Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Raib, Terselip? Hidup Soeharto

Kejaksaan Agung bersiap menggugat secara perdata mantan presiden Soeharto dengan dokumen fotokopi. Berkas yang asli entah di mana.

4 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEGALA jerih payah itu kini nyaris tak ada gunanya. Alkisah, tujuh tahun lalu, Direktur Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung Chairul Imam menyorongkan selembar kertas lusuh kepada Bustanil Arifin, mantan Menteri Koperasi yang juga bendahara Yayasan Amal Bhakti Pancasila. ”Apakah dokumen ini otentik?” tanya Chairul. Bustanil mengangguk pelan, ”Ya, asli.”

Berbilang bulan, dokumen demi dokumen terkait dengan tujuh yayasan yang didirikan mantan presiden Soeharto dikumpulkan. Ketika itu, karena dorongan publik setelah jatuhnya Soeharto pada Mei 1998, kejaksaan mengumpulkan bukti penyelewengan yayasan yang diperkirakan telah merugikan negara lebih dari Rp 1,3 triliun. Dalam upaya itulah, ”Kejaksaan menyita sejumlah dokumen penting dari beberapa tempat, termasuk Gedung Granadi,” kata Chairul. Granadi adalah gedung 12 lantai di Kuningan, Jakarta Selatan, tempat yayasan Soeharto berkantor.

Penyidikan berbulan-bulan menghasilkan berkas dakwaan lebih dari 2.000 halaman. Di dalamnya ada hasil pemeriksaan 134 saksi fakta, sembilan saksi ahli, dan ratusan dokumen otentik sebagai alat bukti. Kalau ditumpuk, tinggi dokumen itu bisa setengah meter.

Kini jerih payah itu nyaris sia-sia. Adalah Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Alex Sato Bya yang mengabarkan berita duka itu. Pada Senin pekan lalu, dalam jumpa pers untuk menjelaskan persiapan Kejaksaan Agung menggugat Soeharto secara perdata, ia mengeluh, ”Saya hanya menerima sembilan boks dokumen berupa fotokopi dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.” Dengan kata lain, Alex tak punya berkas asli perkara Soeharto. Padahal gugatan perdata itu rencananya didaftarkan kejaksaan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juli depan, sebelum peringatan Hari Adhyaksa. Berbeda dengan pengadilan pidana, dalam sidang perdata dokumen asli mutlak dibutuhkan.

”Ah, masak sih hilang? Kalau benar, pasti ada sabotase,” kata Chairul Imam berang. Kejaksaan Agung kelabakan. Juru bicara lembaga itu, Salman Maryadi, memastikan para jaksa yang dulu menangani perkara ini satu per satu akan ditanyai. Salman menolak memastikan apakah berkas Soeharto lenyap atau hanya terselip. ”Akan kami telusuri,” katanya.

Selanjutnya aparat kejaksaan mengunci bibir. Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta tak nongol di kantornya sepanjang pekan lalu. Mustaming, juru bicara Kejaksaan Tinggi, mengelukan lidah. ”Itu wewenang Kejaksaan Agung, karena menyangkut perkara nasional,” katanya.

Tak aneh sebenarnya jika dokumen itu raib. Pengamatan Tempo di ruang arsip Kejaksaan Tinggi Jakarta di Kuningan, Jakarta Selatan, menemukan ruang yang tak terurus. Kamar penyimpan data perkara itu ada di lantai dasar, terjepit di antara salon kecantikan, poliklinik, dan kantin. Tak ada satu pun penjaga di sana. Pintu kayunya hanya dikunci ala kadarnya, tanpa gembok, apalagi sistem pengaman elektronik. Dengan posisinya yang nyempil, tak sulit bagi siapa pun untuk menjebol ruang itu tanpa diperhatikan orang.

Namun seorang jaksa yang menolak namanya dikutip meragukan dokumen itu hilang di Kejaksaan Tinggi Jakarta. Dia khawatir berkas penting itu disimpan di tempat lain. Ia menunjuk sejumlah insiden mencurigakan sepanjang penyidikan kasus korupsi Soeharto: ledakan bom di Gedung Bundar pada Juli 2000 dan kebakaran di gedung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, tiga bulan sesudahnya. Setidaknya, ”Salinan berkas perkara disimpan di dua tempat itu,” katanya. Hingga kini tak jelas di mana berkas Soeharto itu disimpan.

Lebih-lebih sudah enam tahun dokumen itu ”tak diperhatikan”. Pada September 2000 Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Lalu Mariyun, menolak mengadili perkara karena Soeharto sakit permanen. Pada Mei 2006 Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menghentikan penuntutan perkara. Di antara dua waktu itu, berkas itu cuma teronggok.

Sempat muncul dugaan, berkas itu diminta kembali oleh pengacara Soeharto, segera setelah Kejaksaan Agung menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara setahun lalu. Namun salah satu kuasa hukum Soeharto, Juan Felix Tampubolon, membantah. ”Belum,” katanya melalui pesan pendek saat ditanya apakah tim Cendana sudah meminta kembali berkas yang masih berada dalam status penyitaan itu.

Minimnya dokumen otentik dalam rencana gugatan perdata Soeharto bakal bikin repot. Apalagi jika tim kuasa hukum tergugat berhasil mementahkan tuduhan jaksa soal adanya perbuatan melawan hukum dalam pengelolaan keuangan Yayasan Supersemar dan enam yayasan lainnya. Menang-kalah di pengadilan perdata memang amat ditentukan pembuktian formal.

Tapi ketua tim pengacara negara, Dachmer Munthe, berusaha optimistis. Meski hanya berbekal dokumen fotokopi, dia yakin bisa menang di pengadilan. Munthe mengaku sudah mengantongi bukti aliran dana Yayasan Supersemar yang menyimpang. ”Yang untuk beasiswa bagi murid miskin paling-paling hanya 5-10 persen,” katanya. Sisanya masuk ke rekening perusahaan swasta, antara lain milik putra kinasih Cendana, Hutomo Mandala Putra, dan pengusaha orang dekat Soeharto, Bob Hassan. Pelanggaran inilah yang dibidik kejaksaan.

Menyiasati alat bukti yang memble, Munthe sudah mempersiapkan solusi. Pada Kamis pekan lalu tim Munthe, yang terdiri dari 12 jaksa ahli perdata, meminta kesaksian tiga orang yang mengetahui seluk-beluk penyaluran dana Yayasan Supersemar. Tiga orang itu bagian dari 50 saksi yang akan dihadirkan ke persidangan. ”Dengan diperkuat kesaksian mereka yang terlibat langsung, semua dokumen bisa ‘bunyi’ di pengadilan,” kata Munthe, yang kini juga Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.

Namun Antonius Sudjata, mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus yang menyelidiki perkara Soeharto, menilai gugatan perdata ini sudah kalah sebelum berperang. Bukan hanya karena dokumen yang dipakai tidak asli, ”Di mana-mana gugatan perdata akan lebih kuat jika ada tuntutan pidana,” kata Ketua Komisi Ombudsman Nasional ini. ”Lha, ini pidananya malah dihentikan.”

Berhasil-tidaknya gugatan bernilai Rp 1,5 triliun ini memang masih harus ditunggu. Mudah-mudahan kejaksaan bekerja keras mencari tahu di mana berkas asli perkara Soeharto terselip. Namun, sampai akhir pekan lalu, tak ada perkembangan dari penelusuran yang dijanjikan Kejaksaan Agung.

Wahyu Dhyatmika, Sandy Indra Pratama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus