Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Berita Tempo Plus

Mengakui Kesalahan, Itulah Soalnya

Xanana Gusmao melaporkan kejahatan hak asasi manusia di Timor Leste kepada PBB tapi menolak menuntut. Indonesia sepatutnya berlapang dada.

30 Januari 2006 | 00.00 WIB

Mengakui Kesalahan, Itulah Soalnya
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SUDAH bisa ditebak sejak awal, pernyataan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao tentang pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste oleh Indonesia tak akan menggelegak. Di markas PBB, New York, Amerika Serikat, ia menolak rekomendasi Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR), yang meminta pengadilan internasional membentuk panel khusus untuk menyelidiki dan mengadili pelaku kejahatan hak asasi manusia di negerinya. Ia juga menegaskan sikapnya untuk mengedepankan rekonsiliasi dan persahabatan dengan Indonesia. Katanya, ini lebih penting ketimbang memenuhi tuntutan keadilan atas kekerasan sepanjang 1975-1999 di Timor Timur, ketika negeri itu menjadi provinsi Indonesia ke-27. CAVR adalah lembaga yang dibentuk PBB dan pemerintah Timor Leste.

Padahal rekomendasi komisi itu terbilang gawat. Dalam dokumen setebal 2.500 halaman, disebutkan Indonesia terlibat dalam lebih dari seribu kasus pelanggaran hak asasi yang menewaskan 183 ribu orang. Lebih detail lagi, Indonesia disebut menggunakan bom napalm untuk menyapu bersih Timor Timur pada awal penyatuan dua negara. Napalm adalah bom berkekuatan tinggi yang pernah digunakan Amerika dalam Perang Vietnam.

Reaksi datang bagai bah. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono membantah soal penggunaan napalm tersebut. Bekas ketua milisi Timor Timur pro-Indonesia, Eurico Gutteres, meminta PBB juga melihat pelanggaran hak asasi yang dilakukan Fretilin, organisasi yang dibentuk Xanana ketika perang. Politisi DPR meminta pemerintah mengambil tindakan tegas, termasuk dengan melakukan embargo atas Timor Leste. Protes juga datang dari Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Muladi, yang juga pernah menjadi pengacara para jenderal yang dituding menjadi dalang pelanggaran hak asasi di Timor Timur. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan membatalkan rencana pertemuannya dengan Xanana karena rekomendasi itu.

Tak sulit menerka mengapa Xanana mendua: membiarkan pemerintah Timor Leste bersama PBB menerbitkan dokumen itu, tapi juga menolak rekomendasinya. Sedari awal Xanana memang punya komitmen untuk tak membawa kasus pelanggaran hak asasi ke pengadilan. Dalam Komisi Kebenaran dan Persahabatan—badan yang dibentuk pemerintah Indonesia dan Timor Leste—jelas disebutkan kedua negara ingin menempuh cara damai dalam mengambil sikap terhadap masa lalu kedua negara. Xanana sadar, ia tak ingin mengusik Indonesia karena secara ekonomi negerinya sangat membutuhkan ”tetangga besarnya” itu. Jika Xanana pergi juga ke New York, itu lebih karena ia memegang amanat untuk melaporkan temuan CAVR ke PBB. Ia juga mesti menimbang kekuatan politik lain di Timor Leste yang ingin bersikap lebih keras kepada Indonesia.

Karena itu Indonesia tak perlu kebakaran jenggot dan defensif—sesuatu yang hanya dilakukan oleh orang yang merasa bersalah. Rekomendasi CAVR—apalagi dengan pernyataan yang lunak dari Xanana—tak berarti para jenderal Indonesia serta-merta diseret ke pengadilan internasional. Negara-negara anggota PBB nanti akan membahas apakah rekomendasi itu akan ditindaklanjuti atau hanya untuk diketahui. Eksekusi rekomendasi juga sangat ditentukan oleh kehendak pemerintah Timor Leste sendiri. Diplomasi yang baik dan bermartabat dengan Timor Leste juga akan mengerem niat keras negeri tetangga kita itu mempersoalkan pelanggaran hak asasi di sana.

Jikapun pengadilan itu nantinya datang, siapkan saja pengacara terbaik Indonesia untuk bertarung di sidang internasional. Citra Indonesia di mata dunia internasional? Dengan atau tanpa rekomendasi CAVR, pencaplokan Timor Timur pada 1975 sudah diketahui publik internasional sebagai sejarah kelam. Dunia justru akan menaruh hormat jika kita legawa, berlapang dada, mengakui kesalahan yang pernah kita buat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus