Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUKTAMAR Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang, Jawa Timur, awal Agustus ini, bakal jadi ajang romantisisme bagi Martin van Bruinessen akan kesehariannya di Indonesia pada 1980 dan 1990-an. Sebagai salah satu narasumber diskusi pra-muktamar NU, profesor Utrecht University, Belanda, yang menulis sejumlah buku mengenai Islam di Indonesia ini didapuk untuk berbicara soal quo vadis organisasi ulama yang kini dipimpin KH Said Aqil Siroj itu.
NU, dalam karier Bruinessen sebagai antropolog, punya tempat istimewa. Lebih dari sembilan tahun tinggal di Indonesia, pria yang kini menetap di Belanda ini bergumul dengan sejumlah literatur Islam, diskusi, dan telaah mengenai perkembangan pemikiran di Indonesia. Keseharian itulah yang kemudian menuntun Bruinessen mendalami pemikiran Islam, terutama NU.
Sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan Islam, pesona NU dianggap Bruinessen menarik. Itu karena pemikiran-pemikiran yang tumbuh dan berkembang dalam organisasi Islam terbesar se-Indonesia ini dinilainya dinamis. Baik pada awal ormas tersebut didirikan oleh Kiai Hasyim Asy'ari di Tebuireng maupun tiap mengalami perubahan rezim kekuasaan. Adapun kini, menurut Bruinessen, kondisi ormas yang dinamis, jikapun masih ada, tak lagi dominan di NU.
"Nanti akan kita lihat musyawarah generasi muda di Muktamar NU. Ini sesuatu yang menarik karena mereka umat biasa atau bukan anak kiai, berasal dari lingkungan pesantren, loyal pada tradisi, tapi juga berusaha mengembangkan visi baru yang relevan bagi masa depan Indonesia," kata Bruinessen kepada wartawan Tempo Isma Savitri, Sunudyantoro, dan fotografer Frannoto, yang menemuinya di Jakarta Pusat, Kamis siang pekan lalu.
Pada usia yang hampir masuk kepala tujuh, pria yang lancar berbahasa Indonesia ini tetap terlihat bugar. Bruinessen mengaku masih aktif bolak-balik Utrecht-Istanbul untuk mengajar di sebuah kampus di ibu kota Turki tersebut. Minggu ini, ia terbang ke Indonesia dan tinggal hingga pertengahan Agustus untuk menjadi pembicara di Jombang dan bertemu dengan sejumlah kolega untuk kembali berkutat dalam diskusi-diskusi soal perkembangan Islam di Nusantara.
Menurut Anda, seperti apa idealnya sosok pemimpin NU nanti?
Untuk dewan tanfidz, yang dibutuhkan adalah orang yang bisa bergerak di luar dan punya naluri politik. Itu karena mereka harus jadi perantara antara ormasnya dan wilayah politik serta ekonomi. Orang yang tidak paham politik sama sekali tidak ada gunanya sebagai ketua umum. Tapi selama ini saya lihat NU punya tradisi memiliki ketua umum yang cukup memahami politik.
Jadi, kalau setelah menjadi ketua lalu dilamar jadi wakil presiden, tidak ada persoalan secara organisasi?
Saya merasa, dibanding tentara, lebih baik orang yang punya pengalaman di ormas besar yang jadi politikus. Ormas kan memang tempat untuk belajar proses demokrasi.
Tantangan apa yang mesti dicarikan solusinya oleh Ketua NU periode berikutnya?
Salah seorang calon Ketua NU sering berbicara soal gerakan transnasional. Seperti salafi, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan sekarang ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah). HTI punya daya tarik bagi orang NU karena wacananya agak mirip dengan wacana fikih para kiai, seperti halnya PKS (Partai Keadilan Sejahtera) punya daya tarik di kalangan Muhammadiyah karena wacananya. Nah, Hizbut Tahrir punya kepemimpinan internasional yang kita tidak tahu ada di mana—tapi bukan di Indonesia. Saya bisa memahami ini jadi satu ancaman bagi ormas di Indonesia. Kalau kiai bisa dipengaruhi oleh mereka, wibawa NU di kalangan pengikutnya bisa turun karena itu jadi semacam menyerahkan kekuatan ke luar negeri. Tapi yang harus para calon Ketua NU sadari, organisasi seperti NU unik di dunia. Penerimaan NU pada perbedaan itu sesuatu yang sangat indah dan diperlukan di bagian dunia Islam lainnya juga.
Tapi kenapa NU tidak bisa mentransfer gaya hidup majemuk itu ke dunia internasional?
Itu yang sering saya pertanyakan. Ketika pada 1955 Sukarno mengadakan Konferensi Asia-Afrika (KAA), Indonesia dikagumi sebagai pelopor gerakan nonblok. Pamor itu kini sudah hilang, tapi bisa kembali karena Indonesia punya tradisi yang bisa jadi teladan gaya hidup. Saya kira NU bisa menawarkan gaya mereka, begitu pula Muhammadiyah.
Kenapa orang Islam harus menjadi seperti orang Arab? Padahal banyak dari budaya Islam di sini yang bisa ditawarkan. Mungkin NU dan Muhammadiyah harus mengembangkan satu strategi untuk menawarkan sesuatu yang bernilai kuat. Misalnya mengenalkan solusi terkait dengan kemajemukan terhadap konflik yang ada di luar.
Apa yang membuat NU dan Muhammadiyah kurang menggema di dunia?
Masa KAA pertama digelar dengan sekarang kan berbeda. Masa sekarang lebih majemuk dan suara yang lebih berpengaruh adalah yang radikal. Nah, sekarang NU dan Muhammadiyah punya banyak cabang di luar negeri serta profesional yang bekerja di perusahaan terpandang. Merekalah yang bisa membawa pemikiran-pemikiran khas Indonesia ke luar negeri.
Muktamar NU tahun ini mengangkat tema Islam Nusantara. Apakah ini menunjukkan kebutuhan untuk mendeklarasikan nilai Islam Indonesia yang jadi rahmat bagi seluruh umat?
Islam Nusantara bukan sesuatu yang baru karena sejak dulu sudah khas NU. Gus Dur (Abdurrahman Wahid) pun bilang orang Islam tidak harus menjadi orang Arab. Islam berbaju budaya Indonesia sama sahnya dengan Islam berbaju Arab, Pakistan, dan Afganistan. Mungkin banyak hal dari Indonesia itu menarik bagi orang luar Indonesia juga.
Menurut Anda, peran NU masih relevan untuk masa kini?
Ketika pada 1980-1990-an saya meneliti perkembangan pemikiran di Indonesia, NU menjadi yang paling menarik karena organisasinya dinamis. Sekarang, kalaupun kondisi itu masih ada, tidak terlalu dominan di NU. Nanti akan kita lihat musyawarah generasi muda di Muktamar NU. Ini sesuatu yang menarik karena mereka umat biasa atau bukan anak kiai, berasal dari lingkungan pesantren, loyal pada tradisi, tapi juga berusaha mengembangkan visi baru yang relevan bagi masa depan Indonesia.
NU adalah organisasi massa terbesar di Indonesia dan barangkali terbesar di dunia. Muhammadiyah secara organisasi lebih rapi, tapi NU mewakili satu umat yang jauh lebih luas. Jadi NU sangat penting, walau mungkin politik internalnya tidak terlalu canggih dan menarik. Tapi, karena massanya sangat penting, kita tak bisa sia-siakan orang desa yang menjadi anggota NU. Justru, bagi saya, mereka lebih menarik dibanding pejabat-pejabat yang memboroskan uang negara. Dari segi pemikiran, NU juga sangat penting, terutama pada generasi Gus Dur. Ada sejumlah tokoh yang berani mempertahankan tradisi dan membawa perubahan di dalamnya. Mereka mempertahankan ziarah kubur, tahlil, perayaan Maulid Nabi tapi sekaligus membawa pembaruan dalam pemikiran fikih.
Anda tadi menyebut orang-orang di desa yang semestinya dirawat oleh NU. Tapi sekarang kehadiran NU bagi banyak orang seolah-olah baru terasa ketika menjelang pemilihan presiden atau legislatif. Apakah memang NU kian dimanfaatkan semata untuk menggalang basis dukungan politik?
Itu ada karena dasar keterikatan orang pada NU adalah patron. Di NU, kiai menjadi patron orang di pesantren dan lingkungan sekitarnya. Peranan patron yang memperantarai itu lebih menguntungkan saat pemilu dan sebagainya. Tapi, selain itu, usaha mengembangkan pemikiran baru dalam tradisi tersebut tetap ada, dan itu relevan bagi generasi muda.
Generasi muda NU sendiri cenderung makin inklusif atau seperti apa?
Sejak tahun 2000, ada tradisi baru di NU. Menjelang Natal, Banser—yang dulu jadi "tukang pukul"-nya NU—sekarang melindungi gereja. Ini sesuatu yang sangat menarik. Dari segi agama, Banser menolak ajaran Kristen—seperti mereka menolak ajaran Ahmadiyah—tapi pernah melindungi mereka. Sebagai simbol, ini penting karena menunjukkan NU mendukung pluralisme atau orang-orang yang "lain" dari mereka. Ini sesuatu yang sangat penting untuk keutuhan bangsa, dan sangat saya hormati. Budaya NU itu sangat Jawa, yang sangat toleran kepada orang yang aneh-aneh.
Di NU sendiri ada anak muda yang intelek, tapi juga paham kitab kuning. Kita lihat ada anak muda NU seperti Abdul Moqsith Ghazali, yang mungkin lebih mainstream dibanding Ulil Abshar Abdalla. Moqsith sangat pintar dan menguasai ushul fiqh, sehingga dia bisa mengambil kesimpulan yang lebih jauh daripada kiai pada umumnya. Orang seperti itu saya kira yang akan membuat NU tetap menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman.
Mengapa pikiran yang aneh dan berani itu justru datang dari anak-anak muda NU yang dikenal masih tradisional?
Saya kira itu bagian dari kehidupan tradisional di Jawa dan bagian lain Indonesia. Ada "peluang" untuk orang "lain" dalam NU. Orang yang menjadi minoritas melihat NU sebagai pelindung.
Lalu apakah tradisionalisme khas NU masih menarik bagi anak muda dan intelektual?
Banyak kaum muda yang kehidupan sehari-harinya tidak menunjukkan kaum desa lagi. Mereka berpakaian rapi saat bekerja seperti kebanyakan kaum menengah. Tapi, kalau berhadapan dengan gerakan radikal, mereka masih merasa ingin tetap mempertahankan tradisi. Walaupun dalam tradisi mereka tetap menginginkan perubahan.
Sekarang fenomena sejumlah anak muda yang merasa "Muhammadinu", yang Muhammadiyah tapi juga NU, sepertinya menguat. Menurut Anda, apa sebabnya?
Orang seperti itu banyak. Seperti di Jombang, yang menjadi kantong tumbuhnya NU. Kita tahu, anak Hasyim Asy'ari ada yang jadi Masyumi, ada yang tetap di NU di sana. Di Jombang juga ada gerakan yang paling radikal, tapi ada juga NU. Mereka dalam satu segi juga bisa setuju dengan Muhammadiyah, tapi di segi lain setuju dengan NU. Mereka merasa keduanya bagian dari mereka.
Dibanding bergabung dengan ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah, sebagian anak muda di Indonesia lebih tertarik pada transnasionalisme. Pengamatan Anda, kapan itu mulai terjadi?
Mungkin mereka yang tertarik pada transnasionalisme sebagian berasal dari keluarga Muhammadiyah ataupun NU. Sebab, bisa saja mereka diinfiltrasi atau disusupi: NU oleh HTI dan Muhammadiyah oleh PKS.
Kalau ada yang melakukan radikalisme karena terjadi banyak korupsi dan ada ketidakadilan ekonomi, ya, memang seperti itu. Sepuluh tahun terakhir ini, perbedaan antara yang kaya dan miskin itu makin terlihat di seluruh dunia. Dan perasaan bahwa negara dikuasai oleh orang-orang yang hidup senang, tidak peduli pada orang lain, enteng mengambil uang negara, itu tidak mungkin tidak melahirkan gerakan yang menolak sistem. Nah, semangat memperbaiki sistem itu semestinya kita manfaatkan dengan cara mengajak mereka melakukannya lewat jalur yang dibenarkan hukum. Dialog memang tidak mudah, tapi ormas seperti NU dan Muhammadiyah saya rasa bisa berpartisipasi.
Di NU, ada pula orang-orang seperti Rizieq Shihab, yang secara kultural NU tapi sikapnya tidak mencerminkan NU yang inklusif. Menurut Anda, mengapa NU bisa menerima kelompok seperti itu?
Ini justru bagian dari inklusivitas NU. Begini, di NU, Jakarta memang mengambil posisi berbeda. Jakarta dari dulu cenderung lebih fundamentalis dan eksklusivis karena budaya Betawi yang jadi dasar. Yang membentuk NU di Jakarta sendiri adalah para habib, dan ini berbeda dengan di Jawa. Selain itu, kekerasan di kota kan lebih besar dan pertentangan lebih tajam. Maka cara bertindaknya pun sangat berbeda. Saya rasa Rizieq Shihab secara fundamental tidak terlalu berbeda dari tradisi sebelumnya.
Hal-hal seperti ini yang membuat NU dan muktamar menarik. Seperti halnya ada beberapa daerah yang jadi minoritas di dalam NU tapi tetap menjadi bagian NU. Saya mencontohkan Muktamar NU 1989 di Krapyak, Yogyakarta. Di sana, orang NU dari Sulawesi menghina Gus Dur dengan cara yang sangat kasar. Katanya tidak mungkin orang gendut masuk surga. Tapi hal itu diterima saja oleh Gus Dur karena inilah bagian dari NU yang beraneka ragam.
Orang dan kelompok yang cenderung eksklusif itu tidak malah membahayakan NU?
Setiap organisasi memang cenderung mendisiplinkan para anggotanya. Tapi itu tidak pernah ada di NU. Mungkin kalau NU menjadi lebih modern akan begitu, tapi selama ini belum ada.
Karena itu pula kelompok di NU yang tidak setuju pada pemikiran anak mudanya yang cenderung liberal bisa tetap menerima orang-orang seperti Ulil Abshar Abdalla?
Walau sangat berbeda cara berpikir dan bicaranya, Ulil tahu bahasa Arab dengan baik dan karena itu bisa berbicara dengan kiai-kiai dengan baik pula. Jadi dia masih bagian dari NU. Lagi pula dia anak kiai, menantu kiai yang jadi rais am pula.
Dalam kehidupan bernegara saat ini, seperti apa sebaiknya peran NU dan Muhammadiyah?
Seperti gereja di negara-negara Kristen, mereka mungkin akan kehilangan sebagian peran sosial, tapi tetap merupakan bagian penting dalam satu bangsa. Mereka punya peran penting dalam pendidikan dan pembentukan karakter orang serta menjadi tolok ukur moral.
Bagaimana dengan peran NU dan Muhammadiyah dalam pemberantasan korupsi?
Mereka bisa mulai di kalangan mereka sendiri. Mereka yang duduk di kepengurusan harus sangat transparan. Selain itu, kalau ada anggota yang diduga terlibat kasus korupsi harus diberhentikan sementara. Baik NU maupun Muhammadiyah kan sebenarnya punya banyak anggota yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat. Merekalah yang semestinya membantu memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi.
Lalu, soal radikalisme, seperti apa idealnya cara NU menangkalnya?
Kita tahu, sering ada keluhan bahwa Indonesia bukan negara mahaadil. Sedangkan orang yang melakukan gerakan radikal adalah mereka yang punya keinginan murni untuk membersihkan negara dari "kekotoran". Ini sebenarnya positif karena mereka berniat ingin memperbaiki sesuatu tapi caranya salah.
Daripada langsung menolak, lebih baik NU mencoba memahami kenapa orang-orang berpikir radikal. Memang kadang sangat sulit berdialog dengan orang yang punya pemikiran hitam-putih. Tapi usaha untuk dialog saya rasa tetap penting, asalkan kita bisa mengembangkan argumentasi guna meyakinkan mereka.
Mengapa keberadaan ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah menjadi sangat penting bagi Indonesia?
Orang sering tidak sadar pentingnya keduanya, padahal di negara Islam lainnya tidak ada yang seunik NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi ini didirikan pada masa Hindia Belanda serta punya AD/ART yang membahas kongres dan pemilihan pengurus. Ini menarik dan membuat organisasi ini unik di dunia Islam, juga menjadi semacam tempat lahirnya demokrasi di Indonesia. Saya rasa peralihan dari Orde Baru ke sekarang demokratis karena keberadaan Muhammadiyah dan NU.
Bagaimana Anda melihat hubungan Presiden Joko Widodo secara kultural dan politik dengan NU dan Muhammadiyah?
Saya sedikit menyesal karena banyak kebijakan dan visi Presiden sekarang ini yang menunjukkan dia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Tahun lalu saya punya harapan kepadanya, tapi sempat kecewa terutama karena melihat kondisi KPK sekarang. Saya menganggap KPK sangat krusial dan semestinya didukung. Tapi saya lihat dukungan Presiden belum cukup.
Martin van Bruinessen TEMPAT DAN TANGGAL LAHIR: Schoonhoven, Belanda, 10 Juli 1946 PENDIDIKAN DAN RISET: Studi soal Kurdi di Iran, Irak, Turki, dan Suriah (1974-1976) | Lulus PhD antropologi di Utrecht University (1978) | Penelitian di Turki, Iran, dan Afganistan (1978-1981) | Meneliti sejarah Ottoman di Turki (1979-1980) | Meneliti kehidupan rakyat miskin di Bandung (1983-1984) | Konsultan metode riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia | Supervisi penelitian tentang ulama Indonesia (1986-1990) | Dosen tamu di IAIN Yogyakarta (1991-1993) | Asisten profesor Studi Kurdi dan Turki di Utrecht University (1994) | Profesor tamu Studi Kurdi di Freie Universitat University | Pengajar di Institut National des Langues et Civilisations Orientales Paris (1996-1997) | Pengajar International Institute for the Study of Islam in the Modern World (1998) | Guru besar di Utrecht University (1999) BUKU: Agha, Shaikh and State: On the Social and Political Organization of Kurdistan (1978 ) | Evliya Celebi in Diyarbekir (1988) | Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (1992) | Agha, Shaikh, and State: The Social and Political Structures of Kurdistan (1992) | NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa | Pencarian Wacana Baru (1994) | Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (1995) | Al-Kitb al-`arab f Indnsy (1995) | Mullas, Sufis and Heretics: The Role of Religion in Kurdish Society (2000) | Kurdish Ethno-nationalism Versus Nation-building States (2000) | Mullas, Sufis, and Heretics: The Role of Religion in Kurdish Society: Collected Articles (2000) | Kürtlük, Türklük, Alevilik (2000) | Sufism and the 'Modern' in Islam (2007) | Susan Meiselas, Kurdistan: In the Shadow of History. second revised edition (2008) | The Madrasa in Asia: Political Activism and Transnational Linkages (2008) | Islam and Modernity: Key issues and debates (2009) | Kurdolojinin Bahçesinde: Kürdologlar ve Kürdoloji Üzerine Söylei ve Makaleler (2012) | Producing Islamic knowledge transmission and dissemination in Western Europe (2012) | Rakyat Kecil, Islam dan Politik (2013) | Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the'Conservative Turn' (2013)Martin van Bruinessen Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Agustus 2015 PODCAST REKOMENDASI TEMPO wawancara Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |