Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Pers Tak Sebarkan Kebohongan

AGENDA Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo sepanjang Kamis pekan lalu penuh oleh satu urusan: IndonesiaLeaks. Pagi-pagi benar, pukul 07.00, polisi sudah menunggu di kantornya di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Pukul 10.00, Yosep berdiskusi dengan inisiator IndonesiaLeaks, yaitu Pusat Pengembangan Media Nusantara, Aliansi Jurnalis Independen, dan Tempo Institute. Dia kembali menemui perwakilan Markas Besar Kepolisian RI pada petang harinya.

19 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Yosep Adi Prasetyo -TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IndonesiaLeaks adalah platform kolaborasi lintas media. Investigasi bersama jurnalis lima lembaga pers, yaitu Jaring.com, Kbr.id, Suara.com, Tempo.co, dan Independen.id, itu menguak praktik lancung dua penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang berasal dari unsur kepolisian, yang diduga menghilangkan barang bukti dalam kasus suap impor daging sapi pada 2017. Temuan tersebut menggegerkan Mabes Polri karena menyebutkan catatan aliran uang yang dihilangkan itu diduga mengalir ke petinggi kepolisian, termasuk Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian.

Pro dan kontra pun bermunculan. Sebagian menuntut KPK menindaklanjuti temuan itu, sebagian menuduh laporan tersebut hoaks. Yosep, 59 tahun, termasuk orang pertama yang menyatakan laporan tersebut sebagai produk jurnalistik. ”Rupanya, banyak polisi yang kaget atas pernyataan saya,” kata Yosep dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo Reza Maulana dan Angelina Anjar di ruang kerjanya, Kamis siang pekan lalu.

Wawancara sempat terpotong 15 menit karena Yosep menemui pengunjuk rasa, yang mengatasnamakan Masyarakat Anti Hoax. Muhammad Rizal, perwakilan demonstran yang juga wartawan situs Kabar Polisi, menuntut pemblokiran situs IndonesiaLeaks.

Apa dasar Anda mengatakan laporan investigasi IndonesiaLeaks sebagai produk jurnalistik?

Pertama, yang menerbitkannya media-media profesional yang terverifikasi di Dewan Pers. Kedua, yang mengerjakan adalah wartawan-wartawan yang bekerja di media itu.

Mengapa Anda mengatakan kepada demonstran bahwa IndonesiaLeaks bukan produk jurnalistik?

Karena tidak ada produk IndonesiaLeaks. Lihat saja di situs mereka. Saya tidak menemukan berita apa pun di sana. Laporan mereka dimuat di situs-situs berita, seperti Tempo.co. Karena dimuat di media yang terverifikasi, ya produk jurnalistik.

Pengkritik IndonesiaLeaks menyorot penggunaan sumber anonim. Sejauh mana anonimitas bisa digunakan dalam jurnalistik?

Sumber anonim diperbolehkan dalam pekerjaan investigasi jurnalistik. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana metode klarifikasinya. Kalau diadukan ke Dewan Pers, kami akan mengklarifikasinya. Karena bahan dikirim oleh sumber anonim, bagaimana para wartawan memverifikasi dan mengklarifikasi informasi itu. Apakah proses tersebut sudah dikerjakan sesuai dengan standar atau tidak. Kewajiban bagi setiap media yang dipanggil untuk membuka proses kerja mereka.

Standar verifikasi dan klarifikasi Dewan Pers seperti apa?

Tidak bisa, misalnya, ”Sudah di-WhatsApp, tapi tidak menjawab.” Tetap harus verifikasi, mencari narasumber dan pembanding lain. Termasuk menelusuri sumber-sumber lain, misalnya bukti-bukti pengadilan. Kasus penghilangan barang bukti ini pernah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Bisa dicek, misalnya sidang etik mereka.

Apa saja yang dibahas dalam pertemuan dengan inisiator IndonesiaLeaks dan media penerbit?

Informasi detail mengenai bagaimana investigasi itu dibuat. Whistleblower mengirimkan materi, yang kemudian diolah oleh masing-masing redaksi. Kami juga membicarakan tentang keberatan-keberatan terhadap pemberitaan itu. Ini merupakan tanggung jawab masing-masing media yang memuatnya. Kalau ada pihak yang keberatan, silakan menempuh mekanisme hak jawab atau mengadukan kepada Dewan Pers, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Demikian juga dengan media-media yang memberitakan perkembangan dari pemberitaan itu. Kalau ada yang keberatan, harus menempuh cara yang sama. Jangan dibawa ke ranah pidana atau ke ranah politik.

Pagi ini (Kamis, 18 Oktober lalu) Anda bertemu dengan perwakilan Polri. Apa yang mereka tanyakan?

Pada intinya mereka menanyakan IndonesiaLeaks itu apa, mengapa bisa muncul, apakah termasuk wilayah kerja Dewan Pers. Tentang pernyataan saya bahwa hasil investigasi IndonesiaLeaks merupakan produk jurnalistik, rupanya banyak polisi yang kaget. Mereka menganggap kami berhadapan dengan mereka.

Mereka menyampaikan keberatannya?

Bisa saja Polri menuntut hak jawab kepada lima media yang memuat laporan itu. Silakan. Atau, kalau mengadu ke Dewan Pers, akan kami selesaikan. Jangan dibawa ke ranah pidana.

Dapatkah polisi menempuh jalur di luar Undang-Undang Pers, misalnya penyebaran kabar bohong di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)?

Media tidak bisa dituntut menggunakan Undang-Undang ITE. Dari mana kita bilang berita itu bohong, padahal pers bekerja dengan verifikasi dan klarifikasi? Wartawan juga punya hak untuk menyebarkan informasi. Kalau informasi itu adalah berita bohong, yang dikenai bukan pers, melainkan perseorangan. Karena pers berbadan hukum, dia tidak mungkin menyebarkan kebohongan. Tapi pers bukan tidak mungkin bisa salah. Karena itu, media-media perlu memeriksa kembali apakah proses verifikasi dan klarifikasi kepada narasumber sudah dilakukan dengan baik. Semua orang bisa mengirimkan bocoran apa saja. Bagaimana mekanisme internal di media ketika akan memuat itu? Itu harus terbuka.

Bagaimana dengan inisiator IndonesiaLeaks?

Nah, ini yang menjadi pertanyaan. Mereka bukan lembaga pers. Bukan ranah Dewan Pers.

Apa sikap Dewan Pers terkait dengan hal ini?

Kami berkomitmen agar jangan sampai lembaga seperti AJI, yang isinya kumpulan wartawan, kena imbas. Bukan tak mungkin Polri melakukan somasi, menuntut penjelasan dan pertanggungjawaban. Sebagai inisiator, lembaga-lembaga itu memang harus bertanggung jawab. Tapi pekerjaannya kan tertutup, sesuai dengan prinsip whistleblower. Yang juga jadi pertanyaan polisi, mengapa berita itu muncul sekarang? Karena digunakan oleh salah satu kekuatan politik untuk menekan pemerintah. Tulisan itu sebetulnya soal penghilangan barang bukti di Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi, tidak tahu kenapa, jadi mengarah ke pimpinan Polri. Isu yang berkembang jadinya laporan itu untuk menjatuhkan Kepala Polri.

Anda merasa publik mendapat pesan yang salah?

Bahwa nama Kapolri disebut-sebut, ya. Tapi intinya adalah penghilangan barang bukti. Tadi pagi saya bertanya kepada media-media yang memuat, apakah investigasi ini diarahkan kepada Kapolri. Ternyata tidak. Tapi isu yang berkembang di luar mengatakan bahwa investigasi ini bertujuan untuk menjatuhkan Polri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 


 

”Kalau ada pihak yang keberatan, silakan menempuh mekanisme hak jawab atau mengadukan kepada Dewan Pers. Jangan dibawa ke ranah pidana atau ke ranah politik.”Mengapa Anda mengatakan tidak tepat menerbitkan investigasi ini di tahun politik?

 


 

Tepat atau tidak, kalau ada lima media yang memutuskan untuk memuat, mungkin mereka menganggap ini tepat. Tapi Dewan Pers merasa tidak tepat. Ada sesuatu yang benar untuk dikatakan. Tapi, ketika suasananya tidak tepat, menjadi sesuatu yang tidak benar karena bisa menimbulkan kegaduhan.

Bagaimana media harus menahan berita yang menyinggung salah satu pihak, sementara pemilihan presiden masih tahun depan?

Menurut saya, harus ada proses pematangan dan diskusi mengenai dampak suatu berita. Investigasi tidak hanya soal menggunakan jurus-jurus jurnalistik, clear, lalu diterbitkan. Dulu, pada 1992, saya pernah membuat investigasi soal aborsi ilegal di Jakarta. Tidak ada dampaknya. Lima tahun kemudian baru ramai karena ditemukan serpihan janin di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Kalau ingin pelaku ditindak oleh aparat hukum dan dunia kedokteran, seharusnya saya menghitung betul momentumnya.

Laporan IndonesiaLeaks terkait dengan isu pemberantasan korupsi. Apakah juga harus menunggu momentum yang tepat?

Ya, bisa saja momentumnya dihitung. Saat ini kita sedang menghadapi pemilu. Saya pertama kali membaca soal kasus ini di majalah Tempo, tahun lalu. Tapi respons sekarang berbeda karena momentumnya berbeda.

Anda merasa reaksi Polri menghadapi masalah ini tergolong keras?

Karena ini menyangkut kepercayaan publik terhadap Polri dan pimpinan Polri, menyangkut juga kerja sama lembaga-lembaga negara, terutama Polri dan KPK setelah pertempuran ”Cicak-Buaya” jilid I dan II, mereka menjadi peka.

Kami mendapat kabar polisi menyambangi sejumlah media supaya tidak memberitakan investigasi IndonesiaLeaks. Itu termasuk tekanan kepada pers?

Ini bisa dilihat sebagai tekanan, tapi bisa juga dilihat sebagai usaha kehumasan ketika menghadapi krisis. Polisi punya Divisi Humas. Kalau mereka tidak melakukan hal seperti itu, malah aneh. Menurut saya, itu bisa dimengerti asalkan tidak dalam bentuk intimidasi dan kekerasan.

Sudah ada pengaduan soal berita ini?

Ya, pendemo tadi itu. Pengaduan langsung.

Dewan Pers akan melakukan pemeriksaan berdasarkan pengaduan itu?

Bisa saja. Tapi tadi tidak ada permintaan soal assessment. Mereka meminta kami merekomendasikan pemblokiran situs IndonesiaLeaks ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Polri punya akses langsung ke Kementerian Kominfo.

Apa tantangan utama pers Indonesia saat ini?

Masih banyak media abal-abal yang tumbuh menjamur. Banyak juga media yang tidak hidup secara profesional. Kalau mereka menyusu dari APBN dan APBD, bagaimana bisa independen? Lalu banyak wartawan tapi tidak tahu kode etik jurnalistik ataupun tidak pernah mendapatkan pelatihan jurnalistik. Selain itu, banyak media dengan nama mirip lembaga-lembaga negara, seperti BNN dan KPK. Isinya cuma tuduhan ke pejabat, ujung-ujungnya pejabat itu pasang iklan. Kasus yang paling banyak diadukan ke Dewan Pers adalah pemerasan oleh wartawan.

Yosep Adi Prasetyo (kiri) menerima perwakilan demonstran yang menentang Indonesialeaks di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis pekan lalu. -TEMPO/Subekti

Apa tindakan Dewan Pers?

Kami tidak memiliki kewenangan untuk membredel. Biarkan saja mereka mati karena tidak ada publik yang membaca dan narasumber yang melayani mereka. Mereka akan hidup selama masih ada orang yang bisa diperas dan polisi membiarkan itu.

Dewan Pers tidak bisa melapor ke polisi, misalnya sebagai penipuan?

Kalau penipuan, harus ada korban yang ditipu. Kalau tidak ada korban, apa dasar laporan kami? Kami cuma bisa mendata media-media yang terverifikasi, lalu memasang di website supaya masyarakat tahu media yang benar.

Perlukah media abal-abal juga dipampangkan agar masyarakat lebih awas?

Kami tidak ada kewenangan mendata penipu. Tugas Dewan Pers adalah mendata pers Indonesia.

Berapa media yang sudah terverifikasi?

Sekitar 2.400 dari 47.000 media, tidak sampai 5 persen. Dari 47.000 itu, sekitar 43.000 adalah media online.

Ada yang mengkritik bahwa verifikasi ini tidak berbeda dengan ancaman bredel Orde Baru. Tanggapan Anda?

Boleh saja orang mengatakan begitu. Tapi, biasanya, orang yang berkata begitu ahistoris karena verifikasi media oleh Dewan Pers merupakan tindak lanjut dari Piagam Palembang 2010 yang ditandatangani oleh tokoh pers dan pemilik media. Merekalah yang mendorong adanya verifikasi.

Kemerdekaan pers tidak menjadi masalah?

AJI, misalnya, melihat kemerdekaan pers sebagai masalah karena banyak wartawan mengalami kekerasan. Tapi, coba cek, mereka wartawan betulan atau abal-abal?

Faktanya, Reporters Without Borders, lembaga internasional pemerhati kebebasan pers, menilai kebebasan pers Indonesia buruk, hanya sedikit lebih baik dari Afganistan....

Tahun lalu, saya ke kantor mereka di Paris. Saya tanyakan kenapa peringkat Indonesia di bawah. Mungkin metodologi dan indikator mereka berbeda. Kasus Udin (pembunuhan Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan Bernas, Yogyakarta, pada 1996), misalnya, tetap dimasukkan karena belum terungkap dan dianggap sebagai impunitas. Kami punya indikator kemerdekaan pers dari semua provinsi di Indonesia.

Hasilnya apa?

Dari tahun 2016 ke 2017 lebih baik. Sejalan dengan indeks demokrasi. Indeks 2018 baru akan keluar setelah pertemuan nasional bulan depan.

 


 

YOSEP ADI PRASETYO

Tempat dan tanggal lahir: Malang, Jawa Timur, 20 Juni 1959

Pendidikan: Sekolah Menengah Atas Katolik St. Albertus, Malang; Sarjana Teknik Elektronika Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga

Jabatan: Ketua Dewan Pers (2016-2019); Anggota Dewan Pers (2013-2016); Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (2007-2012); Pendiri Aliansi Jurnalis Independen; Anggota Kelompok Kerja Reformasi Kepolisian RI (2003); Anggota Tim Ad Hoc Kerusuhan Mei 1998 (2003)

Pekerjaan: Dosen Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga; Wartawan majalah Jakarta-Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus