Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) seperti tidak berhenti terjadi. Belum usai menangani kasus penembakan di Sigi, Komisi Nasional HAM kembali dihadapkan dengan kasus tewasnya enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI). Komnas HAM harus bekerja keras mengungkap peristiwa yang menjadi perhatian masyarakat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyatakan bahwa ini merupakan kasus berat. “Enam nyawa itu serius, siapa pun itu,” kata Ahmad Taufan Damanik kepada Dian Yuliastuti dari Tempo melalui sambungan telepon aplikasi, Rabu, 16 Desember lalu. Dalam setiap kasus yang ditangani, Komnas memastikan aparat negara mematuhi koridor hukum dan norma HAM. “Tidak boleh torture, excessive abuse of power.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam wawancara itu, ia tak hanya bercerita tentang masalah HAM, tapi juga kesenangan dan kesehariannya. Berikut ini petikannya.
Seberapa berat kasus kematian anggota FPI ini?
Berat. Enam nyawa itu serius, siapa pun itu. Berat karena ada nuansa politik di seputaran itu. Ada tuduhan Komnas HAM berafiliasi pada ideologi tertentu. Ada yang mempersoalkan kenapa tidak mengurus kasus Sigi? Masyarakat tidak tahu kami sudah turun ke sana. Kantor Komnas saja ada di sana, masa meragukan Komnas HAM. Hanya memang tidak ter-cover media dan ter-blow-up. Kalau kasus tewasnya anggota laskar FPI, ter-blow-up.
Tugas kami memastikan apa yang terjadi pada seseorang yang diduga mengalami kekerasan oleh aparat negara. Kami memastikan aparat negara mematuhi koridor hukum dan norma HAM. Tidak boleh torture, excessive abuse of power. Bukan soal agama atau ideologinya. Saya senang ada statement dari Presiden, menjadi semacam vitamin bagi kami.
Ada deadline penanganan kasus FPI ini?
Kalau mau kerja dengan kehati-hatian, untuk simpulan obyektif sebaiknya tidak dipatok deadline. Kalau secara internal, kami keras. Kasih deadline supaya kerja lebih keras. Saya sampai enggak tega itu staf ada yang tiga hari tiga malam tidak pulang, cari bukti di lapangan. Ya, itu risiko. Di satu sisi, kami diserang kiri-kanan. Termasuk serangan pribadi. Di sisi lain, ada harapan besar dari masyarakat, ratusan pesan WhastApp masuk ke saya dan komisioner lain. Tapi kami akan utamakan prinsip kehati-hatian. Yang jelas, kami akan berfokus pada pengumpulan barang bukti supaya tidak ada yang bolong, tidak ada missing link.
Ada serangan pribadi kepada Anda?
Medsos, Instagram saya diserang. Tapi saya juga jarang buka. Pura-pura enggak tahu sajalah. Kecuali kalau sudah membahayakan secara fisik, saya akan lapor polisi. Kita sudah tahu bagaimana serangan media sosial seperti apa. Orang seenaknya saja.
Komnas HAM menyatakan dalam satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf penegakan HAM stagnan?
Untuk kasus HAM berat sampai sekarang stagnan, walau sudah diusulkan ulang. Proses yudisial dan non-yudisial sedang berproses. Di luar itu, pemerintah berkewajiban memenuhi hak korban dan keluarga korban. Seperti kasus di Aceh, di Papua, atau kasus 1965, korban hidup mengalami kesulitan. Memang ada bantuan Komnas HAM melalui LPSK, tapi tidak cukup. Jadi, ada skema di luar yudisial ataupun skema KKR. Tanggung jawab negara untuk rehabilitasi, perbaikan kesehatan dan kesejahteraan para korban. Nah, skema ketiga ini tidak banyak dibicarakan. Orang ngotot kapan pengadilan HAM dibentuk atau KKR dilakukan.
Salah satu pelanggaran HAM yang angkanya naik terkait dengan konflik agraria, bagaimana penyelesaiannya?
Sudah ada konsultasi nasional kasus per kasus. Terkait dengan kasus di perkebunan dan pertambangan, berbagai kasus memang harus ada kemauan politik, kebijakan dari kementerian. Yang musti dicegah itu kekerasan. Yang selalu menyertai kasus-kasus itu adalah pelibatan aparat negara dan menggunakan pendekatan kekerasan. Aparat seharusnya netral dan memastikan pihak yang bertikai tidak saling serang. Bukan dia melakukan kekerasan kepada warga. Itu yang diprotes warga.
Kekerasan aparat juga masih terjadi kepada jurnalis, aktivis HAM, dan terhadap kebebasan berekspresi...
Ya, dari aduan masyarakat, termasuk praktik-praktik kekerasan terhadap jurnalis, aparat tidak serius melindungi mereka. Para pembela HAM ini juga sama penting dengan jurnalis, sama-sama memperjuangkan HAM dan demokrasi. Pilar demokrasi. Mereka yang memperjuangkan HAM justru sering diserang dan dikriminalisasi. Undang-undang ITE dipakai untuk bikin orang khawatir berpendapat. Survei Komnas HAM terhadap isu kebebasan berekspresi ini memang ada penurunan angka. Masyarakat berani mengkritik di media sosial, tapi untuk mengkritik pemerintah tidak berani. Padahal kritik terhadap pemerintah untuk membangun demokrasi. Mereka khawatir karena melihat pengalaman seperti itu.
Tapi instrumen hukum yang ada belum melindungi?
Itu memang belum, dilakukan bertahap. Mungkin dari kampanye dulu, advokasi pada kasus tertentu, membangun jaringan, Komnas HAM, media, aktivis, tokoh-tokoh masyarakat untuk berjuang bersama. Tidak bisa sendiri. Juga membenahi perangkat hukum, seperti merevisi pasal karet UU ITE yang dipakai untuk memukul aktivis dan jurnalis. Lalu undang-undang yang melindungi ini harus diperkuat. Selain itu, mindset negara perlu diubah. Selama ini seolah-olah dia yang punya kuasa, dia yang memberikan hak. Ini cara pandang keliru.
Soal toleransi juga masih bermasalah...
Ya, toleransi masih terganggu. Misalnya soal pembangunan rumah ibadah. Kasusnya memang kurang dari 20. Bukan masalah angka, tapi kalau dibiarkan, akan jadi besar. Jika tren kecil ini dianggap enteng, intoleransi bisa meledak. Kami juga mengkritisi SKB dua menteri untuk pembangunan rumah ibadah. Perlu kaji ulang SKB ini. Kami usulkan grade regulasi dari SKB menteri menjadi keppres. Pendirian rumah ibadah tidak dibatasi, tapi dilindungi.
Soal pencabutan koneksi Internet juga pelanggaran HAM?
Ya, itu contoh tadi. Ketika mindset negara merasa memberi hak kebebasan, ketika dia merasa hak informasi tadi tidak sesuai dengan selera negara lalu diambil, dikurangi. Padahal hak informasi, berkomunikasi, itu merupakan hak otonom. Seharusnya negara memastikan hal itu tidak dikurangi. Bahkan ketika dinyatakan bersalah di pengadilan, pemerintah masih merasa tidak bersalah. Ini menunjukkan mentalitas tadi, bahwa “saya” yang punya otoritas, “saya” yang memberi hak atas nama kepentingan publik.
Bagaimana memperjuangkannya?
Jika melihat ada kecenderungan hak dibatasi, harus disuarakan, harus terus dinyinyiri. Harus tetap vokal dan kritis. Semua pihak, termasuk media. Kemerdekaan itu multak dan otonom dinikmati warga. Sudah banyak korban sejak reformasi 1998. Kita belum menjalankan setengah dari nilai demokrasi juga. Jadi, jangan bilang demokrasi kebablasan.
Negara perlu mengakui kesalahan kepada korban?
Di sini belum, karena ada pemakluman-pemakluman, impunitas yang tidak nyata. Akibatnya tidak bisa memisahkan negara yang adil atau tidak. Tapi kalau tidak pernah diakui kesalahan, minta maaf, tidak menegakkan hukum, ya, akan terulang lagi. Maka itu, harus akui dengan jujur fakta apa yang terjadi, jangan cari pembenaran. Tidak boleh ada pembenaran terhadap kekejian, kejahatan kemanusiaan. Kejahatan kemanusiaan tidak boleh diterima. Selain itu, perlu sistem hukum yang lebih adil untuk pelanggaran HAM. Untuk kasus pelanggaran HAM berat, undang-undang yang ada belum cukup kuat.
Bagaimana memperkuat itu?
Perlu revisi UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, supaya tidak ada kemandekan dalam proses hukum. Penting juga mendengar suara korban, tak boleh dibiaskan afiliasinya. Tidak boleh diperlakukan semena-mena, mengalami penyiksaan, termasuk jika itu seorang teroris.
Soal penegakan HAM di Papua, bagaimana solusinya?
Dua kata kuncinya. Hentikan siklus kekerasan dari semua pihak, baik polisi, tentara, maupun OPM, serta ke depankan dialog damai. Kami sudah sampaikan itu ke Presiden dalam pertemuan bulan lalu. Katanya, sedang dicari solusinya. Kita lihat nanti.
Terakhir terhadap kematian Pendeta Yeremia?
Itu salah satu contoh, dia mengalami penyiksaan dan mati. Tapi ada juga OPM melakukan tindakan yang keji. Jadi, harus dari dua pihak menghentikan kekerasan. Caranya dengan penegakan hukum atau ke depankan dialog hukum. Di Aceh saja bisa, kenapa di Papua tidak bisa dilakukan? Komnas menawarkan untuk mediasi dialog. Kami juga mengajak diskusi jajaran PGI, KWI, dan tokoh Islam ikut serta untuk mencegah kekerasan.
Komnas kerap mendapat serangan?
Paling sering dituduh agen internasional. Padahal kan Komnas HAM ini juga bagian dari Dewan HAM PBB, Indonesia anggota Dewan HAM, anggota aliansi global untuk HAM yang berkantor di Jenewa. Kita masyarakat dunia. Juga soal perdebatan HAM ini dibikin sering bias politik dan ideologi.
Padahal ini soal prinsip menegakkan keadilan hukum, dimensi nilai kemanusiaan. Bagaimana manusia dimanusiakan, manusia dimuliakan, serta harkat dan martabatnya diakui, diangkat. Tidak ada kaitannya dengan afiliasi politik. Semestinya semua partai concern terhadap nilai HAM. Kadang-kadang kekuatan politik tidak serius. Bias itu tinggi sekali. Jadi, tantangan penegakan HAM di Indonesia menjadi cukup besar, berat. Dihubungkan dengan hal-hal yang tidak ada hubungannya
Selama di Komnas HAM Anda masih punya waktu menekuni hobi?
Olahraga biasanya, jogging, diving. Lari biasanya tiga-empat kilometer saja, pagi biasanya selepas subuh pas akhir pekan. Pagi atau sore ke GBK, atau tea walk ke puncak. Sesekali diving juga kalau lagi tugas luar kota. Hobi lain paling sepak bola, itu sudah sejak SD. Selain itu, ngopi bareng sama teman-teman. Ada klub kopi juga. Cuma pas masa pandemi begini agak susah.
Acara dengan keluarga?
Paling makan bareng. Kalau nonton, enggak bisa. Saya dan istri masih satu selera, tapi anak-anak ini seleranya beda. Apalagi yang suka dengan K-Pop, sampai hafal semua.
Selama masa pandemi Anda WHF?
Saya malah lebih memilih kerja di kantor daripada WFH. Kalau di rumah, semangat kerjanya turun. ***
Penegakan HAM Jadi Berat karena Bias Politik
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo