Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Muhammadiyah menilai ada keributan soal Idul Fitri karena negara ikut campur urusan agama.
Proses hukum terhadap peneliti BRIN bertujuan mencegah kasus serupa terulang.
Haedar Nashir meminta kadernya menjaga muruah Muhammadiyah.
PERBEDAAN penanggalan Idul Fitri antara pemerintah dan organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah telah terjadi beberapa kali. Namun pada tahun ini perbedaan itu berbuntut proses hukum. Tim kuasa hukum Muhammadiyah melaporkan dua peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andi Pangerang Hasanuddin dan Thomas Djamaluddin, ke polisi pada Selasa, 25 April lalu, karena cuitan mereka di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir, langkah hukum ini diambil sebagai pembelajaran agar kasus serupa tak terulang. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada aparat hukum ihwal pelanggaran dalam cuitan kedua peneliti itu: mana kritik, mana ujaran kebencian. Polisi menyambutnya dengan menetapkan Hasanuddin sebagai tersangka ujaran kebencian pada Senin, 1 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Haedar mengatakan laporan itu merupakan dampak lanjutan dari campur tangan negara dalam urusan agama. Selain itu, “Ada faktor media sosial. Bisa jadi bermula dari sini,” katanya dalam wawancara secara daring dari kantor PP Muhammadiyah di Yogyakarta kepada wartawan Tempo, Abdul Manan dan Iwan Kurniawan, pada Jumat, 5 Mei lalu.
Dalam wawancara sekitar satu jam itu, Haedar berharap perbedaan penanggalan Idul Fitri di masa mendatang bisa diatasi dengan menggunakan kalender internasional. Ia juga menanggapi soal arah politik Muhammadiyah dalam Pemilihan Umum 2024.
Apakah Muhammadiyah tak khawatir dianggap mengkriminalkan pengkritik?
Muhammadiyah percaya pada obyektivitas. Mungkin orang secara sekilas akan mengatakan itu. Tapi coba lihat diksi, pilihan kata, dan bahasa mereka. Mana yang murni obyektif sebagai kritik, mana yang bukan. Nanti akan tahu juga. Belum lagi soal (bukti) jejak digital. Kami tidak membungkam kritik dengan hukum. Muhammadiyah kan tidak punya kekuasaan. Mana mungkin kami mau membungkam.
Mengapa hanya dua peneliti itu yang dilaporkan?
Dalam pandangan tim hukum, ada pernyataan (mereka), kemudian muncul sikap atau reaksi yang mendukung pernyataan itu tapi berlebihan dan makin berlebihan. Tapi pada saat yang sama juga teman-teman punya jejak digital jelas bahwa ada pernyataan, yang mana kritik dan mana yang provokasi dan mengandung ujaran merendahkan serta unsur ketidaksukaan terhadap Muhammadiyah. Supaya tidak ramai, sudahlah, proses hukum saja.
Apa yang diharapkan Muhammadiyah dari proses hukum terhadap peneliti BRIN itu?
Pertama, agar keributan serupa dan ekspresi-ekspresi yang berlebihan terhadap perbedaan tidak terjadi lagi. Kedua, agar ada kepastian hukum dalam menyelesaikan konflik yang bukan lagi wilayah agama sebenarnya. Biar jelas, lah. Ketiga, agar kita, baik warga negara, elite, maupun ilmuwan, punya koridor. Silakan berbeda dan dialog sekeras apa pun, tapi saling menghargai dan saling mentoleransi.
Jadi mengapa penanggalan Idul Fitri selalu berbeda?
Perbedaan awal Ramadan, Idul Fitri, atau Idul Adha itu sering terjadi, tapi ada banyak samanya. Akar masalahnya ada pada metode penentuan antara hisab dan rukyat ataupun dalam hisab sendiri. Perbedaan itu lahir dari penafsiran terhadap hadis Nabi. Intinya, ini memang ada dasarnya di teks Al-Quran ataupun hadis dan praktik baik di zaman Nabi maupun sesudahnya. Kesimpulannya, ini wilayah ijtihad. Wilayah ijtihad ini sudah diterima menjadi praktik hidup, tradisi keagamaan, bahkan tradisi kita berbangsa.
Masalah kemudian menjadi rumit karena dua hal: pemerintah ikut mengambil keputusan di tengah perbedaan ini dan ini bukan semata-mata ibadah ubudiah (patuh dan taat terhadap semua perintah dan larangan Tuhan), tapi ibadah yang terkait dengan waktu. Itu terkait dengan rotasi bumi, matahari, dan bulan yang peredarannya pasti. Bahkan di Al-Quran juga disebut bahwa bulan dan matahari memiliki peredaran sendiri supaya kamu bisa menghitung bulan dan tahun.
Apa yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya?
Sebenarnya sama saja. Bagi Muhammadiyah, prinsipnya adalah bulan baru itu wujud, ada. Bisa tampak, bisa tidak. Sebenarnya antar-organisasi kemasyarakatan dan tokoh agama sudah saling mafhum. Maka, kalau ingin bersatu, nanti harus ada sistem kalender global yang bisa menyatukan seperti pertemuan di Turki 2016. Kalau ada Kalender Islam Global, kita bisa punya titik temu. Kami sekarang menggunakan kalender Miladiah (kalender matahari atau Masehi). Itu enggak ada masalah soal hari, tanggal, bulan, dan tahun karena sudah terkalender.
(Kongres Internasional Kesatuan Kalender di Istanbul, Turki, pada 2016 telah menyepakati kalender unifikasi satu hari satu tanggal di seluruh dunia yang disebut Kalender Islam Global. Kongres ini menyatakan, walaupun ada wilayah yang posisi bulannya masih negatif di wilayah timur, jika sudah terjadi ijtimak atau akhir bulan di wilayah paling timur atau Selandia Baru dan ketinggian hilal 5 derajat sudah terjadi di mana pun di dunia, esok harinya sudah masuk bulan baru.)
Artinya tidak perlu menggunakan rukyat lagi?
Prinsipnya pakai hisab. Seperti kita sekarang (menentukan jadwal) salat. Sembari kita belum bisa ke sana, opsinya pemerintah tidak perlu membuat kebijakan soal yang berbeda itu.
Jadi tidak perlu sidang isbat?
Itu konsekuensinya. Tinggal memfasilitasi saja sehingga ketika terjadi perbedaan, ya, sudah, negara menetapkan hari libur. Negara menetapkan fasilitas umum boleh digunakan untuk (yang menunaikan salat Idul Fitri) hari ini, besok, dan sebagainya. Masalah muncul karena pernyataan-pernyataan yang tidak terkontrol. Bisa dari pihak yang sama dengan pemerintah, bisa yang beda dari pemerintah. Kita bisa membedakan mana diskusi keilmuan dan hal-hal yang bersifat ijtihad dan mana pernyataan yang provokatif. Kalau diskusi kan begini: “Metode ini bermasalah secara keilmuan. Metode saya punya kelebihan secara keilmuan." Tapi, kalau sudah bikin stigma tentang yang berbeda, lalu dari situ juga (mengatakan) ini berhak memperoleh fasilitas atau tidak, itu sudah menyangkut hak warga negara. Lalu dari situ orang terpancing merespons, bisa setuju atau sebaliknya. Di situlah ada ranah hukum (yang ditempuh) Muhammadiyah. Silakan nanti dibedakan mana yang kritik dan mana yang masuk ranah hukum. Kami tidak ikut campur. Kami serahkan saja ke proses hukum.
Kalau begitu, sejauh mana negara bisa campur tangan dalam urusan agama?
Kalau masih mau mengambil kebijakan seperti sekarang, negara harus membuka ruang bagi yang berbeda. Yang berbeda itu, karena mereka warga negara, (tetap) boleh menggunakan fasilitas milik negara atau milik publik. Negara saat bikin keputusan juga menghargai perbedaan. Jadi yang berada di posisi negara tidak merasa jemawa, yang berbeda tidak merasa tersingkirkan.
Menurut Anda, pemerintah sudah cukup akomodatif?
Sudah. Menteri Agama memberi pernyataan yang positif, menghargai perbedaan, memberi kebebasan. Bahkan secara umum yang diam kita anggap toleran, kan. Lalu ada satu-dua kepala daerah yang melarang penggunaan lapangan bagi yang jadwal salatnya berbeda. Setelah kami menyampaikan keberatan, kritik, kepala daerah memperbaiki dan membolehkan. Kemudian menjadi ramai karena ada pernyataan dari peneliti BRIN, yang semestinya lebih ilmiah, malah provokatif. Apalagi ada respons pernyataan yang mengancam. Ini kan jadi masalah besar.
Apakah baru kali ini ada kehebohan akibat perbedaan tanggal Idul Fitri?
Sebenarnya potensi seperti ini sudah beberapa kali terjadi oleh pelaku yang sama. Cuma, kami sabar saja. Kami lewat koleganya meminta, “Tolong diingatkan, deh. Silakan mendukung metode yang dipakai pemerintah dan kami hargai itu. Tapi tidak perlu menyerang metode kami atau posisi kami.”
Apakah situasinya akan berbeda jika Menteri Agama berasal dari Muhammadiyah?
Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir saat peneguhan visi dan komitmen pimpinan majelis/ lembaga/ biro pimpinan pusat Muhammadiyah 2022-2027 di Yogyakarta, 12 Maret 2023. Dok. Muhammadiyah
Saya tidak ke situ. Nanti kalau menterinya dari Muhammadiyah dan menetapkan hisab ala Muhammadiyah, akan jadi masalah juga buat teman-teman yang berbeda. Jadi pendekatannya bukan kekuasaan. Kalau menterinya dari kami, misalnya, mungkin memberi kebebasan saja kepada yang berbeda untuk mempraktikkan itu.
Omong-omong, dalam soal apa negara boleh ikut campur urusan agama?
Saya enggak masuk kasus per kasus. Agama bisa menjadi perhatian dan adopsi kebijakan negara ketika menyangkut hajat hidup mayoritas atau seluruh umat beragama dan maslahat untuk bangsa. Itu patokannya. Hal-hal yang memang kontroversial dan terjadi perbedaan, negara harus lebih hati-hati.
Sekarang soal politik. Pada Rabu, 26 April lalu, Gerakan Pergerakan Berkemajuan mendeklarasikan dukungan kepada Ganjar Pranowo. Itu mewakili Muhammadiyah?
Dalam setiap tahun politik, warga negara selalu ingin mengekspresikan dukung-mendukung, mungkin juga tolak-menolak. Muhammadiyah secara tegas menyatakan di setiap pemilihan umum itu tidak akan terlibat politik praktis, politik dukung-mendukung atau tolak-menolak. Kami membebaskan warga Muhammadiyah menggunakan hak pilihnya. Tapi kami minta tetap menjaga muruah diri dan organisasi, tidak membawa Muhammadiyah dalam percaturan politik kekuasaan. Tapi kami juga mendorong kader-kader Muhammadiyah yang aktif di partai politik dan struktur pemerintahan bisa berkhidmat untuk kemajuan bangsa dan negara..
Sudah ada yang mendekati Anda atau Muhammadiyah?
Ini kan baru yang diusulkan oleh partai, belum resmi diumumkan Komisi Pemilihan Umum. Kalau silaturahmi antartokoh, sering. Muhammadiyah biasa didatangi atau juga mendatangi (tokoh). Tinggal dua hal yang harus dijaga: jangan dipolitisasi dan dalam koridor etika politik.
Kalau Anda diminta memberi imbauan, figur seperti apa yang layak didukung?
Pilihlah calon presiden, wakil presiden, gubernur, wakil gubernur, bupati, wali kota, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah yang membawa kemaslahatan bangsa dan negara, menghormati agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur. Tradisi Muhammadiyah itu kemajuan, maka (dukung juga) yang membawa kemajuan. Tentang orangnya, silakan saja (pilih). Itu kecerdasan masing-masing. Tapi memang kita perlu terus mengasah kesadaran politik masyarakat agar menggunakan hak pilih memakai kesadaran ilmu, hati, dan politik supaya bangsa ini maju dan tidak salah pilih.
Dari nama-nama yang sudah dicalonkan, siapa yang layak didukung?
Kata Nabi, tanamlah kurma, hatta (bahkan) satu hari sebelum kiamat. Artinya, kita tidak boleh kehilangan harapan. Kalau bahan dasarnya yang ada itu, demokrasi mengajari kita agar pemilihan umum harus tetap berlangsung, tapi pastikan sistemnya berjalan baik, demokratis, jujur, adil, dan bermartabat. Kedua, siapa pun yang nanti jadi presiden, jangan menjadi pemimpin yang given (menerima begitu saja). Sekali kita menjadikannya given, dia menjadi stagnan dan akan ada arogansi kekuasaan.
Ada kecemasan dalam Pemilu 2024 akan marak politik identitas. Kekhawatiran itu masuk akal?
Apa iya identitas agama menjadi satu-satunya ancaman? Agar itu tidak terjadi, para elite harus terbuka dan fair berkontestasi demi kepentingan politik kebangsaan dan kenegaraan. Jangan memulai kontestasi dengan saling menyerang dan memposisikan lawan politik seperti musuh. Seperti pertandingan olahraga saja. Kuncinya di elite. Elitenya jangan memproduksi aura permusuhan itu, entah atas nama agama entah atas nama politik.
Politik identitas itu bisa dipakai untuk dua kepentingan. Pertama, untuk memenangkan dirinya. Semua menggunakan politik identitas. Kalau dia orang Jawa, menggunakan kejawaannya. Orang Sumatera, luar Jawa, juga begitu. Kalau dia beragama tertentu juga begitu. Kedua, untuk menstigma lawannya. Supaya itu tidak jadi krusial, ya, dialog. Bagaimana politik identitas dan politik yang destruktif itu tidak menjadi jualan politik, baik untuk menjegal lawan maupun memuluskan dirinya.
Haedar Nashir
Tempat dan tanggal lahir: Bandung, 25 Februari 1958
Pendidikan:
- S-1 Sekolah Tinggi Pemerintahan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta
- S-2 Sosiologi Universitas Gadjah Mada
- S-3 Sosiologi Universitas Gadjah Mada
Jabatan:
- Ketua Badan Pembina Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1995-2000
- Sekretaris PP Muhammadiyah, 2000-2005
- Ketua PP Muhammadiyah, 2005-2010
- Ketua Umum PP Muhammadiyah, 2015-2020
Pekerjaan:
- Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
- Dosen Universitas Gadjah Mada
- Pemimpin Redaksi Majalah Suara Muhammadiyah
- Guru besar sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Catatan
Artikel ini sudah diperbarui pada 7 Mei 2023 pukul 19.30. Sebelumnya ada bagian yang tertulis "Agama bisa memberi perhatian dan mengadopsi kebijakan ketika..." yang seharusnya berbunyi "Agama bisa menjadi perhatian dan adopsi kebijakan negara ketika...".