Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayu Utami*
Telah begitu lama sejarah ditulis oleh lelaki. Atau setidaknya dari sudut pandang lelaki. Orang yang belajar gender tentu paham itu. Kita rasanya tidak menemukan perempuan penulis sejarah yang sezaman dengan Herodotus atau Josephus. Baru di era modern, wanita mulai menulis sejarah. Itu pun jumlahnya masih sangat sedikit dibanding pria. Latar belakang ini membuat para feminis di Amerika memperkenalkan kata "herstory". "History" dianggap terlalu lelaki. His story, kisahnya (dia, lelaki). Untuk memberi perimbangan perspektif perempuan, ditawarkanlah istilah baru "herstory". Kisahnya (dia, perempuan). Apa yang bisa dibaca di sini?
Bahasa adalah permainan yang bisa bersifat politis. Orang mengusulkan kata—kadang dengan cara main-main—sebagai tawaran sikap atau pemikiran. Contohnya kasus "herstory" tadi. Si pengusul mengganti "his" dengan "her" karena kata "his" adalah kata ganti kepemilikan untuk lelaki, dan "her" untuk perempuan. Dalam bahasa Inggris tentu saja. Permainan itu (hanya) memperhitungkan konteks bahasa Inggris.
Yang dilupakan, history adalah serapan dari bahasa Yunani: istoria. Dalam bahasa asalnya, kata ini tak bisa dianalogikan dengan is-storia sama sekali. Kata ganti kepemilikan Yunani untuk lelaki juga bukan "is" atau "his". Dalam bahasa Yunani, orang tak bisa membayangkan "istoria" sebagai his + story. Berlaku gramatika yang berbeda sama sekali. Bahasa Prancis juga menyerap kata yang sama menjadi "histoire", dan tak membayangkan "his" sebagai kata ganti lelaki.
Penyerapan "istoria" (Yunani) ke "history" (Inggris) adalah masalah diakronis (hubungan dalam sejarah). Relasi antara "his" dan "story" di dalam bahasa Inggris adalah masalah sinkronis (hubungan antara elemen yang hadir bersamaan). Jadi, dalam praktek bahasa, kita tak berbicara mengenai mana yang benar secara universal, mengatasi ruang dan waktu. Ini sudah jadi percakapan panjang para linguis. Kita berbicara di dalam konteks bahasa masing-masing belaka.
Contoh yang serupa barangkali adalah kasus "wanita" dan "perempuan". Para feminis sejak paruh akhir era Soeharto mengganti kata "wanita" dengan "perempuan". Yang terakhir dijelaskan berasal dari "per-empu-an". Artinya, yang diempukan. Sungguh lebih bermartabat daripada kata "wanita", yang konon berasal dari "wani ditata" (bahasa Jawa, artinya "berani diatur"). Perjuangan ini patut dihargai. Tapi penjelasannya jangan ditelan mentah-mentah.
Bahwa "wanita" berasal dari "wani ditata" itu pun konon saja. Itu kan utak-atik-gathuk kaum patriarkal Jawa. Sebetulnya, kita juga bisa bilang wanita itu "wani nata" (berani memerintah). Jadi, tanpa harus menggusur kata "wanita", kita memaknainya ulang. Justru dengan menghilangkan kata "wanita", kaum feminis bisa terjebak dalam tafsir tunggal patriarki.
Saya bisa mengerti latar belakangnya. Setidaknya, pemerintah era Soeharto memang cenderung membuat kata "perempuan" jadi pejoratif dan menganggap kata "wanita" lebih mulia. Dalam perjuangan, seperti biasa, cara paling jitu membongkar kekuasaan adalah dengan membalikkannya. Yang semula dihinakan, kini dimuliakan. Tapi, sebaiknya, jangan terlalu lama terbenam dalam modus membalikkan kekuasaan itu. Nanti kita terjebak dalam sikap dogmatis sendiri.
Sudah waktunya para feminis berdamai dengan kata "wanita" dan menerimanya sebagai netral kembali. Ingatlah, jika kata itu bisa ditafsirkan sebagai "wani ditata", ia juga bisa ditafsirkan sebagai "wani nata"—dan permainan tafsir ini tak membawa kita ke mana-mana kecuali ada perjuangan di wilayah riil.
Mengenai bahasa: bahasa adalah permainan, sebab aturan-aturannya selalu bisa dinegosiasi ulang. (Dengan catatan, permainan yang baik adalah yang sportif.) Bahasa adalah politik, sebab negosiasi itu memerlukan kekuatan dalam pelbagai bentuknya. Pertanyaan sederhana tentang mana yang benar, history atau herstory, wanita atau perempuan, boleh dijawab dengan cerita panjang tentang perjuangan emansipasi yang semoga tidak dogmatis. Kita justru harus berjuang untuk mengatasi stigma; bukan menghilangkan dia yang diberi stigma itu.
*) Penulis dan Kurator Salihara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo