Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Sekali Peristiwa di Rumah Sakit

31 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI klinik perbaikan gigi sebuah rumah sakit di Bogor, seorang suster memanggil nama pasien. "Atas nama Tuan Zulfikar," katanya. Tak ada yang menyahut. Di ruang tunggu hanya ada saya dan seorang laki-laki setengah baya yang menggeleng ketika "atas nama Tuan Zulfikar" disebut ulang.

Duduk tepekur sambil membaca Silence, novel bagus dari Shusaku Endô, saya menduga-duga suster itu salah memanggil nama. Saya adalah orang pertama yang tiba di klinik ini, disusul laki-laki setengah tua itu, lalu seorang perempuan muda yang datang hanya menaruh berkas di meja dokter kemudian pergi entah ke mana. Suster itu masuk ke ruangan dokter lagi dan kembali muncul di depan pintu. "Atas nama Tuan Bagja Hidayat."

Saya tak langsung menyahut. Itu memang nama saya, tapi penyebutan "atas nama" membuat saya ragu apakah panggilan itu untuk saya. "Atas nama" berarti ada orang lain yang mewakili saya. Jangan-jangan laki-laki setengah tua dengan kumis baplang-sangadulang itu yang mendaftar dengan "mengatasnamakan saya". "Bapak Tuan Bagja Hidayat, bukan?" tanya suster itu. Saya mengangguk, suster itu cemberut.

Di Indonesia, pemakaian predikat untuk nama sering kali kacau. Tak hanya di rumah sakit, para polisi jamak mengucapkan dan menuliskan laporan "kami telah menetapkan tersangka atas nama Pulan bin Fulan". Pemakaian atas nama dalam kalimat itu membuat obyeknya menjadi kabur. Apakah ada orang lain yang dengan sukarela menjadi tersangka kejahatan mewakili Pulan bin Fulan?

Pemakaian "atas nama" yang benar tercantum dalam naskah Proklamasi Kemerdekaan yang dikenal seluruh rakyat Indonesia. Dalam naskah itu tertulis "atas nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta". Artinya, ada dua orang, yakni Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang mewakili bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan atas invasi Jepang dan bangsa-bangsa lain pada 17 Agustus 1945.

Barangkali kisruh itu dimulai dari kekacauan bentukan dan pemakaian kata majemuk. "Rumah sakit" itu bentukan yang aneh. Dua kata ini merujuk pada "rumah tempat orang sakit", meski bisa juga berarti "rumah yang membuat orang jadi sakit". Arti kedua tidak salah juga. Saya pernah dibuat sakit oleh rumah sakit karena tak tidur menunggui anak dua tahun yang menangis sepanjang malam karena demam berdarah. Kepala rasanya bertambah sakit ketika melihat tagihan perawatannya selama sepekan.

Bentukan "rumah sakit" merujuk pada pola pembentukan kata dari bahasa Belanda, ziekenhuis (zieken = sakit, huis = rumah). Sebab, dalam bahasa Inggris, "rumah sakit" disebut "hospital", yang merujuk pada arti "keramahtamahan". Sejak awal hospital dipakai sebagai "halte orang sakit dan terluka", penamaannya bermula dari bahasa Prancis (ospital), yang berakar dari bahasa Latin, hospitis (tamu). Demikianlah, pasien diperlakukan sebagai tamu di tempat yang diasosiasikan dengan hotel.

Saya tidak tahu apa pengaruh nyata pemakaian "rumah sakit" dan "hospital" pada tingkat kesembuhan pasien. Jangan-jangan orang Inggris dan Prancis lebih cepat sembuh dibanding orang yang dirawat di "rumah sakit" atau sebaliknya. Mungkin perlu survei untuk membuktikan cara kerja bahasa membentuk perspektif dan perilaku penuturnya.

Seperti orang Jepang yang memahami jarak bukan sebagai ruang di antara dua titik yang diukur dengan satuan metrik, tapi jangka dua titik yang diukur dengan waktu. Karena itu, Jepang terus memproduksi alat transportasi yang kian cepat untuk meringkasnya. Di Jepang umum dikatakan jarak Tokyo-Shizuoka adalah 60 menit, bukan 200 kilometer, karena memakai Shinkansen.

Barangkali Indonesia perlu memperbaiki bahasanya sebelum mimpi besar membangun peradaban. Saat memikirkan pemakaian "atas nama", saya berhasil menulis kolom sepanjang ini. Rembetannya sampai pada bentukan-bentukan kisruh kata majemuk, seperti "sepak bola". Kita menerima saja "sepak bola", sementara kita menyebut "bulu tangkis" untuk badminton, bukan "tangkis bulu" jika merujuk pada bentukan "sepak bola".

Kamus bahasa Indonesia menulisnya dengan "sepak bola", dua kata terpisah, agar sepadan dengan kata majemuk lain semisal "tanggung jawab" atau "air keras". Masalahnya, nama resmi organisasinya adalah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. Begitu juga dengan "bulu tangkis", organisasi resminya disebut Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia.

Kolom ini tak akan berhenti jika terus mengulik kekisruhan bahasa Indonesia, meski berawal dari pemikiran sepele dari sebuah peristiwa di sebuah klinik perbaikan gigi. Mungkin karena bahasa Indonesia masih muda, menjadi bahasa asing bagi penduduk yang bukan Melayu, sehingga harus terus-menerus dipelajari dan diperjuangkan perbaikan-perbaikannya. l

Bagja Hidayat - Wartawan Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus