Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kudeta Nih...

2 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seandainya Ibnu Khaldun masih hidup, ia tentu sangat menikmati polemik antara Baharuddin Jusuf Habibie dan Prabowo Subianto belakangan ini. Maklum, cendekiawan abad ke-15 yang dikenal sebagai peletak metode ilmu sejarah modern ini berpendapat sejarah tak dapat disusun semata-mata dari fakta, tapi harus dikaitkan dengan konteks dan paradigma yang berlaku ketika sebuah peristiwa terjadi.

Simaklah sekarang silang pendapat antara B.J. Habibie dan Prabowo Subianto, dua tokoh yang sempat akrab di masa-masa akhir rezim Soeharto dan sekarang-di era demokratis-bertikai tentang kisah bersama mereka di masa lalu.

Perdebatan ini awalnya terpicu oleh peluncuran buku B.J. Habibie berjudul Detik-detik yang Menentukan, Kamis dua pekan lalu. Buku setebal 549 halaman itu memuat kesaksian Habibie sekitar proses lengsernya Presiden Soeharto dan berbagai peristiwa yang terjadi saat ia menjadi Presiden Republik Indonesia.

Termasuk yang secara rinci diceritakan adalah laporan Panglima ABRI Jenderal Wiranto tentang adanya gerakan pasukan liar di sekitar Istana dan rumah kediamannya sehingga Presiden Habibie dan keluarganya diusulkan untuk diungsikan ke Istana. Atas dasar laporan itulah Presiden Habibie lalu memerintahkan Wiranto untuk segera mencopot Prabowo Subianto sebagai Panglima Kostrad. Prabowo kemudian datang menemui Habibie di Istana dan meminta pencopotannya diundur tiga bulan, namun ditolak.

Peristiwa itu sebenarnya sudah menjadi fakta sejarah, namun rincian isi percakapan keduanya dalam buku itu yang kemudian dibantah Prabowo. Ia lantas menggelar konferensi pers karena merasa diinsinuasikan akan melakukan kudeta dan berlaku kurang patut. Mantan menantu Presiden Soeharto ini juga sempat berupaya bertemu Habibie dan minta agar buku itu direvisi. Habibie menolak.

Prabowo tak menyerah. Kini ia menyatakan akan menulis buku untuk mengklarifikasi tuduhan yang dianggapnya tidak benar itu. Ini memang cara penyelesaian yang paling baik di alam demokrasi sekarang. Perbedaan pendapat, apalagi menyangkut kisah yang menyangkut pertemuan empat mata, sebaiknya dilemparkan saja ke orang ramai melalui penulisan buku oleh masing-masing pesertanya. Setelah itu, biarlah publik dan para ahli sejarah memperdebatkan, meneliti, dan mengambil kesimpulan.

Sebab sejarah, seperti kata Napoleon Bonaparte, adalah "versi kisah masa lalu yang disepakati bersama". Bahan-bahan dari buku siapa yang paling dapat meyakinkan, misalnya karena didukung dokumen otentik dan kesaksian pihak lain, tentu yang akan dipercaya dan ditahbiskan menjadi catatan sejarah. Ini pun bukan harga mati, karena revisi sejarah selalu dapat dilakukan bila terdapat bukti-bukti baru yang kesahihannya tak diragukan.

Buku versi Prabowo-mudah-mudahan jadi ditulis-diharapkan akan semakin melengkapi bahan para pakar sejarah untuk mengkaji proses kelahiran reformasi Indonesia, yang diwarnai dengan huru-hara yang mengambil korban jiwa dan harta cukup banyak itu. Ini akan memperkaya informasi dari buku-buku yang telah terbit sebelumnya, seperti yang ditulis oleh Jenderal Wiranto, mendiang Profesor Doktor Sumitro Djojohadikusumo, maupun Mayor Jenderal Kivlan Zen. Selain itu juga ada laporan Tim Gabungan Pencari Fakta dan berbagai pemberitaan di media massa. Kita tentu berharap tokoh-tokoh lain seperti Jenderal Endriartono Sutarto, Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, pun akan menyusul.

Soalnya, semakin banyak buku yang ditulis oleh para pelaku dan saksi di masa perubahan kekuasaan itu, akan semakin kaya pula informasi yang dapat diakses generasi mendatang untuk lebih memahami pergulatan pemikiran yang terjadi di masa sebelumnya. Dengan demikian, hikmah yang dapat dimanfaatkan untuk terus-menerus memperbaiki kinerja bangsa dan negara pun semakin besar.

Antara lain dalam upaya mencari jawab atas berbagai pertanyaan. Misalnya: mengapa kerusuhan terjadi, mengapa tentara seperti membiarkannya? Siapa di belakangnya, dan siapa pula yang harus bertanggung-jawab?

Masyarakat perlu tahu apa yang terjadi dan bagaimana sebenarnya perilaku para politisi dan pejabat tinggi di masa krisis itu. Terutama karena kebanyakan mereka masih aktif berpolitik, bahkan berambisi duduk di pucuk kekuasaan. Karena krisis adalah gelanggang terbaik untuk menguji integritas dan kepribadian seseorang, kelakuan mereka di saat "detik-detik menentukan" perlu diketahui oleh khalayak luas.

Tentu saja semua informasi dari para pelaku sejarah itu perlu disikapi dengan kritis. Sebab, seandainya Ibnu Khaldun masih hidup, ia tak akan begitu saja menerima kesimpulan Habibie di bukunya. Ia mungkin akan bertanya kepada Habibie apakah dukungannya pada Wiranto karena ia sangat percaya kepada sang Panglima ABRI atau karena bekas ajudan Presiden Soeharto itu memiliki Instruksi Presiden Soeharto Nomor 16 Tahun 1998 (tanggal 18 Mei 1998) yang menunjuk Wiranto sebagai Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional?

Kita tak tahu apa jawaban Habibie. Namun, keelokan hidup di alam demokratis adalah: setiap orang boleh saja menjadi Ibnu Khaldun dan menikmati perbedaan pandangan yang berlangsung di masyarakatnya dengan kritis.

Mengapa tidak?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus