Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MISI itu digerakkan dari satu ruang kerja mirip "posko darurat" di lantai dua gedung Sekretariat Negara di Jalan Veteran, Jakarta Pusat. Di sinilah Yudi Latif, 53 tahun, bersempit-sempit bersama 24 anggota Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila atau UKP-PIP. Penanda lembaga setingkat kementerian ini hanyalah selembar kertas putih yang ditempel di pintu kaca. "Jika ada demonstrasi di Istana Negara, kami terpaksa mengungsi karena ruangan itu dipakai untuk menerima pedemo," ujar Yudi seraya terbahak.
Presiden Joko Widodo membentuk lembaga ini pada 7 Juni 2017 dan meminta Unit Kerja merumuskan kebijakan pembinaan Pancasila. Dalam jangka panjang, program-program pembinaan diharapkan mampu mengembalikan kewibawaan dasar negara yang digerogoti--bahkan diolok-olok--oleh kelompok-kelompok berideologi radikal.
Sejumlah tokoh nasional, antara lain Megawati Soekarnoputri, Ahmad Syafii Maarif, Ma'ruf Amin, dan Mahfud Md., duduk di Dewan Pengarah. Memimpin Dewan Pelaksana, Yudi mengatakan UKP-PIP adalah simbol kedaruratan. Ada situasi yang membuat kita perlu meneguhkan kembali keyakinan pada Pancasila--fundamen yang niscaya dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Datang dari latar belakang akademis dan lembaga swadaya masyarakat, Yudi menyatakan Pancasila sejatinya bukan hal baru. Dia telah menulis dua buku dengan topik ini. Tugas terbarunya membuat dia kerap berhadapan dengan rendahnya minat dan pengetahuan masyarakat tentang Pancasila, terutama di kalangan generasi milenial. Penyebaran paham radikal di berbagai lapisan masyarakat, termasuk sekolah dan kampus, memperburuk fenomena ini. "Di saat krisis barulah kita sadar punya bintang penuntun bernama Pancasila," katanya kepada Tempo.
Selasa pekan lalu, Yudi Latif menerima wartawan Tempo Raymundus Rikang, Reza Maulana, dan Hermien Y. Kleden untuk sebuah wawancara khusus.
Apa urgensi membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila?
Negara sedang gamang menghadapi manuver kelompok fanatik yang anti-pluralisme, bahkan cenderung konservatif dan radikal.
Tepatnya gamang bagaimana?
Nilai-nilai publik seakan-akan lenyap sejak Reformasi 1998 karena Pancasila praktis tak lagi menjadi bahan ajar pokok di sekolah. Sosialisasi ada, tapi caranya amat sporadis, tak sistematis, tumpang-tindih. Kelompok fanatis langsung mengisi celah itu lewat penyebaran paham radikal.
Apa yang penting kita waspadai?
Masuknya paham radikal menandakan kita telah abai membangun infrastruktur nilai di dalam masyarakat karena terlalu berfokus membangun infrastruktur fisik. Pembangunan masif bisa saja ambruk dalam semalam jika kita tak memperhatikan fondasi nilai-nilai Pancasila.
Kapan ide pembentukan lembaga ini tercetus?
Sekitar lima tahun lalu muncul ide membentuk organisasi untuk mensosialisasi Pancasila dalam diskusi-diskusi di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Situasi belum kondusif saat itu karena ada kekhawatiran pemerintah bahwa membentuk lembaga semacam ini akan ditafsirkan sebagai usaha menghidupkan kembali "rezim Pancasilais". Ada perubahan ancaman selepas Reformasi 1998. Dulu ancaman terhadap kebebasan datang dari negara, sekarang dari kelompok-kelompok fanatis.
Inikah yang memicu pembahasan UKP Pancasila baru dimulai setelah demo besar terkait dengan kasus penistaan agama?
Pembahasannya berlangsung sebelum Aksi Bela Islam 4 November dan 2 Desember 2016. Sekitar sebulan sebelum Pak Basuki--Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok--mulai didemo karena dianggap menista agama. Ada kesepakatan menunda peresmian Unit Kerja karena tak ingin Pancasila menjadi alat politik. Jangan sampai ada persepsi pemerintah membuat lembaga baru untuk menghantam lawan-lawan politiknya. Pembentukan Unit Kerja makin mendesak setelah rangkaian pemilihan kepala daerah di Jakarta menimbulkan pertengkaran publik.
Hubungannya dengan hiruk-pikuk pilkada seperti apa?
Pilkada, khususnya di Jakarta, meretakkan kohesi sosial ini. Pemilihan langsung sebagai prosedur demokrasi membuat kita mengabaikan nilai demokrasi itu sendiri, seperti integritas, toleransi, dan transparansi. Orang lebih suka politik uang daripada visi-misi serta program para kandidat. Di tengah krisis ini, kita baru ingat ada bintang penuntun bernama Pancasila. Saya mengibaratkan Pancasila sebagai bintang yang tak terlihat kecuali di gelap malam.
Bagaimana cara agar Pancasila menjadi penuntun keseharian, bukan cuma saat krisis?
Perlu ada proses penerjemahannya dalam dimensi simbolis. Simbolisasi mendorong daya khayal kita, terutama anak-anak muda, tentang nilai dasar Pancasila. Amerika Serikat, misalnya, sukses mentransformasikan nilai bela negara lewat ekspresi kesenian seperti dalam film Captain America. Ini akan mendorong anak-anak muda merasa Pancasila itu gue banget. Jangan membuatnya menjadi hafalan sila per sila.
Ada cara lain?
Makin banyak ilmu yang bisa menjelaskan, maka Pancasila makin membumi. Selama ini Pancasila lebih banyak dibedah dengan pendekatan ekonomi, hukum, dan politik. Maka bisakah cabang ilmu lain, seperti biologi, menguraikan Pancasila?
Siapa penggagas UKP-PIP?
Berbagai pihak. Ada Ketua MPR dan Dewan Pertimbangan Presiden. Krisis di ruang publik akhir-akhir ini mendorong Presiden segera membuatnya.
Apakah Unit Pancasila memberi masukan terkait dengan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI?
Tidak. Unit ini belum terbentuk ketika proses kajian pembubaran HTI sudah berjalan. Ke depan, UKP-PIP bisa mendeteksi perkembangan masyarakat dan memberi laporan ke lembaga-lembaga terkait menyangkut perizinan dan pembubaran sebuah organisasi.
Peran semacam itu apa tidak memicu paranoia pembungkaman kelompok pengkritik pemerintah?
Tidak. Itu salah satu rencana aksi saja. Justru kami mengembangkan peran komunitas dan kelompok untuk menafsir Pancasila sesuai dengan laku hidup sehari-hari. Misalnya dalam diskusi komunitas Nahdlatul Ulama harus ada nahdliyin yang berbicara penghayatan Pancasila yang otentik di pesantren. Gagasan komunitas ibarat sungai-sungai kecil yang bermuara di samudra Indonesia. Unit Kerja ini hanya memberi panduan sehingga keragaman tafsir dari komunitas tetap bertemu pada titik konvergensi.
Anda setuju pemerintah membubarkan HTI?
Itu wilayah penuh perdebatan. Namun negara harus mengembalikan basis legitimasinya untuk melindungi segenap bangsa. Jika HTI dianggap membahayakan keselamatan dan mengancam nilai-nilai kebangsaan, konstitusi memberikan hak kepada aparat negara membuat keputusan efektif dalam konteks kegentingan yang memaksa.
Seberapa genting situasi saat ini?
Kriteria genting itu subyektivitas presiden. Ada dalil to govern is to foresee--memerintah adalah mengantisipasi. Kondisi genting itu tak harus menunggu Indonesia kocar-kacir. Justru negara dianggap salah bila memberikan ruang terlampau luas kepada kelompok seperti HTI yang membahayakan ideologi negara.
Tapi pembubaran organisasi kemasyarakatan mengingkari semangat demokrasi--yang dijamin oleh Konstitusi kita.
Kebebasan dibatasi oleh keselamatan publik, hukum, kesehatan publik, moral publik--dalam hal ini Pancasila--dan kebebasan orang lain. Itu teori filsuf John Stuart Mill. Bila ekspresi kegiatan ormas mengganggu lima hal itu, negara bisa menerapkan otoritasnya dalam skala tertentu. Andaikan kebijakan itu dinilai keliru, ada mekanisme kontrol di pengadilan dan parlemen. Silakan ajukan banding.
Ideologi tetap bisa tumbuh meski organisasi bubar. Bagaimana Unit Kerja membantu mencegah potensi ini?
Kami berkolaborasi dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk mendeteksinya. Titik rawan penularan virus radikalisme ada di kelompok urban terdidik dan ruang publik sekuler, seperti kampus. Sekitar 9 persen penduduk atau sekitar 22 juta penduduk Indonesia terkena infiltrasi paham radikal. Tujuan kerja sama dengan Kementerian agar para rektor itu tak acuh dengan dinamika kampus, khususnya aktivitas dakwah di masjid kampus.
Ada gerakan yang menginginkan Pancasila versi Piagam Jakarta. Tanggapan Anda?
Keinginan semacam itu timbul karena ada distorsi sejarah bahwa ada beragam versi Pancasila. Dalam waktu dekat, kami meminta Arsip Nasional Republik Indonesia membuka dokumen risalah sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dokumen itu pernah dipinjam Mohammad Yamin dan sempat tak diketahui rimbanya. Kini tersimpan di kantor Arsip, tapi tidak bisa diakses publik.
Apa beda unit ini dengan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) era Soeharto?
BP7 dibentuk ketika kondisi negara sedang kuat-kuatnya sehingga Pancasila cuma dijadikan alat mendisiplinkan dan menundukkan masyarakat agar patuh pada program pembangunan. Struktur organisasi BP7 amat gigantik, aparatus negara dari pusat sampai kabupaten terlibat. UKP-PIP berdiri justru ketika sekelompok kecil masyarakat sipil sedang mengancam kebebasan serta nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Unit ini pun nantinya sekadar tim kecil yang jumlah anggotanya tak lebih dari 100 orang.
Kegiatan macam apa yang akan dikembangkan Unit Kerja?
Pada 12-14 Agustus 2017 di Istana Bogor, akan ada semacam peluncuran kembali pendidikan Pancasila gaya baru. Perwakilan mahasiswa baru dari seluruh Indonesia akan berkumpul di Bogor. Diawali menonton film dokumenter Pantja-Sila: Cita-Cita dan Realita karya Tino Saroengallo dan Tio Pakusadewo, mereka akan berbagi cerita dengan kawan-kawannya dari daerah lain.
Presiden akan memberi pidato khusus?
Presiden akan hadir tapi bukan memberi pidato, melainkan menjadi motivator permainan tentang pluralisme. Seperti biasa, ada hadiah juga, ha-ha-ha.... Kami ingin pengamalan Pancasila dilakukan secara induksi dan beralaskan pengalaman empiris setiap anak--dan bukan lewat indoktrinasi serta penataran.
Apakah unit ini juga akan memberi ruang bagi penganut aliran kepercayaan?
Yang sering orang lupakan adalah dari 68 anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang membicarakan Pancasila, ada beberapa penganut aliran kepercayaan, termasuk Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI. Jadi, sejak pembentukannya, Pancasila telah memberi ruang bagi keberagaman masyarakat Indonesia. Penganut agama lokal, bahkan ateis, bisa hidup di alam demokrasi Indonesia. Yang tidak dikehendaki Pancasila adalah penyebaran kampanye anti-Tuhan.
Satu setengah bulan bekerja, apa saja kesulitan yang Anda hadapi?
Ada problem tarik-menarik wilayah garapan karena program yang bermuatan Pancasila ada di hampir semua kementerian dan lembaga. Harus ada koordinasi dan komunikasi antarlembaga, serta mengesampingkan ego sektoral. Kami juga menghadapi sinisme dari kelompok anti-Pancasila yang mempersepsikan unit ini representasi rezim. Kami tetap membangun jembatan komunikasi dengan kelompok tersebut tanpa menegosiasikan makna hakiki Pancasila.
Soal anggaran bagaimana?
Awalnya saya masih pakai mindset LSM, sehingga melihat Rp 500 juta terasa besar sekali, ha-ha-ha.... Anggaran Unit Kerja masih menginduk pada Sekretariat Kabinet. Tahun ini, kami ajukan usul anggaran Rp 50 miliar. Anggota Komisi Pemerintahan DPR sampai heran, kok anggaran UKP-PIP kecil sekali.
Idealkah jumlah di atas di tengah ekspektasi tinggi terhadap Unit Kerja?
Mudah-mudahan anggaran tahun depan bisa lebih besar. Prioritas saya sekarang adalah mengusahakan gaji kolega dan staf bisa turun lewat dana pinjaman. Pendanaan program juga mengutang dulu ke berbagai pihak, nanti dikembalikan saat anggaran cair. Saya minta teman-teman di unit ini bekerja dengan spirit pengabdian. Kalau tidak, bisa sakit hati, karena kami bekerja tanpa jaminan finansial.
Anda terbebani bekerja dengan tokoh nasional dan agama di Dewan Pengarah?
Dewan Pengarah justru membantu mengurai sumbatan-sumbatan Dewan Pelaksana. Kewibawaan tokoh-tokoh di sana membantu program kami cepat dieksekusi. Misalnya, mereka menelepon koleganya di suatu institusi sehingga bisa lebih menerima kami.
Apa cara menjamin kesinambungan program Unit Kerja bila suatu ketika rezim berganti?
Ada wacana mengubah kelembagaan Unit Kerja menjadi badan, sehingga lebih permanen dengan masa tugas lima tahun, bukan mengikuti masa tugas presiden. Optimisme lain, DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Wawasan Nusantara, di mana terdapat mandat kepada sebuah lembaga untuk mengawal ideologi negara. Unit ini produk kelembagaan presiden, bukan buatan presiden. Artinya, kami bisa terus eksis meski presiden silih berganti, asalkan tak ada peraturan presiden baru yang membubarkannya.
Bagaimana jika presiden berikutnya menilai keberadaan unit ini tak penting?
Untuk itu kami bikin program yang bisa meninggalkan jejak panjang dalam waktu pendek. Misalnya, pelurusan narasi sejarah Pancasila di dalam buku pelajaran. Saya rancang sistem kerja unit ini berdasarkan kelompok kerja. Misalnya, kelompok bahan pengajaran, pendidikan, kebijakan, dan indeks Pancasila. Semoga penentuan prioritas itu bisa melahirkan tolok ukur yang akan dikembangkan penerus kami.
Yudi Latif
Tempat dan tanggal lahir: Sukabumi,Jawa Barat, 26 Agustus 1964
Pendidikan:
- Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (1990)
- Master Studi Kawasan Asia The Australian National University (1999)
- Doktor Sosiologi Politik The Australian National University (2004)
Karier:
- Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (sejak 7 Juni 2017)
- Anggota pakar Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (2009-sekarang)
- Direktur Eksekutif Reform Institute (2004-sekarang)
- Wakil Rektor Universitas Paramadina (2005-2007)
Publikasi:
- Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011)
- Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (2014)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo