Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Black Dahlia Pemain: Josh Hartnett, Scarlett Johansson, Aaron Eckhart, Hilary Swank Skenario: Josh Fredman dan James Ellroy (novel) Sutradara: Brian De Palma Produksi: A Signature Pictures Productions
Los Angeles, 1946. Dua polisi saling membantu dalam perkelahian dengan pelaut di jalanan. Di saat yang lain, mereka berbaku hantam di atas ring tinju. Tuan ”Es” alias Bucky Bleichert (Josh Hartnett) sepakat menyerahkan kemenangan kepada ”Sang Api”, Lee Blanchard (Aaron Eckhart), demi uang yang akan ia gunakan untuk memberi tempat layak bagi ayahnya di panti jompo.
Di tengah tugas pengintaian terhadap penjahat, mereka dikejutkan oleh penemuan mayat Elizabeth Short (Betty), seorang aktris yang tengah merintis karier di Hollywood. Tubuhnya dimutilasi, organ dalam serta darahnya dikeluarkan dan mulutnya disobek hingga memanjang ke pipi. Misteri pembunuhan perempuan yang dijuluki Black Dahlia itu menjadi perekat kejadian demi kejadian duet Tuan Es dan Api itu.
Investigasi Bucky membawanya pada sosok Madeleine Linscott (Hilary Swank), putri tokoh terpandang yang mengenal Dahlia. Belakangan, ia menjadi orang yang dicurigai selain ayahnya, Emmet Linscott.
Ini kemunculan kembali Brian de Palma yang absen hampir empat tahun setelah Femme Fatale (2002). Sutradara pengagum berat Alfred Hitchcock itu mengangkat kisah kematian Betty yang tak terungkap hingga kini dari novel karya James Ellroy pada 1987.
Josh Friedman (War Of The World), yang dipercaya menulis skenario, memilih menganyam cerita pengungkapan kematian Betty—dan hubungannya dengan orang yang pernah mengenalnya—dengan kisah kehidupan Bucky dan Lee. Pelbagai fragmen itu dihadirkan berselang-seling sehingga film menjadi tampak rumit. Keingintahuan penonton terhadap sang pembunuh Dahlia pun pada akhirnya berakhir hampa.
Terungkapnya sang pembunuh rupanya bukanlah tujuan utama Palma. Sebagaimana film LA Confidential (1997) yang juga diambil dari karya James Ellroy, sutradara The Untouchables (1987) ini lebih menonjolkan kehidupan hipokrit para penegak hukum di Los Angeles kala itu, polisi yang korup, para pelaku kriminal yang hidup di dunia mafia, dan merebaknya praktek prostitusi. Ia menyuguhkannya dengan sinematografi yang indah, kostum dan ilustrasi musik yang apik.
Hilary Swank, peraih dua kali Aca-demy Award, Mia Kirshner yang berperan sebagai Dahlia, dan Fiona Shaw sebagai menjadi Ramona Linscott, ibu Medeleine, bermain cemerlang di film ini. Madeleine terlibat cinta dengan Bucky dan menyimpan magma kejahatan. Sementara itu, Dahlia tampil dengan wajah penuh binar cita-cita, ambisius, tapi sekaligus bernasib nestapa.
Kay Lake (Scarlett Johansson) yang menyedot porsi peran lebih banyak dibanding Madeleine atau Dahlia justru tampak tak berkarakter. Ia adalah kekasih Lee yang memasang citra wanita berkelas, tapi sesungguhnya menyimpan masa lalu yang kelam. Kay Lake ada di pusaran cerita. Kay, Lee, dan Bucky digambarkan sebagai trio yang tak terpisahkan. Peristiwa pembunuhan Dahlia menjadi jembatan penghubung peristiwa satu ke peristiwa lainnya, juga menjadi pengait hubungan psikologis Bucky-Kay-Lee.
Di film yang menjadi pembuka Venice Festival 2006 ini, Palma akhirnya menunjukkan bahwa di tengah kehidupan polisi yang korup dan menghirup obat bius, ada polisi (Bucky) yang bersih dan peduli pada orang tua. Ia juga bertahan tak menanggapi sinyal cinta dari Kay karena menghargai persahabatannya dengan Lee. Bucky pun mengungkapkan kemarahan begitu tahu Madeleine yang ternyata heteroseksual pernah menjadi teman bercinta Dahlia.
The Black Dahlia jelas tak sebanding jika dihadapkan dengan karya-karya Brian de Palma terdahulu seperti Scarface (1983), Carlito’s Way (1993), dan The Untouchables yang dahsyat. Namun, film ini bisa dilihat sebagai karya ”pemanasan” Palma menjelang film berikutnya yang sudah ditunggu-tunggu: The Untouchables: Capone Rising.
Evieta Fadjar P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo