Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah dua pekan Resolusi 1701 diterbitkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tapi seribu pasukan perdamaian Indonesia belum juga terbang ke Libanon. Seharusnya, sepekan setelah resolusi tentang gencatan senjata antara Israel dan Libanon itu keluar, pe-ngiriman pasukan sudah bisa dilakukan. Menurut Menteri Luar Negeri Indonesia Nur Hassan Wirajuda, keberatan Israel soal pasukan Indonesia sangat tak beralasan. "Kalau ada keberatan, seharusnya datang dari Libanon karena pasukan ditempatkan di negara itu," ujar Nur Hassan.
Mantan diplomat yang pernah bertugas di Kairo, Mesir, ini menambahkan, seharusnya Israel menengok sejarah. Pasukan perdamaian Indonesia memiliki rekam jejak gemilang dalam menjaga perdamaian di Timur Tengah saat terlibat dalam United Nations Emergency Force (UNEF) I pada 1957 dan UNEF II pada 1974. Bahkan PBB menyerahkan posisi panglima komando pasukan UNEF II kepada Mayjen TNI Rais Abin, yang berasal dari Indonesia.
Kamis pekan lalu, Menteri Hassan Wirajuda menerima wartawan Tempo Tulus Wijanarko, Akmal Nasery Basral, Cahyo Junaedy, dan fotografer Cheppy A. Muchlis untuk menjelaskan perkembangan rencana pengiriman pasukan ini.
Kapan pasukan perdamaian Indonesia berangkat ke Libanon?
Masih belum pasti. Nanti pada 24 Agustus 2006 akan ada pertemuan ko-ordinasi negara-negara yang akan mengirimkan pasukan perdamaiannya di markas besar PBB. Keperluan sudah mendesak karena sejak Resolusi 1701 disahkan oleh Dewan Keamanan pada 12 Agustus, baru 200 prajurit Prancis yang telah dikirim untuk membantu pasukan UNIFIL (United Nations Interim Force in Lebanon) yang saat ini sudah diperkuat 2.000 orang.
Kenapa proses ini terkesan lambat?
Departemen Operasi Perdamaian PBB (United Nations Department of Peace-Keeping Operation) masih menggodok soal komposisi, konsep penggelaran, hingga jumlah anggota pasukan yang akan disebar di Libanon Selatan. Selain itu, hingga kini masih ada perdebatan soal rules of engagement, khususnya menyangkut jenis pasukan perdamaian yang dibutuhkan. Apakah pa-sukan yang robust (kuat) dan punya ke-wenangan enforcement luas, misalnya da-pat melucuti senjata Hizbullah. Pasu-k-an seperti ini berada dalam Chapter 7. Atau tetap seperti UNIFIL, yang sudah beroperasi sejak 1976 dan wewenangnya hanya untuk menjaga perdamaian se-perti tertulis dalam Chapter 6.
Bagaimana sikap Indonesia terhadap lambatnya Dewan Keamanan mengambil sikap dalam kasus ini?
Indonesia menyambut baik Resolusi 1701 sekaligus kecewa, mengapa setelah 32 hari perang pecah dan ribuan korban jatuh, baru resolusi ini terbit. Padahal Dewan Keamanan memiliki mandat untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Indonesia kecewa karena ini kasus yang straight forward. Keterlambatan ini seperti di-sengaja untuk memberikan keleluasaan pada operasi militer Israel. Mereka se-perti melupakan bahwa saban hari warga sipil terbunuh. Saya katakan, kalau ini dibiarkan, akan terjadi radikalisasi dan militansi di kalangan Islam, tak terkecuali dari negara-negara Islam mo-derat. Dan itu sangat berbahaya bagi keamanan dunia.
Tapi reaksi dari dunia Islam dan Liga Arab sendiri juga tidak bisa dibilang cepat?
Betul. Lihat saja pertemuan Liga Arab yang digelar beberapa hari setelah agresi militer Israel terjadi. Tak ada hasil apa-apa. Baru pada pertemuan Liga Arab kedua, 10 Agustus, ada kemufakat-an. Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga begitu, karena banyak pemain yang berbeda. Seperti Hizbullah yang Syiah, yang didukung Iran, sangat sulit diterima oleh negara-negara Arab lainnya. Bayangkan, OKI yang beranggotakan 57 negara sampai hari ke-22 penyerang-an Israel ke Libanon tidak melakukan apa-apa. Ini fakta.
Bagaimana Indonesia menafsirkan Resolusi 1701 itu?
Resolusi 1701 tidak menyebut secara spesifik tentang jenis pasukan perdamaian. Tapi Indonesia menafsirkan te-tap berada dalam koridor mandat Chapter 6. Jadi, hanya menjaga perdamaian dan keamanan serta memantau gencatan senjata. Mengenai pelucutan senjata yang dimiliki Hizbullah adalah kewenangan serta urusan pemerintah Libanon sendiri. Apalagi dalam reso-lu-si-resolusi PBB sebelumnya, seperti Re-solusi 1559 tahun 2004, tugas pelucut-an senjata diserahkan kepada pemerintah Libanon. Kalau ternyata pasukan itu harus robust seperti Chapter 7, Indonesia tidak akan mengirimkan pasuk-an karena bertentangan dengan politik luar negeri Indonesia.
Mengapa?
Pertama, kita melihat persenjataan Hizbullah cukup besar. Terbukti Hizbullah dapat mengimbangi Israel. Sedangkan pasukan perdamaian dari sisi persenjataan hanya untuk membela diri. Menteri Luar Negeri Italia (Massimo D'Alema-Red) juga sempat menyinggung hal ini. Katanya, negara-negara Eropa yang bakal ikut dalam pasukan perdamaian ini akan berpikir dua kali jika pasukannya bersing-gungan de-ngan kekuatan militer Hizbullah. Namun, Prancis terlihat lebih cenderung memilih Chapter 7. Kendati begitu, me-reka hanya bersedia mengirimkan 200 ten-tara dibanding Italia yang berniat mengi-rimkan 2.500 orang. Karena itu, mungkin Italia lebih cocok untuk memimpin UNIFIL ketimbang Prancis. Ing-gris memilih cara lain dengan meng-gelar armada laut untuk mengawal pantai Libanon guna mencegah adanya suplai persenjataan ke dalam Libanon.
Israel sudah menyatakan keberatan atas partisipasi pasukan perdamaian Indonesia. Apakah hal ini nanti tidak membahayakan bagi tentara kita yang dikirimkan ke Libanon?
Kekhawatiran Israel tidak pada tempatnya. Pertama, keberatan seharusnya keluar dari mulut Libanon, bukan Israel, karena wilayah Libanon yang dipa-kai pasukan perdamaian, bukan wilayah Israel. Kedua, kalau dalam setiap misi PBB negara-negara yang bertikai dapat menyuarakan persetujuan atau ketidak-setujuannya, termasuk penolakan secara absolut, maka ke depan akan menyulitkan kinerja PBB.
Israel harus diingatkan soal sejarah penugasan pasukan perdamaian Indonesia di Timur Tengah. Dunia tahu Indonesia memiliki pasukan perdamaian dengan jejak rekam yang baik dan profesional. Pada 1974 pasukan perdamai-an PBB di bawah komando Pak Rais Abin ditunjuk PBB sebagai Panglima UNEF. Hasilnya sangat profesional. Tidak perlu khawatir Indonesia bertindak tidak netral lantaran tidak memiliki hubung-an diplomatik dengan Israel. Pasukan Indonesia akan bekerja di bawah bendera dan komando PBB, mengguna-kan blue berets, bukan baret merah atau Kostrad.
Apakah itu artinya Israel khawatir Indonesia tidak bisa bersikap netral?
Ya. Bahkan ada pernyataan dari Israel, "Jangan harapkan kami mempertaruhkan keamanan kami pada pasuk-an negara yang tidak mengakui Israel." Yang dilupakan Israel adalah pasukan ini bertugas di bawah rules of engagement PBB dan penerjunan pasukan ini berdasarkan resolusi Dewan Keamanan yang mempunyai daya ikat yang kuat.
Bagaimana Anda melihat penyebab utama perang ini?
Indonesia melihat kasus Israel-Libanon tidak semata pecah karena penculikan tentara Israel. Core issue-nya adalah proses perdamaian antara Palestina dan Israel yang belakangan mandek sejak Hamas memenangi pemilu di Pa-lestina, Januari lalu. Israel menuding Hamas teroris, sementara Hamas tidak mau mengakui seluruh hasil proses perdamaian sebelumnya. Mulai dari perjanjian Oslo, Madrid, pertemuan Paris, yang pada akhirnya membawa konflik baru. Maka, tak mengherankan jika ba-nyak kelompok bersenjata mengambil tindakan sendiri-sendiri.
Lalu?
Dengan absennya proses damai di wilayah konflik, tak ada light in the end of the tunnel. Untuk kasus di Timur -Te-ngah ini, jangankan pendar cahaya, terowongannya pun tidak ada. Maka, ketika Menlu Palestina Mahmud al-Zahar berkunjung ke Indonesia, saya tanyakan apa yang akan dilakukan pemerintahan Hamas untuk menjaga perdamaian jika pemerintahannya tidak mengakui perjanjian damai dengan Israel.
Apa jawaban Al-Zahar?
"Jika tidak damai, ya, perang." Saya bilang, kita tahu dalam sejarah perang Arab-Israel pada 1948, 1956, 1967, dan 1973, ketika kekuatan Israel belum sekuat sekarang, mereka memenangi perang. Jadi, suka atau tidak suka, penyelesaian secara damai adalah solu-si yang harus dihitung. Oslo Peace Agreement, yang dimulai pada masa Yas-ser Arafat, adalah langkah awal untuk damai. Indonesia berharap Hamas dapat menghormati keputusan-keputusan yang telah diambil pemerintahan Palestina sebelumnya.
Tapi kita tahu konstruksi ideologi Hamas dalam memandang Israel jauh lebih keras dari pemerintahan Palestina sebelumnya yang didominasi Fatah. Kita sangat realistis. Kerangka perdamaian di Palestina sebenarnya sudah ada di bawah kuartet PBB, Amerika Serikat, Rusia, dan Uni Eropa. Harap-an Indonesia, dukungan kuartet ini akan bergerak maju. Tapi, yang kita sesalkan, beberapa tahun terakhir proses damai itu buntu. Apalagi dalam waktu dekat, Amerika akan menggelar pemi-lihan mid-term pada bulan November. Biasanya dalam masa-masa pemilihan seperti itu, isu tentang Israel sangat sensitif di Amerika. Maka, jelas tidak akan ada calon presiden yang berani meng-ambil risiko mengungkit isu ini, apalagi sampai mengambil kebijakan yang dapat dilihat sebagai penekanan terhadap Israel.
Apakah hanya Hamas yang berperan dalam mandeknya proses perdamaian Palestina-Israel? Bukankah Israel juga berperan?
Memang. Ini bagian dari interaksi. Kita dengar ungkapan dari Palestina bahwa selama ini kesepakatan damai sering dilanggar Israel. Al-Zahar bahkan sampai bilang Perjanjian Damai Oslo bukan untuk menghadirkan peace di Palestina, melainkan membuat negeri-nya menjadi pieces. Tapi potensi pelanggaran akan jauh lebih besar jika kelanjutan proses perdamaian tidak ada. Ini seperti lingkaran setan.
Dengan kata lain, eskalasi kekerasan di Libanon saat ini merupakan buah dari sikap keras Hamas yang tidak mengakui kesepakatan damai sebelumnya?
Saya tidak ingin mengatakan demikian. Tapi bahwa konflik Israel-Libanon merupakan perpanjangan dari konflik pokok Palestina-Israel, ini benar. Kita tahu pada 1978 dibentuk UNIFIL, lalu pada 1982 ada kasus Sabra-Shatila. Orang-orang Palestina di Libanon melakukan perlawanan terhadap Israel, lalu digempur habis-habisan.
Ada tujuh resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB terkait dalam konflik Libanon-Israel. Jadi, bukan se-suatu yang baru. Dalam Forum Asia di Kuala Lumpur awal Agustus lalu, saya jelaskan bahwa konflik yang terjadi bukanlah semata lantaran dua serdadu Israel diculik oleh Hizbullah. Tapi, masalah mendasar yang belum terse-lesaikan hingga kini adalah penduduk-an militer Israel terhadap Palestina. Ini satu-satunya kasus okupasi, penjajahan, yang belum selesai di abad ke-21. Sa-ngat ironis.
Di sisi lain, Israel hingga saat ini tidak mengakui kemenangan Hamas dalam pemilu. Bukankah ini menjadi ganjalan besar bagi proses damai?
Ya. Seharusnya tidak boleh ada hi-po-krasi ketika Hamas menang melalui pemilu- yang demokratis, b-ersih, damai, dan dipantau ba-nyak pihak internasio-nal termasuk The Carter Center. Jadi, janganlah apri-ori kepada Hamas. Indone-sia dari awal menolak u-paya dan cara berpikir yang mengasingkan Hamas yang kini menjadi pemimpin pemerintahan di Palestina.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari perang ini?
Secara psikologis kini tumbuh perasaan tidak aman di hati warga Is-rael. Segala kekuatan superio-ritas militernya runtuh dalam perang ini. Pada perang-perang sebelumnya, "teater pertempuran" selalu di luar wilayah Israel. Roket-roket Hizbullah kini dapat menjangkau wilayah Israel, meskipun bukan Tel Aviv.
Israel seharusnya bela-jar, pada akhirnya aksi militer tidak akan membuat rasa aman. Ini adalah perang asimetris. Baik jumlah, kekuatan militer, maupun jenis persenjataan kedua-nya tidak berimbang. Karena itu, jangan diukur 1.100 sipil yang tewas di Libanon dan ribuan yang terluka itu lebih besar dari 250 orang Israel yang tewas. Karena perang antara dua pihak dengan kekuat-an asimetris, maka hitung-hitungannya juga harus asimetris. Maka, jika Hizbullah teriak bahwa merekalah pemenang perang ini, logis juga.
Dr Nur Hassan Wirajuda Tempat/tanggal lahir: Tangerang, 9 Juli 1948 Pendidikan:
Pekerjaan:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo