Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memimpin negara demokratis bukan hal gampang, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang merasakannya. Sejumlah jenderal purnawirawan dan aktivis senior berunjuk rasa pada 15 Januari lalu, dan mengajak rakyat agar mencabut mandat dari pemerintahnya. Dikenal sebagai pribadi yang santun, dapat dipahami jika alumni Akabri tahun 1973 ini menanggapinya dengan serius. Maklum, dalam deretan daftar pemrotes tertera nama para seniornya ketika masih aktif di militer, bahkan juga seorang teman yang telah diangkatnya menjadi penasihat presiden.
Perasaan pribadi ini tentu harus dihormati dan ditempatkan dalam lokasi yang tepat: di ruang privat. Di ruang publik, aksi demo ini tetap harus disikapi sebagai bagian dari keniscayaan berdemokrasi. Setiap warga berhak mengutarakan aspirasi politiknya kepada orang ramai dan, selama dilakukan dengan damai, itu adalah bagian dari sistem komunikasi politik yang sah. Barangkali caranya membuat kesal dan menyebalkan. Tapi, seperti kata para leluhur kita, "Tak ada umpat yang membunuh, tak ada puji yang menggenjang."
Pepatah ini tak cuma berlaku di Indonesia. Sir Winston Churchill, saat masih menjadi perdana menteri negara demokratis tertua di dunia, pernah mengatakan, "Keberanian tak cuma ditunjukkan pada saat berdiri dan berbicara, tapi juga ketika duduk dan mendengarkan." Dalam konteks ini, tak ada alasan bagi Presiden Yudhoyono untuk khawatir atas ulah ratusan pengritiknya, mengingat ia dipilih oleh hampir 70 juta rakyat Indonesia.
Dukungan itu juga masih solid. Hasil jajak pendapat terakhir Lembaga Survei Indonesia menunjukkan dua pertiga rakyat Indonesia yang mempunyai hak pilih masih memberikan dukungan. Walhasil, selama pemerintah terus bekerja keras menyejahterakan bangsa menurut konstitusi dan undang-undang, puluhan juta rakyat tentu tak akan merelakan pimpinan pilihan mereka dijatuhkan sewenang-wenang.
Apalagi kebanyakan tokoh pengritik itu ternyata bekas pejabat yang tak dikenal punya kinerja cemerlang ketika masih berdinas. Bahkan setelah pensiun pun mereka tetap melecehkan hasil pilihan mayoritas rakyat dengan mengajukan gagasan mencabut mandat. Agaknya, kendati reformasi telah berlangsung hampir sepuluh tahun, mereka belum juga dapat menerima ide berdemokrasi dengan benar: bahwa cara mengganti pemerintah adalah melalui pemilihan umum. Hanya jika presiden mengkhianati konstitusi atau melakukan tindak kriminal berat, dapat dilakukan proses upaya pemakzulan melalui usulan DPR yang disahkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Suka atau tidak, hingga saat ini tak terlihat alasan kuat untuk memakzulkan pemerintahan SBY-JK. Walaupun kekurangan mereka memang masih banyak dan, karena itu, layak terus dikritik, tak ada kebijakan mereka yang mengindikasikan pengkhianatan terhadap konstitusi atau tindakan kriminal. Maka yang diperlukan adalah memberikan kesempatan bagi pemerintah sekarang untuk memperbaiki kinerjanya dalam masa jabatan yang tersisa, hingga Oktober 2009.
Jangka waktu yang sama sebaiknya dimanfaatkan oleh mereka yang ingin mempunyai pemerintah baru untuk menyiapkan kandidat presiden dan wakil presidennya masing-masing. Ini dapat dilakukan melalui partai politik yang ada atau, jika perlu, dengan membuat yang baru. Jenderal Purnawirawan Wiranto telah menempuh jalan ini dengan membentuk Partai Hanura. Ini contoh yang baik bagi mereka yang ingin menjadi presiden atau ingin mendukung tokoh idolanya menduduki jabatan nomor satu di Tanah Air.
Ini bukan berarti mereka yang kritis tapi tak berpartai harus disisihkan. Dalam sistem demokratis, mereka yang berteriak mengabarkan kesalahan pemerintah jauh lebih bermanfaat bagi kemaslahatan rakyat ketimbang kalangan yang berdiam diri tatkala mengetahui pemerintah berbuat salah. Kalaupun "kesalahan" yang diteriakkan ternyata keliru, ini dapat segera diklarifikasi dan menjadi masukan bagi pemerintah tentang kelemahannya dalam berkomunikasi. Sebaliknya, mereka yang membiarkan pemerintah berbuat salah tanpa melakukan apa-apa sebenarnya telah menggali kuburannya sendiri. Sebab, seperti kata Edmund Burke, seorang negarawan asal Irlandia, "Persyaratan yang dibutuhkan kekuatan jahat berkuasa hanyalah bahwa jika orang baik-baik berdiam diri."
Kesadaran tentang pentingnya suara oposisi ini yang menyebabkan Churchill tetap menjunjung sistem demokrasi kendati sedang dihujat berat. Alih-alih marah, peraih anugerah Nobel yang mengantar negerinya menjadi pemenang Perang Dunia Kedua ini malah mengatakan, "Pemerintahan demokratis itu adalah sistem terburuk kecuali jika dibandingkan dengan cara lain yang pernah dicoba."
Apa boleh buat, menjadi pemimpin negeri yang demokratis memang tak mudah. Bahkan harus tetap berlapang dada ketika para mantan atasan, teman seprofesi, dan seorang teman yang diangkat menjadi penasihat turun ke jalan meneriakkan "cabut mandat".
Ulah mereka mungkin menjengkelkan dan menyakitkan hati, namun rasanya tak perlu ditanggapi dengan kemarahan dan rasa cemas, bahkan tak usah serius. Jangan-jangan cukup hanya dengan- mengutip sebuah iklan rokok-tanya kenapa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo