Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Pendidikan Itu Harus Jadi Kegembiraan, Bukan Penderitaan

15 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA banyak foto murid sekolah dasar terpampang di Gedung Ki Hajar Dewantara kantor Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta. Kebanyakan adalah foto anak-anak yang tinggal di desa pedalaman. Meski berseragam lusuh, senyum yang tulus mengembang di wajah mereka. Adalah Menteri Pendidikan yang baru, Anies Baswedan, yang meminta foto-foto tersebut dipasang—termasuk di dinding ruang rapat utama. "Supaya, saat kami rapat, yang terbayang adalah wajah mereka. Kita bekerja untuk mereka," katanya Rabu pekan lalu di kantornya.

Belum dua bulan berkantor di Jalan Sudirman itu, Anies sudah membuat sejumlah gebrakan. Ia, misalnya, mengubah fungsi ujian akhir nasional, dari penentu kelulusan yang membuat stres siswa dan orang tua, menjadi hanya alat untuk mengetahui penyebaran kualitas pendidikan. Terakhir, yang menghebohkan, pada 6 Desember lalu Anies menyetop untuk sementara penerapan Kurikulum 2013 dan mengembalikannya ke Kurikulum 2006. Anies bukannya menolak Kurikulum 2013. Dia hanya melihat guru dan sekolah belum siap menerapkannya. "Ibaratnya kita terbiasa menggunakan BlackBerry tiba-tiba disuruh pakai iPhone," ujarnya.

Anies menilai pelaksanaan kurikulum baru itu terburu-buru sehingga banyak guru dan sekolah tidak siap. Kebijakannya ini menuai kritik. Mantan Menteri Pendidikan Mohammad Nuh menganggap langkah Anies sebagai kemunduran dunia pendidikan. Nuh juga menganggap sang Menteri terburu-buru memutuskan penghentian Kurikulum 2013.

Kepada Qaris Tajudin, Erwin Prima, Pamela Sarnia, Mitra Tarigan, Heru Triyono, dan fotografer Aditia Noviansyah dari Tempo, Rabu pekan lalu di ruang kerjanya di lantai dua Gedung Ki Hajar Dewantara, Anies menjelaskan rinci tentang penghentian kurikulum dan rencana yang akan dilakukannya.

Sebelum memulai obrolan, ia mengacungkan sebuah buku tebal. Buku itu berjudul Sekolah Taman Siswa karangan Ki Hadjar Dewantara. "Buku ini fondasi kita. Belajar itu harus menyenangkan dan mencerahkan, seperti bermain di taman," ucap Anies, yang memakai kemeja merah muda panjang yang dilipat bagian lengannya.

Anda dulu masuk tim yang menyusun Kurikulum 2013, tapi kok malah menghentikan kurikulum tersebut?

Saya hanya pernah menjadi narasumber. Dimintai pendapat. Tapi, ketika pendapat saya berbeda, saya tidak diundang lagi.

Berbeda seperti apa?

Saat itu saya katakan kepada mereka: pernahkah Bapak-bapak satu minggu ada di sekolah dasar dan memperhatikan mereka? Pertanyaan saya itu dinilai tidak relevan. Kemudian saya ganti pertanyaan itu: apakah Bapak pernah satu hari di sekolah? Mereka jawab tidak pernah. Saya katakan, bagaimana mau menyusun sebuah kurikulum untuk anak-anak jika Anda tidak pernah ada di sana untuk anak-anak?

Jadi Anda tidak setuju ada perubahan kurikulum?

Secara prinsip, kurikulum memang harus mengalami perubahan. Tapi jangan jadikan itu sebagai solusi untuk setiap masalah. Ibarat penembak yang selalu meleset. Lalu, agar lebih titis, kita mengganti terus pelurunya dengan yang dirasa lebih bagus. Pasang lagi, tembak lagi, meleset lagi. Tapi, di saat yang sama, kita tidak pernah melatih penembaknya untuk menembak dengan lebih baik.

Penembak dalam perumpamaan Anda itu adalah guru?

Ya. Saya percaya kualitas pendidikan itu sangat ditentukan oleh kualitas guru. Kalau kualitas pendidiknya baik, insya Allah kelasnya akan baik. Yang kedua adalah kualitas sekolah. Pelatihan kepala sekolah perlu. Organisasi mana pun, begitu komandan timnya baik, insya Allah ke bawahnya akan jauh lebih baik.

Apa yang salah dengan Kurikulum 2013?

Kurikulumnya baik, kok. Masalah utamanya ada pada implementasi yang terburu-buru. Padahal, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 (tentang Standar Nasional Pendidikan), pelaksanaan kurikulum baru yang berbasis kompetensi ini dilakukan secara bertahap hingga tujuh tahun sejak 2013. Kalau saja waktu tujuh tahun itu digunakan untuk persiapan, saya rasa kita terhindar dari masalah seperti kemarin ini.

Tapi bukankah untuk melaksanakan kurikulum baru ini guru-guru sudah dilatih?

Kemarin itu pelatihan dilakukan untuk guru mata pelajaran. Yang dilatihkan pun lebih bersifat administratif, seperti bagaimana menulis laporan. Pelatihan hanya untuk mengejar statistik, sudah ada sekian yang terlatih. Kita mau mengejar statistik atau mau mengejar perubahan? Ingat, pendidikan itu adalah interaksi antarmanusia, antara pendidik dan peserta didik. Kurikulum hanya alat untuk menstrukturkan interaksi itu, sehingga tujuan pendidikan bisa tercapai di mana pun dan kapan pun. Jadi, yang harus dilatih untuk melaksanakan kurikulum itu bukan hanya gurunya, melainkan ekosistem sekolahnya. Istilahnya whole school training.

Bagaimana caranya?

Ada sejumlah sekolah yang kami persiapkan sebagai percontohan. Lalu guru-guru dari sekolah lain dibawa dan mengajar di sana dalam kurun tertentu. Dia melihat langsung bagaimana kurikulumnya diterapkan dengan baik. Cara mengolah bangku untuk pengajaran Kurikulum 2013 itu saja berbeda. Jadi guru bukan ikut penataran tentang kurikulum, melainkan bagaimana skill mereka ditingkatkan lewat pengalaman. Dari situ kemudian diduplikasi.

Pelatihan seperti itu pasti butuh waktu lama. Bagaimana bisa tujuh tahun selesai?

Bisa dalam tujuh tahun. Lebih lama dari pelatihan yang kemarin, tentu. Tapi kita, kan, menginginkan kualitas yang baik. Sekolah kita yang terakreditasi A itu hampir 30 persen. Mereka siap untuk menjadi sekolah percontohan. Jumlah totalnya sekitar 70 ribu. Kita punya stok yang lumayan.

Bagaimana respons kepala sekolah terhadap surat edaran tentang penghentian Kurikulum 2013?

Positif. Mereka bilang tumben ada surat dari menteri. Orang tua dan guru yang anaknya sedang bersekolah kebanyakan berterima kasih.

Apa yang dikeluhkan oleh sekolah ketika menerapkan Kurikulum 2013?

Beban. Misalnya evaluasi penilaian anak sekolah dasar saja ada seribu jenis. Itu harus memakai sistem elektronik, karena kalau manual tidak akan sanggup. Tapi software-nya baru selesai minggu lalu. Bagaimana ini? Kenapa dipaksa dijalankan sekarang kalau sarana dan prasarananya belum disiapkan?

Dengan penundaan ini, bagaimana dengan 6.221 sekolah yang sudah menerapkan kurikulum ini selama tiga semester?

Dilanjutkan dengan tetap melaksanakan Kurikulum 2013. Sekolah itu akan menjadi sekolah percontohan—sebagai tempat pelatihan guru nantinya. Sedangkan untuk yang baru melaksanakan satu semester wajib kembali ke Kurikulum 2006 pada semester depan.

Penilaian rapornya bagaimana?

Penilaiannya seperti Kurikulum 2013. Nanti ada namanya e-rapor sebagai ukuran nilai yang dijalankan selama ini. Kemudian akan dibuat juga sistem konversinya dari Kurikulum 2013 ke yang lama. Komplikasi memang akan muncul. Karena itu, diputuskan untuk menerapkannya secara bertahap.

Dengan ditundanya penerapan Kurikulum 2013, kerugian yang ditanggung negara besar. Pencetakan bukunya saja mencapai Rp 2 triliun. Apa itu tidak diperhitungkan?

Kan, tidak terjadi apa-apa terhadap buku itu.

Tidak ditarik?

Enggak. Disimpan saja di sekolah. Nanti, setelah selesai melatih para guru, buku bisa dipakai. Jadi, tidak ada masalah. Disimpan saja, semester depan atau tahun depan dipakai, kan sambil jalan.

Para penerbit dan percetakan mengaku khawatir akan ada pembatalan kontrak pengadaan buku pelajaran untuk Kurikulum 2013.

Harus dijalankan sesuai dengan kontrak. Ya, dicetak saja, dikirim, lalu disimpan. Kontrak tidak dibatalkan. Agak menyesatkan kalau mengartikan kebijakan baru berarti kontrak dibatalkan.

Sampai kapan penundaan pelaksanaan Kurikulum 2013?

Mudah-mudahan tidak lama. Tergantung hasil evaluasi tim kurikulum minggu ini.

Apa saja yang akan dievaluasi dari pelaksanaan Kurikulum 2013?

Tentang pelatihan dan pengadaan buku. Jadi lebih dari seperempat kabupaten di Indonesia belum tanda tangan kontrak dengan penerbit, dan mereka belum tahu apakah buku itu sudah cetak atau belum. Saya juga buat tim audit untuk memeriksa pembelanjaan anggaran.

Setelah menjadi menteri, apakah Anda sudah pernah menemui Mohammad Nuh—Menteri Pendidikan sebelumnya?

Tidak ada komunikasi. Tapi memang selama ini juga tidak pernah ada komunikasi yang khusus.

Menurut Nuh, yang Anda lakukan sebagai bentuk kemunduran dunia pendidikan Indonesia….

Take it easy. Jangan ambil secara personal.

Tapi kenapa respons Nuh begitu keras?

Tanya dia saja.

Dari kebijakan Anda ini, apakah ada resistensi dari kalangan internal Kementerian?

Ada. Ini kan comfort zone banyak orang. Tapi akan kami hadapi resistensi itu.

Pelaksanaan Kurikulum 2013 ditunda, bagaimana dengan ujian nasional (UN)?

Dipikir satu-satu. Saya juga ingin ada jawaban cepat. Step by step.

Sebelum menjadi menteri, Anda anti-ujian nasional.

Nanti sesudah jadi keputusan saja kita bicarakan lagi masalah ini. Yang saya tidak setujui adalah UN sebagai syarat kelulusan, itu posisi saya hingga saat ini. Intinya, jangan ada orang yang belajar karena rasa takut. Kami masih mencari solusinya.

Kenapa tidak setuju UN?

Ketimpangan pendidikan itu luar biasa. Yang harus kita dorong untuk daerah adalah agar melihat tolok ukur prestasi dari delapan standar pendidikan—termasuk di dalamnya kompetensi guru dan sarana. Jangan hanya evaluasi hasil belajar siswa yang dinilai, tapi justru faktor-faktor lain. Gurunya juga harus dinilai.

Anda sepertinya punya gagasan besar soal direktorat di Kementerian. Bakal ada perubahan total?

Saya bayangkan Kementerian ini beroperasi pada 2014, bukan pada 1990-an yang semua urusan pendidikan itu ada di Kementerian. Sekarang ini banyak hal sudah dipindahkan ke daerah. Jadi bagian Kementerian adalah membuat kebijakan, memantau implementasi, memantau kualitas, penjaminan mutu. Tapi, sebelum beroperasi dengan cara itu, saya akan membentuk direktorat jenderal baru. Di antaranya Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Pembinaan Sekolah, dan Direktorat Jenderal Keayahbundaan.

Dirjen Keayahbundaan? Agak aneh, sepertinya….

Pendidik terpenting, tapi justru yang paling tak tersiapkan adalah orang tua. Pendidikan sebagai orang tua ini tidak tersentuh. Padahal pengajaran soal kejujuran dan soal prinsip-prinsip yang mendasar itu di rumah. Selain di rumah, dalam pendidikan anak usia dini dan taman kanak-kanak. Ada buku yang sangat terkenal, All I Really Need to Know I Learned in Kindergarten. Segala hal yang perlu Anda tahu mengenai hidup ini Anda pelajari saat TK. Dilarang mengambil milik orang lain, menghormati orang yang lebih tua, nilai-nilai seperti itu kan diajarkan di usia dini.

Anak TK sekarang sepertinya lebih berkonsentrasi untuk bisa baca-tulis, bahkan bahasa Inggris.

Justru itulah kenapa kita harus kembali ke konsep awal pendidikan usia dini. Menurut saya, orang tua dan pendidikan usia dini itu harus dibereskan. Barangkali, kalau itu beres, fondasi kita akan kokoh.

Pendidikan yang ideal itu menurut Anda seperti apa?

Saya ingin mengembalikan konsep pendidikan kita seperti yang diajarkan oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara. Bagi beliau, sekolah adalah taman, tempat bermain. Sekolah yang beliau dirikan adalah Taman Siswa. Yang ditulis oleh Ki Hadjar Dewantara pada 1930-an itulah yang kini diterapkan di Finlandia. Barangkali mereka belum membaca tulisan Ki Hadjar, tapi konsepnya itu in line. Jadi proses belajar itu harus menyenangkan. Proses belajar itu mencerahkan. Pendidikan itu prosesnya equal, tapi merangsang pertumbuhan. Guru itu seperti mentor.
Saya membayangkan proses belajar itu harus adiktif. Candu, kepingin belajar terus. Ke depan, yang kita butuhkan bukan spesialis, melainkan learner, pembelajar. Ketika sudah masuk ke dunia nyata selulus kuliah, yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk mempelajari hal baru, bukan? Bukan teknis. Jadi kita harus mendidik orang menjadi learner. Kalau bisa menjadi learner, di peran apa pun dia akan bisa punya makna.

Hal itu akan didorong juga lewat program ekstrakurikuler yang menyenangkan?

Yang namanya minat dan bakat anak-anak itu bervariasi. Salah satu problem utama di Kurikulum 2013 adalah penyeragaman. Bukunya sama seluruh Indonesia. Plek sama. Ekstrakurikulernya plek sama seluruh Indonesia. Ya Allah, republik ini bineka. Para pendiri bangsa sudah bilang dari dulu, ini republik bineka. Jadi, saya malah bilang kepada mereka yang akan mengurus ini, cari terobosan ekskul yang enggak jadul.

Misalnya?

Jangan tanya saya. Kalau saya yang jawab, jadul pula. Tanya sama anak-anak, kamu ingin ekskul apa? Selama ini ekskulnya itu selera guru, selera dinas, selera kita-kita ini yang sudah jadul. Itu sebabnya anak-anak tidak berminat pada ekskul di sekolah. Mereka memilih pulang saja. Nah, harus kita ubah itu. Anak-anak kita akan hidup di masa depan dan kita mendidik anak-anak kita di zaman ini, bukan di zaman dulu. Jadi mereka bisa diarahkan untuk belajar dan mau di sekolah. Pendidikan itu harus jadi kegembiraan, bukan penderitaan.
Untuk melaksanakan itu, perlu guru yang berpikiran terbuka. Tidak ada terobosan, tidak ada inovasi di sekolah, jika tidak ada guru yang inovatif. Bener, percaya saya. Syarat pertama adalah guru yang inovatif, guru yang kreatif. Tapi guru tidak akan inovatif dan kreatif kalau tidak ada percikan rangsangan. Karena itu bagian dari tugas Kementerian untuk merangsang itu.

Berarti kita harus mengubah pola pikir guru habis-habisan. Bagaimana caranya?

Revolusi mental. Jadi kita mengubah dari common practice menjadi common ­sense. Tentu perlu waktu. Tapi, dalam mengubah pola pikir, kalau tersadarkan saja efek tularnya cepat. Kita juga harus menganggap bukan berarti menyenangkan itu santai, ya. Saya rasa kerja di mana pun bisa jadi menyenangkan, tapi bukan berarti tidak ada tuntutan. Tuntutannya tinggi, tapi lingkungannya menyenangkan.

Kapan sampai ke sana kalau standar minimum saja kita tidak terpenuhi? Banyak sekolah yang bangunannya bobrok, kurang guru, dan sebagainya.

Anggaran pendidikan kita memang besar. Tapi kita semua tahu bahwa anggaran yang besar tadi itu sebagian besar larinya ke daerah, termasuk soal perbaikan bangunan.

Anda dulu menggagas Indonesia Mengajar, karena melihat banyak kekosongan tenaga pengajar di sekolah di pedalaman. Apakah jumlah guru kita memang kurang?

Bukan. Itu lebih disebabkan oleh penyebaran guru yang tidak merata. Rasio guru kita sekarang terbaik di Asia. Di Korea Selatan, 1 guru menangani 30 siswa, rasio di Jepang 1 : 25. Di Indonesia, rasionya 1 guru menangani 16 siswa. Dahsyat, kan? Jadi banyak sekolah kelebihan guru, banyak sekolah kekurangan guru. Dan, kalau mau tahu apakah sekolah itu kelebihan guru, gampang. Cari saja sekolah di pinggir jalan besar, pasti gurunya cukup. Jika masuk 2 kilometer, kita akan menemukan sekolah yang pasti kekurangan guru.

Bagaimana agar penyebaran guru lebih merata?

Satu, memang komponen remunerasi. Tapi itu enggak cukup. Banyak orang yang enggak akan ambil rupiah jika ditempatkan di tempat terpencil. Jadi, menurut saya, justru harus ada panggilan, Anda kami undang untuk membuat wajah Indonesia lebih baik. Indonesia Mengajar tidak mengundang dengan uang. Yang kita butuhkan adalah guru itu hadir di sana, bukan guru selamanya di sana. Jadi penempatan itu harus rasional. Yang sering terjadi pada kita itu adalah pengabdian skemanya irasional. Jadi guru ditempatkan di tempat yang jauh entah sampai kapan.

Anies Baswedan
Tempat dan Tanggal Lahir: Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969 Pendidikan: Doctor of philosophy ilmu politik Universitas Northern Illinois, Amerika Serikat (2004), master manajemen publik Universitas Maryland, College Park, Amerika Serikat (1998), sarjana ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1995)Karier: Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah (2014-…), Rektor Universitas Paramadina (2007-2014), pendiri dan Ketua Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar (2010-2013), Direktur Riset The Indonesian Institute, Pusat Analisis Kebijakan Publik (2005-2009), Penasihat Desentralisasi dan Otonomi Daerah (2006-2007), peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (2005-2007), Manajer Riset IPC International Corp, Bannockburn, Illinois, Amerika Serikat (2004-2005), asisten riset Kantor Penelitian, Evaluasi, dan Studi Kebijakan Universitas Northern Illinois, Amerika Serikat (2000-2004)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus