Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Marsekal TNI Djoko Suyanto: Harus Ada yang Terus Memonitor Reformasi TNI

2 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marsekal Djoko Suyanto sering kali menjadi yang pertama. Ia adalah Panglima Tentara Nasional Indonesia pertama dari Angkatan Udara. Ia pun orang pertama yang diuji oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebelum menempati jabatan tertinggi tentara itu. Tapi, menjadi yang pertama kadang tak mudah. Ketika dilantik pada 13 Februari 2006, banyak kalangan menyangsikan perjalanan lulusan Akademi Angkatan Udara 1973 ini bakal mulus.

Maklumlah, selain Laksamana Widodo Adi Sutjipto, Tentara selalu dipimpin jenderal Angkatan Darat. Namun, perlahan-lahan ia berusaha menepis keraguan itu. Ia, misalnya, membuka akses yang luas dalam penyelidikan kasus kepemilikan senjata gelap Brigadir Jenderal Koesmayadi, Wakil Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat yang meninggal akhir Mei lalu. Ia juga memerintahkan diadakannya survei bagi penggunaan hak pilih oleh tentara.

Selama tujuh bulan memimpin TNI, ayah dua anak ini mengaku mendapatkan dukungan penuh dari para stafnya. "Rasanya tidak ada tanda-tanda bahwa mereka tidak happy dengan saya," kata Djoko.

Jumat pekan lalu, Marsekal Djoko Suyanto menerima tim Tempo di ruang tamu kantornya di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur. Inilah wawancara khusus pertamanya dengan media massa sejak memimpin TNI. Didampingi Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Sunarto, ia melayani pertanyaan-pertanyaan selama sekitar satu setengah jam. Tutur katanya halus, tak seperti ketika dia menggebuk drum bersama grup musiknya.

Setelah delapan tahun reformasi bergulir, apakah TNI sudah ideal?

Reformasi itu bukan goal, bukan sasaran yang dicapai, tapi proses. Goal-nya adalah TNI yang profesional, yang andal, yang tahu tataran kewenangannya dalam struktur ketatanegaraan, yang dekat dengan rakyatnya, dan yang bisa melaksanakan tugasnya mempertahankan kedaulatan dan keutuhan negara.

Apakah sasaran reformasi itu sudah tercapai?

Kalau kita melihat TNI di masa lalu, dari 1945 sampai 1998, 53 tahun TNI hidup dalam tatanan ketatanegaraan seperti itu: Dwi Fungsi. TNI bisa ada di mana-mana. Tapi pada saat itu, fungsi-fungsi tersebut legitimate, diperbolehkan oleh sistem. Cuma, memang pelaksanaannya eksesif dan ada dampak-dampak sampingan yang kemudian mendapat banyak sorotan. Terutama setelah ada perkembangan global seperti demokratisasi, dan hak asasi manusia. Nah apa yang terjadi dalam delapan tahun ini? TNI tidak diinginkan di parlemen, ya kami keluar, tapi tidak ada yang namanya kita demo ke mana-mana. TNI juga bukan lagi lembaga yang bisa melakukan apa pun.

Tapi ada juga yang menganggap itu belum cukup...

Reformasi itu proses yang tidak ada akhirnya. Tuntutan reformasi tahun 1998, misalnya, beda dengan tuntutan sekarang. Sehingga kalau dikatakan reformasi TNI gagal, menurut saya statement itu prematur. Apa yang kurang, apa yang tidak pas dengan tatanan demokrasi, kan bisa diubah. Selalu dan harus terus demikian.

Bagaimana dengan anggota TNI yang, katakanlah, masih "arogan"?

Ada tiga poin dalam perubahan itu: doktrin, organisasi, dan kultur. Yang paling susah kultur. Dua lainnya mudah. Kita ubah petunjuknya, kita ubah aturannya, kita sosialisasikan ke TNI, selesai. Tapi kultur itu mindset. Ada beberapa anggota TNI yang sekarang masih berada di dalam kultur lama. Seperti saya, Kapuspen, kan hidup di masa lalu. Mungkin kultur dan mindset-nya dia tidak bisa cepat berubah, bukan berarti dia tidak mau. Cuma tidak bisa segera catch up kultur yang baru.

Kalau soal doktrin dan organisasi?

Kalau kita lihat dari segi organisasi, tidak ada lagi struktur seperti Polkamtib atau Assospol. Itu dulu ada karena tugasnya dalam dwifungsi. Dulu TNI juga menjadi lembaga yang sangat ditakuti masyarakat, kini tidak lagi.

Apakah perubahan itu terjadi karena naiknya Angkatan Laut dan Angkatan Udara ke tampuk pimpinan TNI?

Saya menampik hal itu. Ide awal reformasi TNI justru muncul dari Angkatan Darat. Waktu itu mereka masih kolonel. Ada SBY, Agus Widjojo, Syamsul Maarif, dan Agus Wirahadikusumah. Jadi bukan karena Angkatan Laut yang memimpin, atau sekarang giliran Angkatan Udara, tapi karena memang ada arus yang sadar perlunya perubahan. Wacana tersebut sudah bergulir sejak sebelum 1998, tapi saat itu kondisinya belum kondusif.

Apakah presiden Yudhoyono masih memperhatikan reformasi TNI ini?

Presiden sangat mengerti arah dan track yang harus ditempuh. Itu sangat membantu. Yang kedua, beliau juga merasa bertanggungjawab atas kelangsungan reformasi ini. Mau tidak mau kita yang melaksanakan reformasi TNI juga merasa termonitor. Reformasi kalau tidak diawasi dan tidak dikontrol bisa keluar lagi nanti.

Kalau soal politik, TNI tampaknya mudah, bagaimana dengan upaya menata bisnis TNI?

Dua tahun lalu ketika Pak Endriartono Sutarto masih menjadi Panglima, kita mencari rumusan apa yang dimaksud dengan bisnis TNI. Lalu ada definisi bisnis TNI itu pokoknya yang ada transaksi berupa lalu lintas keuangan. Kita tanya ketika itu, kalau isteri saya atau isteri seorang kopral buka toko di rumahnya, ada laba dan untung, apakah itu dikategorikan bisnis TNI? Saya tidak setuju kalau definisinya seperti itu. Kecuali kalau pemerintah mau mengganti hasilnya. Demikian juga koperasi dan yayasan yang dikelola untuk membantu anak sekolah, atau membantu kalau ada yang gugur.

Lalu bisnis seperti apa yang harus ditertibkan?

Yang tidak boleh adalah kalau Mabes TNI, misalnya, punya Hak Pengelolaan Hutan di Kalimantan atau Angkatan Laut punya kapal pengangkut ikan berapa puluh, lalu yang menjalankannya adalah mereka yang masih aktif di situ. Saya setuju itu ditata ulang.

Waktu Pak Endriartono Sutarto, terjaring sekitar 1.500-an perusahaan yang tergolong bisnis TNI. Sebesar apa kontribusi mereka kepada TNI?

Dulu Pak Tarto pernah cerita katanya ada sinyalemen bahwa 70 persen dari anggaran TNI didukung oleh bisnis itu. Tapi, nyatanya tidak. Kalau melihat kondisi mereka, tidak mungkin bisa seperti itu.

Kenapa? Banyak yang justru terus merugi?

Katanya seperti itu, tapi saya tidak tahu satu per satu. Tapi lepas dari itu, sinyalemen tersebut sangat tidak benar. Katakanlah, sekarang anggaran TNI Rp 20 triliun, masa iya Rp 15 triliunnya berasal dari bisnis? Seperti apa bisnisnya? Yang logis saja. Tapi kalau itu menunjang kesejahteraan prajurit seperti untuk membangun perumahan, membantu beasiswa, mungkin ada.

Tapi katanya bisnis itu justru untuk menunjang kesejahteraan para jenderal?

Hahaha, saya kok nggak pernah merasakan.

Dengan menyerahkan perusahaan-perusahaan itu kepada pemerintah, bagaimana tunjangan-tunjangan seperti beasiswa itu dibiayai?

Ya, minta kepada pemerintah. Oleh karena itu dalam rapat dengar pendapat dengan DPR kemarin, kita sempat hitung-hitungan lagi kebutuhan minimal prajurit. Misalnya tunjungan isteri cuma 10 persen, tunjangan anak 5 persen. Jadi kalau gaji prajurit Rp 800 ribu, isterinya hanya menerima Rp 80 ribu sebulan. Itu sangat tidak proporsional. Kita juga akan mengajukan tunjangan anak sekolah dan bantuan pembelian rumah. Kita harapkan setelah pensiun nanti, mereka sudah punya tempat berteduh. Tapi, ini hanya untuk prajurit. Yang pangkatnya tinggi, ya nggak usahlah.

Kepolisian pernah mengajukan Rp 8 juta untuk gaji anggotanya, berapa kira-kira yang pas untuk TNI?

Ya kalau ada tunjangan rumah, serta tunjangan isteri dan anak disesuaikan dengan kebutuhan kalori, mudah-mudahan nanti take home pay-nya sekitar itu juga. Ini nanti akan kita sarankan ke Departemen Pertahanan, Departemen Keuangan, dan DPR. Kalau berhasil, penyerahan bisnis TNI ke pemerintah justru akan menguntungkan prajurit, bukan para jenderal seperti sinyalemen-sinyalemen itu.

Beberapa pengamat mengatakan Anda belum "diterima" oleh Angkatan Darat. Benarkah?

Mereka hanya melihat dari atas saja. Tidak melihat bagaimana kehidupan saya, kepergian saya ke mana-mana. Saya sudah mengunjungi markas Kopassus, Kostrad, dan juga beberapa Kodam. Tapi, saya tidak bisa menilai diri saya sendiri apakah saya diterima sampai di grass root. Karena kalau saya menilai, sangat subyektif. Namun secara pribadi sejauh ini saya rasanya tidak ada tanda-tanda bahwa mereka tidak happy dengan saya.

Dalam kasus Koesmayadi, apakah anda mendapatkan akses yang seluas-luasnya dalam penyidikan?

Arahan Presiden adalah kita harus memproses dan mengusut sesuai aturan hukum yang berlaku. Pijakan saya pijakan hukum. Itu merupakan kewenangan Puspom TNI. Saya dan Kasad tidak boleh mencampuri.

Bagaimana dengan anggapan DPR, misalnya, bahwa penyelidikan kasus ini tidak serius?

Inilah, ada ekspektasi yang terlalu tinggi dari berbagai pihak. Kalau kasusnya seperti ini harus ada jenderal yang dihukum. Anggapan itu tidak melihat proses ini secara hukum. Kalau pun hasilnya, nanti, misalnya yang dihukum A, B, C, D, itu sudah sesuai proses hukum. Bukan karena di-set up agar anak buah dikorbankan, bukan juga karena kita tidak berani menghukum jenderal bintang tiga atau empat.

Apa yang sudah dilakukan untuk mencegah ini berulang?

Seharusnya kalau kita ikut aturan, hal itu tidak mungkin terjadi. Yang terjadi kemarin itu pengecualian. Tapi sekarang tidak mungkin ada lagi yang berani main-main begitu. Saya misalnya, tidak ingin suatu saat setelah pensiun di rumah, lagi main drum, gitaran, tiba-tiba dipanggil ke gedung bundar gara-gara masalah ini.

Selain kasus Koesmayadi ada juga penemuan senjata lain...

Kasus itu sedang ditangani polisi. Mungkin mereka juga bekerja sama dengan Puspom.

Sekarang ada joke, orang mulai ketakutan dan buang-buang senjata?

Itu bisa saja. Tapi sejauh ini belum ada hubungannya dengan TNI. Yang ditemukan itu bukan senjata organik TNI.

Menunggu keputusan DPR soal hak pilih, benarkah TNI sudah siap memilih?

Ilustrasinya begini: TNI itu hanya 400 ribu. Katakanlah jumlah pemilih itu 120 juta. Dari yang punya hak pilih katakanlah 10 persen saja tidak menggunakan hak pilihnya, berarti ada 12 juta orang. Apa artinya anggota TNI yang hanya 400 ribu itu?

Tapi ada kekuatiran, misalnya, TNI akan kembali menggunakan kekuatan untuk membela salah satu partai?

Apa iya? Katakanlah saya nodong Anda, pilih Golkar atau Demokrat. Nah kalau Anda tidak mau, lalu teriak-teriak, TNI malah bisa hancur. Konsekuensinya sangat besar. Zaman sekarang orang tidak bisa lagi memaksakan kehendaknya kepada yang lain.

Apakah TNI sendiri sudah siap kalau diberi hak pilih pada 2009?

Kalau saya bilang siap nanti ribut. Yang kami siapkan sekarang hanya pedoman dan aturan. Itupun kalau TNI nanti boleh memilih. Kalau sudah diikat dengan aturan, ya harus siap. Cuma rambunya yang harus kita jaga. Kalau dia melanggar misalnya, yang nanti punya jabatan dilepas, dan seterusnya. Itu sedang dirumuskan.

Berapa kira-kira anggaran TNI tahun ini?

Kami berharap meningkat 10-15 persen, dari Rp 23 triliun tahun sebelumnya.

Prioritas anggarannya nanti apa saja?

Seperti saya katakan ketika pertama kali diangkat, kita akan meningkatkan kesiapan alat utama sistem persenjataan. Kemudian kesejahteraan prajurit dan meneruskan agenda reformasi. Kita juga akan mempertajam pembelian sistem persenjataan. Kalau dilihat sepintas, anggaran TNI memang besar, kedua setelah Departemen Pendidikan Nasional. Tapi, sebagian besar, yang sekitar Rp 11 triliun, untuk anggaran rutin dan gaji.

Kalau boleh dipetakan apa masalah terbesar TNI saat ini?

Pertama, peralatan. Kalau kemampuan personel saya tidak ragu. Berikutnya kesejahteraan prajurit. Prajurit kami saat ini tidak sepenuhnya bisa berkonsentrasi pada tugasnya karena harus memikirkan biaya sekolah anak-anak, dan sebagainya. Dua itu yang sulit, yang saya pikir tidak akan mungkin saya pecahkan dalam dua tahun masa jabatan saya karena saya sudah pensiun tahun depan.

Menyambut HUT TNI ini, adakah pesan khusus untuk prajurit anda di lapangan?

Ya. Meski di dalam situasi yang penuh keterbatasan, pemerintah belum bisa memenuhi permintaan prajurit baik dari perlengkapan dan kesejahteraannya, saya berharap motivasi, semangat dan solidaritas untuk bekerja lebih baik terus dipupuk. Kepada prajurit saya juga minta untuk menjauhi hal-hal yang melanggar hukum dan norma karena itu akan mencedarai proses kita untuk menjadikan TNI itu tentara yang berdisiplin, loyal, dan tahu aturan, sesuai dengan arah reformasi. n

Marsekal TNI AU Djoko Suyanto

Lahir: Madiun, 2 Desember 1950

Pendidikan:

  • Lemhanas (1999)
  • Joint Services Staff College, Australia (1995)
  • Seskoau (1990)
  • Sekolah Penerbang XX/Lulusan Terbaik (1975)
  • AKABRI Bagian Udara (1973)

Karir:

  • Panglima TNI
  • KSAU (2005)
  • Asisten Operasi KSAU, Jakarta (2003)
  • Panglima Koopsau II, Makassar (2001)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus