakarta yang dikoordinasi Adi Novi di Jalan Taman Siswa. Mereka mendirikan dapur umum.
Para relawan di sana mempersiapkan minimal seribu nasi bungkus setiap hari. Kamis pagi pekan lalu, misalnya, para relawan, baik muda-mudi, ibu-ibu, maupun bapak-bapak, terlihat sibuk mengiris cabai hijau. "Nasi bungkus ini kami kirimkan untuk makan sore," kata Adi.
Hingga Jumat pekan lalu, jumlah pengungsi di Jawa Tengah yang tercatat di Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencapai 243.487 orang, yang tersebar di 635 titik pengungsian. Di Yogyakarta tercatat sedikitnya 136.562 pengungsi, yang tersebar di 132 titik.
Bantuan untuk para pengungsi memang tak semuanya terpenuhi oleh pemerintah. Banyak tempat pengungsian yang hanya tersentuh sekali atau dua kali. Koordinasi juga terkesan kacau. Jaringan Informasi Lingkar Merapi banyak menjadi acuan untuk mengetahui peta pos pengungsi yang perlu bantuan.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Syamsul Maarif mengakui sampai saat ini kesulitan mendata pengungsi yang berada di tempat pengungsian mandiri. "Tidak semua pengungsian mandiri melapor, " kata Syamsul. Ia meminta para pengurus barak pengungsian mandiri yang tersebar di banyak titik di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah melapor agar bantuan bisa dikoordinasi sampai ke barak-barak.
Purwani Diyah Prabandari (Jakarta), Anang Zakaria (Magelang), Ahmad Rafiq (Klaten), Pito Agustin Rudiana dan Muh. Syaifullah (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo