Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA hari belakangan ini Mira Agustina kian sibuk. Sejak suaminya, Umar al-Faruq, dikabarkan tewas, Mira diburu banyak wartawan. Hampir seluruh waktunya habis buat meladeni mereka sehingga tanpa ia sadari anak sulungnya, Al-Goliah, 6 tahun, jatuh sakit.
Sepeninggal suaminya, hidup perempuan 28 tahun itu bersama dua anaknya, kian morat-marit. Pernah ia berniat menjual rumahnya dan meninggalkan kampung kelahirannya untuk memulai kehidupan baru, tapi rumah itu tak laku-laku. Ketika Kamis pekan lalu Tempo mengunjunginya di rumahnya di Cigombong, perbatasan Bogor-Sukabumi, Jawa Barat, beberapa orang tampak sedang menonton televisi. Ada lima bocah belasan tahun bergabung di ruang depan itu.
Mira muncul selepas isya. Ia segera mengganti jilbab dan gamis putih yang dipakainya dengan daster hijau dan celana panjang hitam, tanpa jilbab. Sambil mendekap dua anaknya, ia mengaku, ”Saya seperti tidak menginjak bumi,” ketika ditanya perasaannya mendengar kabar kematian Al-Faruq.
Mira tak percaya suaminya teroris, apalagi tangan kanan Usamah bin Ladin seperti yang dituduhkan Amerika Serikat. ”Kalau dia teroris, mungkin dia akan menyamar atau tidak mau bergaul dengan masyarakat,” katanya dengan suara tinggi. ”Tapi dia tidak pernah mengganti-ganti potongan rambut sejak saya mengenalnya. Dia juga selalu mengajak temannya berjemaah ke masjid. Dia selalu mengucapkan salam saat bertemu orang lain,” ujar Mira yang tidak tamat sekolah dasar tapi pernah mengenyam pendidikan agama di sebuah pesantren di Jawa Tengah.
Ia juga tak percaya suaminya tewas. ”Al-Faruq selalu menggunakan arloji di lengan kanan, bukan di lengan kiri seperti di foto ini,” katanya menunjukkan foto mayat yang disebut sebagai Al-Faruq, yang dimuat di satu surat kabar. ”Hidungnya mancung dan ujungnya lancip, tidak besar seperti ini,” Mira menambahkan.
Ciri yang paling jelas dari Al-Faruq, menurut Mira, ”Semua giginya ditambal.” Dia mengakui Al-Faruq memiliki orang tua angkat di Kuwait dan pernah tinggal bersama mereka ketika Al-Faruq menjadi yatim. ”Saya tidak tahu keadaan mereka,” kata Mira, sambil mengatakan kontak terakhirnya dengan Al-Faruq melalui surat yang dikirim lewat Palang Merah Internasional ketika dia ditahan di Bagram.
Sejak suaminya menghilang, Mira langsung menjadi tulang punggung keluarga. Dia harus menghidupi ibu, tiga adik, dan dua anaknya dengan berjualan nasi uduk, kue basah, atau kadang-kadang menjadi pengasuh bayi. Saat Al-Faruq masih tinggal bersama mereka, kebutuhan hidup dipenuhi sang suami dari hasil bisnis kayu gaharu dan mutiara. ”Dia melarang saya bekerja,” ujar Mira sambil mengatakan suaminya sangat tak suka ikan asin, yang disebutnya ”ikan busuk”.
Menjelang dini hari, sekitar pukul 01.00, Al-Goliah tiba-tiba menggigil sambil mengigau. Mira meraba badan anaknya. Tubuh tambun gadis kecil itu panas. Mira segera membangunkan dan memberinya obat. ”Pakai sarung Abi (ayah) ya, Nak,” katanya sambil menyelimuti Al-Goliah dengan sarung kotak-kotak cokelat milik Al-Faruq. Di luar rumah, malam merambat menuju subuh.
Sunariah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo