Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Supernova, Rizal, dan Bintang Jatuh

Novel pertama Supernova karya Dee Lestari diangkat menjadi film. Megah, mewah, penuh pemain cantik dan ganteng.

15 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Supernova
Sutradara: Rizal Mantovani
Skenario: Donny Dhirgantoro dan Sunil Soraya Berdasarkan novel Supernova: Kesatria, Putri, & Bintang Jatuh karya Dewi "Dee" Lestari.
Pemain: Raline Shah, Herjunot Ali, Arifin Putra, Hamish Daud
Produksi: Soraya Intercine Films

Novel Supernova meluncur ke tangan pembaca seperti bintang jatuh. Bersinar, melesat, dan mengejutkan. Untuk pembaca yang tak terbiasa dengan istilah ilmu pengetahuan—kecuali apa yang diperoleh di sekolah dan tak pernah menghubungkannya dengan gerak alam, tingkah manusia—saya termasuk yang terkejut dan menjadi pecandu. Berbagai urusan tata bahasa yang masih perlu disunting—untuk penerbitan pertama tahun 2001—dan istilah "pintar" yang terlalu banyak bertaburan akhirnya banyak diabaikan oleh penggemarnya. Dewi "Dee" Lestari menyajikan sebuah bentuk menarik: cerita dalam cerita dalam cerita yang saling membingkai sekaligus saling memagut. Pasangan gay ­Reuben dan Dimas yang menciptakan tokoh-tokoh Ferre, Rana, dan Diva dan mereka masuk ke jagat Supernova. Dengan cerdas, Dee kemudian membuat Reuben dan Dimas kelak juga terhubung oleh "Supernova", sebuah jagat ciptaan mereka.

Dee mengaku bahwa Supernova: Kesatria, Putri, & Bintang Jatuh (KPBJ) adalah sebuah kisah "evolusi spiritual yang terjadi pada tokoh-tokohnya melalui beberapa konflik—antara lain cinta segitiga dan jejaring misterius yang dijalin tokoh cyber bernama Supernova—yang mengubah pandangan mereka tentang jati diri mereka". Artinya, semua karakter bergerak mencari sesuatu: untuk Rana mencari kebahagiaan yang sesungguhnya; untuk Ferre, dia akhirnya bertemu dengan seseorang yang berhasil mengguncang jiwanya.

Bagaimana para sineas ini menerjemahkan novel Dee ke layar lebar?

Novel ini bukan sebuah karya yang mudah diadaptasi menjadi film. Apalagi, sejak lahirnya Supernova: Kesatria, Putri, & Bintang Jatuh, telah pula lahir adik-adiknya: Akar, Petir, Partikel, dan yang terbaru, Gelombang. Artinya, di setiap novel ini, Dee menciptakan karakter baru dengan tujuan panjang dan sangat terencana. Tantangan Rizal Mantovani dan para penulis skenario adalah membangun sebuah cerita yang bisa mandiri dalam satu film sekaligus tidak mematikan kemungkinan lanjutan kisah. Secara keseluruhan, Rizal berhasil mengangkat lapisan-lapisan plot yang kompleks itu menjadi jalan cerita yang cukup runut. Secara visual, film ini memang habis-habisan memanfaatkan beauty shot, adegan-adegan pemandangan cantik dan mewah: adegan Rana (Raline Shah) dan Ferre (Herjunot Ali) bermesraan di atas kapal, berpelukan di sebuah vila (entah di Bali entah di Labuan Bajo, pokoknya cantiklah), di restoran. Semuanya serba gigantik dan penuh warna. Keren. Tapi, pada sebuah film, tentu bukan hanya itu yang dicari. Ada keberanian Rizal ketika melompat melampaui teks Supernova. Dia menerjemahkan beberapa adegan impian dengan bagus. Rizal paham, dalam mimpi, kita memang sering terperangkap dalam lingkungan dan benda ganjil. Tokoh Ferre yang berada di gurun berhadapan dengan kaca yang meleleh atau pada detik lain Ferre dan pistol di tangannya tersedot ke dalam tanah seperti masuk ke dalam sumur tanpa dasar. Ini justru bagian paling menarik dari seluruh film.

Tapi tampaknya para sineas (sutradara dan penulis skenario) ingin terlihat setia kepada novel. Kesetiaan itu ditunjukkan dengan mengambil dialog-dialog sesuai dengan teks dalam novel, bukan pada strategi plot. Padahal dialog dalam sebuah buku akan selalu berbeda rasa ketika diucapkan. Supernova: KPBJ adalah novel pertama Dee ke publik sehingga dialog dan pernyataan beberapa tokohnya yang berpanjang-panjang dan penuh istilah teknis akan lebih cocok untuk dibaca. Karena itu, ketika Reuben berpanjang-panjang menyebut teori paradoks kucing Schrödinger, kita garuk kepala karena jadi terasa aneh. Para penulis skenario dan sutradara bisa menyedot sumsum dari semua dialog dan menyemprotkannya kembali ke layar sesuai dengan fitrah film agar dialog antartokoh—baik antara Reuben dan Dimas maupun antara Ferre dan Diva—tidak terdengar kaku dan tetap realistis.

Memang, sejak awal, Dimas (Hamish Daud) dan Reuben (Arifin Putra), pasangan yang enak dipandang mata itu, sudah menyatakan "ini adalah pseudo-Jakarta" sehingga memungkinkan anomali atau elemen antah-berantah. Mungkin penonton akan memaklumi atau memaafkan keajaiban dialog itu walau harus diakui beberapa kali, saat Ferre dan Diva saling melotot dan berbicara melalui pikiran, kita akan bertanya, "Huh? Apaan?"

Bahwa plot cinta segitiga lantas menjadi plot utama sebetulnya tidak mengejutkan betul. Cinta segitiga selalu menjadi topik seksi untuk sebuah film. Dengan sendirinya, trio Rizal Mantovani, Donny Dhirgantoro, dan Sunil Soraya "menyingkirkan" sebuah strategi plot Dee dalam kesinambungan Supernova, yaitu Diva, sosok paling menarik dalam novel ini. Diva supermodel misterius yang sesekali menjadi pelacur kelas tinggi bukan untuk cari duit (karena sungguh dia sudah kaya raya), melainkan lebih sekadar buat melecehkan pelanggan lelaki yang bodoh dan dikuasai nafsu tubuh. Dia cerdas dan dengan santainya berbincang soal pemikiran Marx dengan pelanggannya dan bersedia tidak dibayar penuh ketika penis sang pelanggan letoi tak bertenaga. Dalam film ini, jangankan adegan seks, cium di antara suami-istri pun absen. Diva di dalam film—diperankan seorang model yang menjulang tinggi, langsing, dan mulus bernama Paula Ver­hoeven—muncul seperti seorang boneka cantik yang sebaiknya tidak perlu diberi dialog karena sungguh dia bukan seorang narator yang enak didengar. Itulah sebabnya, saya malah lega tokoh Diva dalam film ini tidak diberi tempat yang luas.

Akhir film ini sebetulnya bisa dipotong pada saat Diva berkelana dan duduk di pinggir danau. Pesan kepergian Diva—yang kemudian dicari banyak orang pada serial berikutnya—akan tercapai jika saja Rizal menghentikannya pada momen ini. Namun, entah karena tak percaya diri entah karena ingin meninggalkan rasa romantisisme, terjadilah serangkaian adegan antiklimaks. Rizal memutuskan mengembalikan adegan-adegan kilas balik percintaan dan kemesraan Rana-Ferre berulang-ulang, berkali-kali diiringi lengkingan musik Nidji (seperti juga Melly pada suatu masa, kini Nidji sudah terlalu bertebaran di dalam film Indonesia).

Sekali lagi, bahwa Rizal Mantovani dan timnya telah berhasil mewujudkan visualisasi novel yang kompleks ini, menurut saya adalah pencapaian yang perlu dihargai. Seandainya Rizal lebih berani lagi mewujudkan visual novel ini dengan membuang bagian-bagian repetitif itu, film ini bakal lebih terasa padat dan berisi.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus