Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Setelah Sang Ibu Meninggalkan Pesan

Dalam tiga tahun terakhir, sudah ada tiga orang ibu yang bunuh diri sekalian membunuh anak-anaknya.

19 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tragedi berdarah di Malang melahirkan banyak pertanyaan. Dugaan aksi bunuh diri seorang ibu, Junania Mercy—yang sebelumnya menghabisi nyawa empat orang anaknya—memang belum jelas latar belakangnya. Bahkan penyebab kematian sang ibu dan empat anak ini sebetulnya belum konklusif dan akan semakin sulit dideteksi lebih dalam karena keluarga korban keberatan terhadap proses otopsi.

Dengan adanya pil berisi potasium yang berserakan di tempat kejadian dan busa di mulut anak-anak Junania serta surat perpisahan melalui telepon seluler untuk suaminya, polisi dan masyarakat merasa cukup yakin yang terjadi adalah ”aksi bunuh diri massal” akibat tekanan ekonomi dan persoalan rumah tangga.

Dengan demikian, tragedi ”bunuh diri dalam rumah tangga” karena alasan tekanan ekonomi dan masalah rumah tangga ini adalah yang ketiga sejak 2004. Sebelumnya majalah ini mencatat kasus seorang ibu yang membakar diri bersama kedua anaknya (Yogyakarta, 2004) dan seorang ibu yang membakar kedua anaknya setelah bertengkar dengan suaminya (Tangerang, 2006). Penyebabnya mirip: persoalan rumah tangga, ekonomi, dan berbagai beban hidup yang tak tertanggulangi.

Ada dua hal yang memprihatinkan dari serangkaian tragedi ini. Pertama, pelaku aksi bunuh diri itu lazimnya seorang ibu rumah tangga yang menanggung beban ekonomi dan problem rumah tangga yang tak berkesudahan (suami penganggur atau berselingkuh atau melakukan tindak kekerasan kepada istri dan anak-anak). Kedua, sang ibu tak hanya melakukan aksi bunuh diri, tapi juga membunuh anak-anaknya sendiri. Ini artinya, pembunuhan dan aksi bunuh diri ini dilakukan dengan perencanaan yang sangat terperinci dan teliti.

Majalah ini tentu saja tak perlu membuat sebuah khotbah tentang ajaran agama yang melarang bunuh diri atau keputusan orang tua yang membunuh anaknya sendiri (sebelum dia membunuh diri) yang sudah jelas merupakan tindakan kriminal. Yang jauh lebih penting dilakukan di negeri ini adalah mendeteksi kecenderungan tindakan bunuh diri yang tampaknya menjadi pilihan yang ”lezat” bagi para ibu yang putus asa.

Jika Organisasi Kesehatan Dunia saja mencatat bahwa Indonesia adalah satu dari beberapa negara yang tak memiliki suicide rates (angka statistik bunuh diri warganya dalam satu tahun), itu menandakan bahwa memang pemerintah belum memberikan atensi sama sekali terhadap persoalan ini. Sedangkan bagian psikiatrik di sejumlah rumah sakit jiwa tentu saja hanya menangani berbagai kasus kejiwaan secara umum. Lembaga yang khusus menangani pencegahan upaya bunuh diri tampaknya belum terpikirkan.

Di negara maju yang memiliki angka bunuh diri yang cukup tinggi seperti Jepang, AS, dan negara-negara Eropa, lembaga manajemen krisis mental bukan hanya diwajibkan ada di setiap rumah sakit, melainkan juga ada di setiap perguruan tinggi dan permukiman. Lembaga manajemen depresi semacam ini lazimnya memberikan kelas dan lokakarya kepada warganya, terutama karena masyarakat abad ini sudah memasuki apa yang disebut masyarakat multitasking: para ibu adalah pencari nafkah (breadwinner) sekaligus pengurus anak-anak di rumah. Di lembaga semacam ini, beban yang sering dianggap sepele ini akan diurai, didiskusikan, dan dicarikan metode manajemennya.

Jika penyair Sylvia Plath yang pernah menyatakan ada bagian kecil dalam jiwa manusia yang tak akan pernah bisa disentuh barang seusapan pun (dia tewas bunuh diri dengan gas bersama kedua anaknya, meski akhirnya anak-anaknya bisa diselamatkan—Red.), tak berarti jiwa yang rapuh itu tak bisa diselamatkan. Sebaiknya kita tak perlu lagi menanti para ibu (atau ayah) yang membakar diri (dan anak-anaknya) karena merasa hidup telah buntu. Di antara kesibukan mengatasi hal makro seperti bencana alam, korupsi, dan reshuffle kabinet, langkah-langkah ”kecil” menyehatkan mental masyarakat harus segera dimulai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus