Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Obat herbal sebatas untuk menjaga imun tubuh.
Obat herbal yang sudah terdaftar di BPOM aman.
Uji klinis terhadap obat herbal butuh proses panjang dan biaya besar.
Guru Besar Farmasi UGM, Zullies Ikawati:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Potensi Herbal Besar, tapi Uji Klinisnya Mahal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak pandemi Covid-19 muncul, masyarakat menggunakan beragam obat herbal sebagai penjaga kesehatan dan peningkat imunitas tubuh demi menangkal virus corona. Guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Zullies Ikawati, menilai hal itu baik-baik saja. “Karena penyakit ini dari virus, penjagaan sistem ketahanan tubuh itu penting,” kata dia saat berbincang dengan Dian Yuliastuti dari Tempo melalui panggilan aplikasi pada 16 Februari 2021.
Zullies kini sedang terlibat dalam penelitian obat herbal untuk memperkuat imunitas tersebut. “Penelitian kami tidak untuk sampai ke antivirus. Karena, untuk pembuktian, penelitian kan tidak gampang, butuh fasilitas laboratorium dengan tingkat keamanan yang tinggi,” ujarnya. Ia juga bercerita bahwa potensi obat herbal di Indonesia besar dan banyak sekali ragamnya, hingga kesehariannya selama masa pandemi.
Banyak yang menggunakan beragam obat herbal untuk menangkal virus, bolehkah?
Covid ini kan penyakit baru dan itu juga dipengaruhi oleh sistem imun setiap orang. Karena ini dari infeksi virus, terapi utamanya butuh antivirus. Namun hingga sekarang memang belum ada antivirus yang bisa digunakan dan direkomendasikan. Hal itu juga harus melalui izin dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) dengan emergency use authorization karena belum ada pilihan.
Awalnya juga banyak obat yang disebut bisa menangkal virus beredar, tapi dicabut...
Ya, misalnya chloroquine (obat malaria) sempat masuk, tapi sekarang tidak diperbolehkan lagi. Sebab, itu berdasarkan pengalaman yang ada (obat itu bisa digunakan). Tapi pengalaman kan tidak sistematis. Ketika diuji sistematis, ternyata tidak efektif.
Penelitian farmakologi di UGM seperti apa?
Kami lebih banyak ke arah herbal, suplemen untuk mendukung sistem imun. Penelitian kami tidak untuk sampai ke antivirus. Sebab, untuk pembuktian, penelitian kan tidak gampang, butuh fasilitas laboratorium dengan tingkat keamanan yang tinggi. Ada pula kerja sama UGM dengan industri farmasi dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) untuk obat herbal ini. Produk hasil kerja sama ini sudah dipakai untuk pendamping terapi bagi pasien Covid di Wisma Atlet.
Selain itu, ada penelitian internal di UGM dengan bahan komponen jeruk (citrus) sebagai imunomodulator. Ini baru uji praklinis, sudah berjalan setahun ini. Kami bekerja sama dengan industri kecil untuk mengembangkan obat tradisional atau suplemen. Akan dibikin dalam bentuk saset dan permen (jeli).
Siapa sasarannya?
Mungkin lebih ke pasien dengan gejala ringan-sedang, yang sifatnya sebagai pendamping terapi. Kalau yang berat, ada terapi yang lebih kompleks.
Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zullies Ikawati beraktivitas di laboratorium Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta, 19 Februari 2021. TEMPO/Yovita Amalia
Banyak yang pakai obat herbal untuk menjaga imun...
Sah-sah dan baik-baik saja untuk antisipasi. Karena penyakit ini dari virus, penjagaan sistem ketahanan tubuh itu penting. Hal itu bisa diperoleh dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang dan multivitamin. Vitamin diperoleh dari makanan. Tapi kalau dalam kondisi seperti saat ini, bisa ditambah dengan suplemen. Selain itu, protokol kesehatan dan olahraga harus tetap kenceng dijalankan. Tidak semata-mata mengandalkan herbal. Yang utama, pola hidup sehat. Yang sudah taat protokol kesehatan dan hidup sehat saja bisa kena.
Obat herbal seperti yang bisa diaplikasikan dalam keseharian?
Ya, kalau di Jawa, sudah biasa minum jamu. Itu bisa diteruskan untuk menjaga ketahanan tubuh, tapi enggak bisa secara spesifik, melainkan kesehatan secara umum. Ditambah dengan madu. Herbal ada yang sering diklaim, seperti mengkudu, daun meniran, sambiloto, dan temulawak, itu sah-sah saja dicoba. Selama itu aman, tak apa-apa. Kadang-kadang ada faktor sugesti, merasa lebih seger, lebih sehat, itu berpengaruh pada mind, meningkatkan imun juga.
Keamanannya seperti apa?
Kalau jamu yang sudah dikomersialkan oleh industri itu, asal sudah terdaftar di BPOM, itu insya Allah terjamin karena ada evaluasinya. Untuk jamu biasa, seperti cabe puyang, kunyit asam, dan jahe, itu berdasarkan pengalaman empiris. Selama ini tidak ada keluhan efek samping. Itu namanya keamanan dari pengalaman empiris. Ada juga jamu inovasi, seperti kulit manggis. Setelah diteliti, ada khasiatnya. Selama didaftarkan di BPOM, silakan dicoba. Artinya, dari segi keamanan telah diuji. Asal jangan mengkonsumsi yang aneh-aneh, yang enggak pernah didengar.
Pemakaiannya bagaimana?
Tidak bisa disamaratakan. Cara minum sesuai dengan yang lazim saja. Apalagi yang ndeplok sendiri. Secara keamanan, ya, enggak masalah.
Sejak pandemi terjadi, banyak beredar hoaks tentang berbagai ramuan penyembuh Covid-19...
Iya itu sering, tiap hari ada saja. Kalau mau coba, silakan, asal jangan yang berbahaya. Tapi informasi yang beredar jangan jadi satu-satunya andalan, jangan kemudian merasa kebal. Yang menyebutkan ini manjur, cespleng, itu kan berangkat dari pengalaman atau testimoni, tidak bisa dijadikan ukuran. Kondisi tiap orang berbeda. Sebab, belum disusun secara sistematis. Beda kalau yang sudah diuji klinis. Mungkin ada yang niatnya bagus, berbagi pengalaman, tapi banyak juga yang mencatut nama atau profesor siapa. Ini perlu dikonfirmasi lagi lebih lanjut ke orangnya.
Anda sering menepis hoaks atau info-info obat herbal di media sosial?
Tidak langsung meng-counter, paling di Facebook saya tulis. Kalau sempat, ya, saya counter di kolom komentar. Yang banyak muncul itu juga di grup WhatsApp keluarga dengan latar belakang berbeda. Kalau langsung counter, tidak enak. Biasanya saya bikin tulisan yang lebih netral untuk menjelaskan. Nanti diviralkan dan banyak yang berbagi di laman media sosial mereka.
Sejak awal masa pandemi, kan memang banyak obat atau herbal yang dicobakan. Dulu ada dexametason, lalu chloroquine yang sempat direkomendasikan tapi kemudian dicabut. Karena kan memang saat itu belum banyak informasi untuk terapi. Di situs fakultas, kami mempunyai informasi tentang obat-obat. Jadi, masyarakat bisa mendapatkan informasi tentang obat-obatan atau herbal itu.
Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zullies Ikawati (kiri) di Wonosobo. Dok. Zullies Ikawati
Selain penelitian obat herbal, apalagi penelitian Anda?
Selain penelitian obat herbal di lingkup internal serta bekerja sama dengan industri farmakologi dan LIPI, saya masuk tim pengembangan untuk penanganan Covid di Wisma Atlet. Saya juga masuk tim peneliti bersama Ikatan Apoteker Indonesia. Kami sedang mengembangkan imunomodulator, sedang mengajukan izin penelitian. Rencananya mengambil sampel dan diterapkan di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto). Kami sudah koordinasi, sudah jadi tim. Prosesnya, sih, sudah lama, tapi Covid ini kan dinamis.
Anda juga ikut dalam penelitian vaksin Covid-19?
Saya sedang terlibat dalam penelitian UGM bekerja sama dengan mitra perusahaan Taiwan untuk mengembangkan vaksin. Pengembangan vaksin kan beragam platform, tapi kami mencoba rencana untuk mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Kalau vaksin untuk dewasa kan sudah banyak. Ini juga sedang persiapan uji penelitian dari BPOM. Saya belum bisa cerita banyak soal ini. Benderanya UGM, kerja sama dari fakultas kedokteran dan farmakologi.
Banyak juga yang menggunakan obat tradisional Cina untuk memperingan gejala, menurut Anda bagaimana?
Saya enggak mengerti obat Cina isinya apa saja, ya. Tulisannya juga pakai huruf Cina. Lebih baik kita kembangkan herbal lokal, bahannya juga ada di Indonesia. Tapi tidak tertutup kemungkinan melihat sebagai pembanding. Bahan ada di Indonesia, sebagian banyak khas yang di sana. Daripada ribet, lebih baik kembangkan yang ada di sini.
Bagaimana potensi herbal lokal?
Potensinya, sih, sangat besar. Kita kaya dengan herbal. Diversitasnya besar, baik dari yang empiris maupun pengembangan inovasi. Tinggal mungkin pengemasannya. Namun di kedokteran dikenal istilah evidence based. Dokter-dokter enggak mau kalau belum ada bukti khasiatnya, uji klinisnya. Sedangkan obat herbal yang sampai punya uji klinis hanya sedikit.
Pengembangan obat herbal di Indonesia ini ada tiga, dari jamu (secara empiris), obat herbal terstandar (punya data praklinis, menggunakan hewan uji)—sudah bisa dijual, serta fitofarmaka (sudah diuji klinis). Uji klinis kan tidak murah. Industri farmasi enggak selalu berminat ke uji klinis. Ngapain uji klinis? Wong jamu atau obat herbal saja sudah laku. Jadi, ya, akhirnya hanya dipakai sebagai pendamping.
Mengapa tidak banyak yang melakukan uji klinis?
Prosesnya kan panjang dan jatuhnya jadi mahal. Ada pengalaman, industri farmasi besar menguji klinis obat hipertensi. Ketika disetujui, dokter-dokter jarang meresepkan. Sebab, ketika mau dijual, lebih mahal daripada obat hipertensi sintetis. Jadi, ketika obat herbal dinaikkan kelasnya, itu jadi mahal. Mungkin regulasinya, ya, masih seperti itu. Di Cina, dokter meresepkan obat TCM (traditional Chinese medicine) juga. Tapi kita masih paradigma dokter barat. Jadi, untuk resep herbal, kalau tidak ada bukti klinis, tidak mau.
Jadi, orang mikir ini kan bisnis. Kalau obat menjadi tidak ekonomis, akan susah (memasarkannya). Akhirnya orang berpikir, dengan hanya jamu sudah banyak yang beli, apalagi kalau promosinya bagus, mengapa harus menjadi fitofarmaka (hasil uji klinis)? Kecuali memang bagi yang idealis, ya, ada beberapa, semacam flagship-nya. Punya satu-dua fitofarmaka yang besar.
Bagaimana regulasi atau infrastruktur untuk meningkatkan potensi obat herbal agar setara dengan obat sintetis?
Ya, harus diji klinis dan dibandingkan dengan obat sintetis, minimal sama efektifnya. Jadi, dibandingkan head to head. Untuk preferensi dokter, mungkin bisa digunakan jika masuk ke dalam formularium nasional, sehingga bisa di-cover BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan). Kalau seperti itu, mungkin bisa setara dengan obat sintetis. Hanya, memang tidak mudah masuk ke formularium nasional, harus ada bukti klinis dan harganya akan masuk komponen.
Ini menjadi hambatan untuk pengembangan industri herbal?
Kalau melihat potensi, jelas besar. Ya, harus ada yang mengembangkan potensi ini. Konsepnya mau bagaimana. Kalau mau jadikan jamu di negeri sendiri, ya, jamu saja masih bisa. Pak Jokowi saja minum jamu. Ini di daerah-daerah banyak tanaman yang khas, berpotensi. Namun untuk saintifikasi, harus banyak didukung guna meningkatkan pengetahuan. Pengembangan herbal ini bisa dua arah, ke penelitian scientific based atau komersial. Untuk mendukung komersialisasi, berdasarkan bukti saintifik.
Anda mendapat gelar profesor pada usia muda, sebelum 40 tahun, bagaimana rasanya?
Biasa aja. Ya, lebih ke rasa tanggung jawab saja sebenarnya. Kalau kita bekerja, ada target yang dicapai. Untuk gelar akademik tertinggi, kan doktor, ya. Kalau fungsional, ya, guru besar. Kalau bisa dicapai, ya, dilakukan.
Apa saja yang Anda lakukan dan berapa banyak penelitian untuk mencapai gelar guru besar?
Ya, memenuhi ketentuan seperti mengajar, pengabdian kepada masyarakat, dan penelitian. Ketentuan kum-nya atau nilai itu 1.050 kredit poin. Nah, semua itu bisa dilakukan. Alhamdulillah semua dikasih lancar. Saya kuliah di Jepang, pulang pada 2001, lalu dapat gelar profesor pada 2008.
Apa resepnya?
Pada dasarnya, saya senang belajar, tidak membiarkan waktu terbuang. Kalau santai, malah saya bingung. Makanya, saya punya catatan daftar apa yang akan dilakukan tiap hari. Kalau deadline-nya masih agak lama, biasanya saya cicil sedikit demi sedikit.
Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zullies Ikawati dalam The 6th International Conference on Pharmacy and Advanced Pharmaceutical Sciences (ICPAPS) dan The 3rd Asean Pharmnet pada November 2019. Dok. Zullies Ikawati
Masih sempat rileks bersama keluarga?
Masihlah. Karena ada keluarga, anak masih suka ngajak jalan tiap weekend. Tapi selama pandemi ini, ya, keluar, tapi dengan hati-hati, mencari tempat yang aman.
Me time?
Kalau yang personal, saya suka nyanyi. Me time paling nyalon, merawat diri. He-he-he. Kadang-kadang ngevlog, bikin konten YouTube kalau ada waktu luang. Baru mulai tahun kemarin. Isinya sesuatu yang edukatif juga. Asyik aja itu. Kadang-kadang mengajak anak yang paling kecil dengan konsep Q and A (tanya-jawab) tentang sesuatu. Saya juga senang nulis, punya blog. Tapi sudah lama tidak nulis.
Punya buku bacaan kesukaan?
Saya suka novel-novel Habiburrahman dan Andrea Hirata. Saya punya semua. Tapi sekarang enggak sempat (baca).
Anda sering minum obat herbal juga?
Jarang. Paling minum madu yang rutin. Lalu makanan sehat, buah, dan sayur. Paling kadang minum jahe. Saya tidak terlalu fanatik dan enggak telaten meracik jamu atau herbal. Kalau ada yang ngasih produknya, ya, saya minum. Karena itu tadi, herbal sebagai pendamping. Kalau makanan utama sehat, ya, insya Allah.
Prof Dr Zullies Ikawati, Apt
Jabatan fungsional: Guru besar di Fakultas Farmasi UGM
Tempat, tanggal lahir: Purwokerto, 6 Desember 1968
Pendidikan:
S-1 Farmasi Universitas Gadjah Mada
S-3 Ehime University, Jepang
Pengalaman organisasi:
- Pengurus Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Pusat Bidang Hubungan Masyarakat dan Komunikasi masa bakti 2014-2018
- Pengurus IAI Pusat Bidang CPD dan Preseptor masa bakti 2018-2022
- Wakil Ketua Ikatan Ahli Farmakologi Indonesia (Ikafi) Yogyakarta masa bakti 2012-2016
- Ketua IV Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) Farmasi Pusat 2016-2021
- Pengurus PB Ikafi Pusat Bidang Pendidikan dan Pelatihan masa bakti 2016-2020
- Reviewer/mitra bestari beberapa jurnal nasional dan internasional
Penghargaan:
- Juara kedua presentasi lisan dalam Regional Conference on Molecular Medicine di Malaysia (2009)
- Pemakalah terbaik di bidang farmakologi dan toksikologi dalam Kongres Ilmiah Ikatan Apoteker Indonesia XVIII di Makassar (2010)
- Insan Berprestasi UGM, pengembang PKPS terbaik (2010)
- Ketua Program Studi Berprestasi dalam Anugerah Insan Berprestasi UGM (2018)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo